Secara mudah, naif dapat kita artikan sebagai polos atau lugu, menganggap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini begitu simpel dan baik.
Saya pribadi memiliki sifat naif ini, yang mana merupakan sifat yang sebaiknya saya waspadai. Kenaifan adalah salah satu sifat positif palsu, yang sebenarnya lebih condong ke arah negatif.
Seperti, saya menganggap setiap orang pada dasarnya baik dan harus mendapatkan perlakuan yang baik-baik. Sebenarnya itu tidak salah, tetapi sayangnya, yang terjadi di lapangan tidak sesederhana itu.
Sejauh ini saya telah berhasil mengurangi sifat naif saya, meskipun memang tidak sampai saya ‘bunuh’ seperti yang saya tulis di judul artikel.
Secara teori, watak tidak dapat benar-benar kita hilangkan. Kita hanya dapat menekan setiap watak yang tidak begitu baik untuk kita dan meminimalisirnya.
Faktanya, sifat naif tidak dapat kita hilangkan sendiri. Lingkungan sangat berperan aktif dalam meminimalisir sifat ini.
Manusia pada dasarnya menyenangi kedamaian dan hidup yang mudah lagi lancar.
Beberapa orang termasuk saya menginginkan kehidupan bak negeri dongeng, seakan indah tak memiliki masalah. Masyarakat yang tergambar di media-media promosional pun sepertinya begitu hangat dan sarat bergotong-royong dalam kebaikan.
Sedari duduk di sekolah dasar, kita telah mendapatkan asumsi-asumsi bahwa setiap orang tanpa kecuali, dapat berkompromi secara baik-baik. Sehingga, kita melihat sanksi-sanksi berupa teguran keras adalah hal yang tidak perlu.
Apalagi saat sebagian media berikut buku-buku pelajaran di sekolah melakukan propaganda mempahlawanisasi orang miskin. Benar, hampir setiap cerita selalu menggambarkan bahwa orang kaya adalah orang-orang jahat yang tak berperikemanusiaan.
Maka dari itu, hingga kita beranjak dewasa, sifat naif kita terus tumbuh hingga menjadi permisif dalam setiap masalah sosial yang terjadi.
Kita menganggap wajar saat rakyat kecil melakukan onar, bahkan cenderung mengasihani mereka.
Saya pernah berada di tahap di mana saya mengasihani para preman. Dulu.
Saya hampir membela penjambret dengan alasan hidup mereka yang kurang layak dan perlu kita kasihani. Saya pun pernah membela petugas pelayanan publik yang bekerja asal-asalan dengan alasan mereka telah bekerja berat.
Masyarakat di sekeliling saya pun seperti satu jalan dengan saya. Mereka lebih memilih menghindar dari masalah dan memilih untuk pasrah. Lebih parah lagi, sebagiannya bukan hanya membiarkan, tetapi juga menyuruh diam setiap orang yang ingin menindaklanjuti masalah tersebut.
Maka tak heran semakin banyak orang yang enggan lagi melapor setiap ketidaknyamanan yang terjadi karena khawatir mendapatkan tekanan dari sekeliling, jangankan mendapatkan dukungan.
Udah ngapain sih lapor-lapor, kasihan keadaan mereka lebih buruk dari kita…
Karena tindakan permisif dari masyarakat inilah, beberapa orang berani bertindak semau mereka. Mereka sudah memegang kartu as untuk pembelaan saat ditindak nanti.
Sejak kapan sifat naif saya mulai tergerus sedikit demi sedikit? Seingat saya tahun 2016, saya mulai perlahan mendapatkan pencerahan mengenai bagaimana dunia ini bekerja.
Sebelum 2016, saya masih menyalahkan beberapa teman saya yang berani menghadapi para biang onar itu. Saya menganggap tindakan teman-teman saya itu terlalu kasar dan penuh ego. Saya waktu itu masih menganggap bahwa memaafkan para pembuat masalah sosial adalah hal yang sangat mulia dan cukup mengabaikan perbuatan mereka saja.
Sekilas, sifat naif terlihat seperti kebijaksanaan. Padahal seperti yang telah saya sebutkan, kenaifan hanyalah positif palsu yang sebenarnya merusak.
Sampai akhirnya saya merasakannya sendiri…
Kejadian demi kejadian sosial bermasyarakat yang negatif kerap saya alami sepanjang 2016, alhasil membuka mata saya pada saat itu.
Ada hal-hal yang memang tidak bisa saya toleransi dari perbuatan orang-orang. Beberapa dari mereka memang seperti memiliki hobi membuat masalah. Mereka akan lebih jahat lagi saat ada orang yang berani menegur.
Dari sana saya baru berpikir, mengapa dulu saya dengan naifnya menganggap perbuatan-perbuatan yang jauh dari tata krama itu adalah hal yang normal?
Jalan satu-satunya mematikan sifat naif memang harus dengan mengalami dengan mata kepala sendiri.
Saya pun baru mengerti, kehidupan damai ala negeri-negeri dongeng bahkan ternyata tidak cocok dengan negeri dongeng itu sendiri.
Bahkan negeri dongeng pun kerap terjadi masalah. Orang-orang jahat banyak sekali berkeliaran di negeri-negeri dongeng yang kedamaiannya menjadi impian banyak orang itu.
Penyihir jahat, penguasa keji yang senang memeras, pengikut sekte gelap, pedagang yang menipu, dan rakyat-rakyat suruhan juga menghiasi negeri-negeri dongeng.
Atau yang lebih meyakinkan lagi, cerita-cerita kenabian dahulu pun memang tidak jauh dari kaum-kaum yang membangkang, meneror, bahkan membunuh.
Apakah perbuatan-perbuatan jahat mereka kemudian dengan mudahnya mendapatkan maaf dari seluruh tokoh baik dan tiba-tiba jalan cerita berakhir menjadi bahagia selama-lamanya?
Yang benar-benar terjadi justru sebaliknya, banyak tokoh-tokoh jahat entah di negeri dongeng atau kisah para nabi dan rasul terdahulu yang berakhir tragis dan mengenaskan.
Beberapa orang jahat yang dimusnahkan tersebut berasal dari setiap golongan, setiap kasta, tanpa ada yang mendapatkan keistimewaan atau privilege.
Nyatanya kita terlalu fokus dengan orang-orang jahat yang berasal dari kalangan penguasa dan orang-orang kaya. Kita masih memaklumi kejahatan yang dilakukan oleh rakyat jelata karena menganggap mereka layak kita kasihani.
Tidak heran banyak sekali para pembuat onar yang dengan mudahnya memasang kartu ‘orang biasa’ atau ‘rakyat kecil’ saat mereka akan mendapatkan hukuman. Mereka pasti akan mendapatkan pembelaan dari sebagian masyarakat yang masih naif.
Menjual rasa kasihan dan menjadikannya tameng memang telah menjadi strategi yang hampir tidak pernah gagal.
Sepertinya satu-satunya cara untuk menggerus sifat naif adalah dengan mengalaminya sendiri. Hanya saja sayangnya saat semuanya telah terjadi, sudah sulit sekali untuk kembali pulih.
Ada hal yang sangat menarik yang saya temukan di Twitter, yang mungkin dapat menjadi pencegahan dan saya harap dapat mengurangi sifat naif kita.
Saya persilakan untuk membaca beberapa ciutan berikut.
Kita baru saja melihat bagaimana mereka merasakan sendiri bagaimana sifat asli beberapa orang yang tadinya kita kasihani tersebut.
Masalahnya, sekali lagi, beberapa orang memahami bahwa masih banyak masyarakat yang dengan mudahnya mereka kelabui dengan status rakyat kecil. Pada akhirnya, orang-orang yang benar-benar rakyat kecil terkena imbasnya pula.
Bukankah kita sering mendengar bantuan-bantuan sosial yang ‘salah’ target? Banyak sekali mereka yang benar-benar membutuhkan justru tidak mendapatkan bantuan karena direbut orang-orang yang hanya mengaku-aku sebagai orang miskin.
Sifat bijaksana yang jarang kita temui justru sangat kita perlukan untuk membereskan masalah ini.
Perbedaan kebijaksanaan dengan kenaifan terletak kepada kemampuan berpikir kritis, tidak semerta-merta mengambil keputusan instan.
Setelah sifat naif saya telah tererosi, saya tidak lagi membedakan mana rakyat kecil atau rakyat besar. Saya hanya memandang mereka yang berusaha untuk bermanfaat dan berguna karena manusia pada dasarnya memiliki gengsi.
Orang yang tidak bermanfaat, maka tidak ada hal baik yang mereka jadikan gengsi. Pada akhirnya, gengsinya orang yang tak bermanfaat hanyalah menyusahkan orang lain.
Saya pun dulunya adalah orang miskin, pernah tidak memiliki televisi dan makan hanya dengan lauk garam. Bahkan, saya saja baru dapat mengendarai sepeda motor di usia 25. Hanya saja, selama itu saya tidak meraih simpati dengan menjual rasa kasihan. Saya bahkan hingga saat ini belum pernah mendapatkan bantuan sosial apa pun seingat saya.
Tidak apa menjadi orang miskin atau rakyat kecil, saya hanya melihat akhlak dan etika mereka saja. Toh etika bukan hanya milik orang kaya saja bukan? Kalau kita lihat, banyak sekali orang kaya yang dermawan, mematuhi peraturan, membuka lapangan kerja, menjadi relawan, menyayangi anak yatim, peduli lingkungan, dan kebaikan lainnya.
Artinya, seseorang yang tidak memiliki etika, tidak akan mendapatkan lirikan.