Polusi profesi, atau entah bagaiamana saya menyebutnya, sebenarnya sudah menjadi perhatian saya dari beberapa tahun lalu, hanya saja pada saat itu saya hanya belum mengerti bagaimana saya harus menanggapi hal tersebut.
Memangnya seperti apa polusi profesi yang saya maksud? Apakah banyak pegawai kantoran yang buang sampah sembarangan? Atau banyak perusahaan yang merusak lingkungan? Bukan, tentu saja bukan itu yang ingin saya jabarkan.
Saya disubsidi partner saya untuk berlangganan Medium premium. Dan secara mengejutkan polusi profesi ini semakin tampak semakin saya terus membaca apa yang saya temukan di sana.
Topik yang saya pilih adalah seputar Programming. Tadinya saya pikir akan ada begitu banyak bacaan yang akan menambah wawasan saya, tetapi semakin kesini, saya merasa sebagian besar artikelnya hanya berbicara tentang tren, tips yang berulang, dan me-review teknologi lain dengan judul clickbait seperti “Mengapa Anda harus meninggalkan bahasa pemrograman ini”, dst.
Saya sendiri pernah “mundur” dari dunia desain, bahkan alasan saya “meninggalkan” dunia desain telah saya jelaskan secara panjang lebar di artikel berikut.
Namun intinya, alasan saya beralih menjadi programmer secara total dari desainer, adalah karena polusi profesi.
Benar, saya hanya merasa profesi desain grafis sudah memiliki tingkat polusi yang begitu parah. Dan sekarang polusi tersebut sudah merambah ke dunia programming.
Jadi, apa yang saya maksud sesungguhnya dari polusi profesi dan apa dampak mengerikan yang telah terjadi?
Polusi itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu hal yang dapat merusak kemurnian, atau dapat disebut juga dengan pencemaran. Sesuatu yang menyebabkan polusi disebut polutan.
Misalnya, polusi udara, maka yang menjadi polutannya adalah asap knalpot, pembuangan industri, debu, dan lain sebagainya.
Polusi itu sendiri sangat banyak macamnya, termasuk yang saya sebut sekarang ini, polusi profesi.
Polusi profesi terjadi jika banyak orang (polutan) yang ikut-ikutan menekuni suatu bidang hingga menghilangkan kemurnian dari pekerjaan tersebut.
Jika kita melihat dari dunia desain, misalnya, hari ini banyak orang yang menjadi pegiat desain grafis karena melihat tools, template, dan tutorial yang sudah begitu mudah.
Ditambah lagi, dengan kemudahan yang diberikan tools-tools tersebut, seorang amatir dapat menghasilkan karya yang dapat disandingkan dengan profesional.
Apalagi banyak sekali orang-orang yang menjadi desainer grafis hanya karena mengikuti tren, ingin mendapatkan penghasilan dan kesejahteraan semu seperti yang mereka lihat di jejaring sosial, dan lain sebagainya.
Akhirnya, profesi desainer grafis dipenuhi oleh banyak polutan yang membuat profesi tersebut menjadi ‘tercemar’.
Itu adalah salah satu contoh profesi yang sudah memiliki banyak polutan. Contoh lainnya adalah konten kreator, hingga trader investasi.
Dan pastinya, setiap polusi pastinya memiliki dampak buruk. Polusi udara dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Polusi air dapat menyebabkan gangguan pencernaan apabila diminum.
Lalu apa dampak ‘mengerikan’ yang terjadi akibat polusi profesi? Dampaknya bermacam-macam, tergantung profesinya.
Tetapi dampak yang paling umum dan signifikan adalah turunnya nilai jual dari produk karena banyaknya pasokan.
Akibat terlalu membludaknya desainer grafis yang mana hingga setengahnya sebenarnya bukan benar-benar desainer grafis melainkan mereka yang hanya ikut-ikutan tren, akan membuat sebagian besar produk desain mengalami kemerosotan.
Saya ingat betul ada desainer yang mengeluh, bahwa dahulu mereka biasanya memasang harga hingga sepuluh juta rupiah hanya untuk desain logo perusahaan.
Sekarang? Jangankan satu juta rupiah, Rp50.000 saja mereka sudah sangat sulit mendapatkannya karena berebut dengan para pesaing yang sebenarnya bukan pesaing.
Belum lagi, perusahaan yang ingin mendesain logo mereka sendiri kini dengan mudah membuatnya di situs web atau software yang dapat menghasilkan logo secara cuma-cuma, atau membelinya dengan sangat murah di pasar desain.
Setelah itu saya memberikan contoh profesi lain yang juga sudah berpolusi cukup tinggi, yaitu kreator konten yang menggantungkan penghasilan mereka lewat iklan atau sponsor.
Saya mendengar begitu banyak konten kreator (Youtuber, blogger, dll) yang komplain sebab taksiran pendapatan mereka dari iklan yang semakin anjlok kian kemari.
Akhirnya masing-masing berebut sponsor, dan terjadilah semacam hukum rimba digital.
Mengerikan.
Saya pribadi sudah melihat bahwa profesi programmer yang saya tekuni ini, sudah semakin tercemar.
Bahkan saya sudah lelah dengan programmer-programmer karbitan yang mengaku ‘skill tingkat dewa’ dengan beragam porfolio website yang keren, namun saat saya tanya tentang konsep programming dasar mereka hanya celingukan.
Hal itu disebabkan oleh terlalu bergantungnya para programmer pemula akan 3T: Tools, tutorial, dan template.
Saya pernah membuka lowongan untuk programmer PHP, Javascript, dan Android (Java). Dari 60-an lebih pelamar, ternyata hampir tidak ada satu pun yang memuaskan kriteria saya. Padahal CV mereka terlihat sangat menjanjikan.
Terlebih saat saya mengirimkan berbagai pertanyaan mengenai kasus nyata yang terjadi di lapangan. Hampir semua jawaban yang saya terima kebanyakan meleset jauh dari ekspektasi saya.
Akhirnya pelamar yang saya lirik justru bukanlah seorang programmer ahli, namun setidaknya saya melihat dedikasi dan pemahaman konsepnya yang begitu tinggi.
Kembali kepada contoh kasus polusi yang kita kenal, misalnya polusi udara, dampak yang dihasilkan oleh polusi udara bukan hanya gangguan pernafasan atau iritasi kulit, melainkan juga ada aspek lain yang terganggu.
Dari aspek ekonomi, perputaran uang akan menjadi lesu sebab banyak karyawan yang mengalami gangguan kesehatan akibat polusi udara.
Dari aspek sosial, polusi udara yang sudah parah akan membatasi segala macam aktivitas di luar ruangan. Belum lagi keadaan mental yang juga akan mengalami gangguan akibat polusi udara, seperti meningkatnya depresi dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan polusi profesi, tentu saja beberapa ada dampak lain yang muncul.
Dari segi ekonomi, sudah saya jabarkan di bagian sebelumnya, yakni penurunan harga pasar yang tidak main-main akibat lebih banyaknya pasokan daripada permintaan.
Dari segi sosial pun tak kalah mengerikan. Akibat turunnya harga pasar, profesi yang sudah berpolusi akan menerima tekanan sosial yang tidak main-main.
Saya juga sudah mendengar di kanan dan kiri telinga saya mengenai desainer yang depresi sebab selalu mendapatkan cibiran dari orang-orang sekitar karena keadaan ekonominya yang rendah, dan mereka juga membanding-bandingkannya dengan orang-orang yang menurut mereka penghasilannya sudah tinggi dan sejahtera seperti PNS.
Belum lagi jika kita berbicara masalah kondisi mental. Cukup banyak desainer atau konten kreator yang mengalami stress yang sangat tinggi sebab ‘popularitas’nya menjadi lebih mudah tergerus oleh pendatang-pendatang baru.
Atau singkatnya, kesempatan mereka untuk mendapatkan calon pelanggan semakin sedikit akibat banyaknya polutan yang menjadi pesaing.
Di satu sisi, banyak sekali pekerjaan vital yang justru kekurangan tenaga ahli. Banyak negara berkembang yang kekurangan manajer ahli. Akhirnya banyak perusahaan yang rela membayar lima kali lipat lebih tinggi manajer impor.
Saya sendiri pun merasakan akibat dari polusi profesi yang sebenarnya bukan profesi saya. Misalnya profesi komedian, yang entah kenapa banyak komedian yang tidak memiliki kualitas yang baik, seperti hanya meniru identitas komedian lain saja dan terkesan ikut-ikutan.
Inilah mungkin mengapa hari ini banyak sekali konsumsi hiburan yang menjadi sangat membosankan, yang mana pernah saya bahas juga di artikel saya yang lain.
Polusi udara yang sudah parah harus segera mendapatkan tindakan nyata, bukan hanya dari pemerintah setempat, melainkan dari seluruh warga yang terdampak.
Dan penanggulangan polusi bukan hanya dengan membersihkannya, melainkan juga harus dengan cara mencegahnya, mengontrolnya, dan mengaturnya.
Pertanyaannya, sekarang bagaimana menanggulangi polusi profesi?
Pertama, berikan kesadaran penuh dari pentingnya menjaga hobi setiap orang, mulai dari anak-anak.
Hari ini banyak orang yang tidak tahu ingin bagaimana selepas SMA atau bahkan sarjana karena tujuan hidupnya tidak pernah mereka asah sedari masa sekolah.
Akhirnya, mereka hanya mengikuti tren yang ada untuk mencari nafkah dan pada akhirnya mereka menjadi polutan bagi profesi terkait.
Kedua, perkenalkan konsep yang matang dari sebuah profesi.
Seperti saya sebagai programmer, tidak pernah mengajari orang dengan cara mudah dan cara cepat sebab itu jalan pintas itu hanya berlaku untuk para programmer ahli saja.
Amatir yang terlalu sering mendapatkan cara mudah dan cara instan untuk menjadi ahli, tidak akan pernah bisa menghargai proses. Mereka hanya dikejutkan dengan, “Hah gitu doang?!”
Bahkan jangan salahkan para amatir yang mengikis popularitas para ahli sebab para ahli itu sendiri yang selalu ‘menjual’ cara-cara cepat kepada para pendatang baru. Mengenai dampak dari cara cepat di sini pernah saya bahas juga di artikel saya berikut.
Terakhir, hindari gengsi dan layani komunitas.
Ingat, jika segala sesuatu hanya dilakukan demi gengsi atau uang, tidak akan pernah berakhir baik.
Sewaktu kemarin ada zaman di mana setiap orang berlomba-lomba membangun perusahaan rintisan, beberapa di antaranya ada yang membangun usaha agar mendapatkan gengsi sebagai pengusaha semata.
Tidak heran begitu banyak perusahaan rintisan yang tidak lagi terdengar kabar di tahun berikutnya.
Padahal, sebuah pekerjaan tercipta untuk melayani komunitas. Jika kita lihat Jepang yang kualitas produknya sangat mumpuni, mereka bekerja untuk komunitas mereka. Segala sesuatu yang dapat menyenangkan komunitas lebih baik lagi, mereka selalu lakukan dan menganggap itu adalah sebuah prestasi.
Berbeda jika tujuan bekerja hanya untuk gengsi dan uang semata. Jika gengsi dan uang tersebut sudah berhasil mereka raih, mereka akan kebingungan mengenai apa yang harus mereka lakukan berikutnya.
Jadi sekarang, kembali kepada kita sendiri, bertanya apakah profesi yang kita jalani sudah berpolusi? Jika iya, bagaimana kita akan menanggulanginya? Atau jika tidak, bagaimana kita akan mengontrolnya?
Semakin sedikitnya polusi yang terkena polusi, semakin besar kesempatan sebuah negara untuk lebih maju dan memiliki masyarakat yang lebih sejahtera.
Setiap hasil yang baik pasti memiliki usaha yang ekstra di baliknya. Sayangnya, orang-orang kini lebih banyak yang mementingkan hasil daripada usaha untuk mendapatkan hasil tersebut.