Tips Budgeting

Yes, saya adalah salah satu yang berhasil memiliki uang Rp100 juta lebih sebelum usia saya mencapai 30 tahun, dan itu alhamdulillah tanpa hutang atau cicilan.

Sejauh ini saya membeli apa pun secara tunai, termasuk sepeda motor yang telah saya ganti dua kali. Tempat tinggal saya adalah semi apartemen jadi itu satu-satunya beban sewa yang jadi tanggungan saya per bulan.

Pertanyaannya, bagaimana perasaan saya memiliki uang sebanyak itu tanpa beban cicilan?

Sejujurnya saya senang di awal-awal memiliki saldo rekening yang menyentuh tiga digit. Tetapi semakin ke sini, semakin biasa saja dan saya tidak memiliki perasaan apa pun seakan penghasilan saya masih UMR.

Bahkan saya tidak pernah memamerkan hasil dari rekening saya berkali-kali seperti dapat membeli barang-barang saya dengan tunai dari mulai kamera hingga sepeda motor.

Saya pernah iseng membagikan tipsnya kepada kolega saya, dan mereka menjalankan tips saya tersebut. Hasilnya, mereka merasakan sendiri uang yang biasanya sudah habis di pertengahan bulan, kini uang mereka masih tersisa hingga penggajian bulan berikutnya.

Maka dari itu, saya ingin mencoba membagikannya di sini.

Saya mulai menerapkan perlahan-lahan tips saya ini dari 2017, dan baru mendapatkan Rp100 juta pertama saya saat 2022. Kini sudah jauh lebih banyak di 2024.

Dan saya perlu tekankan lagi kalau yang ingin saya bagikan di sini benar-benar tips, bukan syarat sah atau memang yang secara umum kita juga sudah tahu seperti “harus banyak doa dan sedekah” atau “harus rajin bekerja” dst. Bukan, bukan itu.


1. Anggaran rata kanan

Betul bahwa saat kita menganggarkan sesuatu, kita harus merincikan apa saja yang menjadi pos atau bagian-bagian pengeluaran.

Misalnya berapa anggaran makan, transportasi, sewa, hiburan, tagihan, dan lain sebagainya.

Dari sejak penghasilan saya UMR saat membangun perusahaan yang mana hidup sendirian di Jakarta lumayan pas-pasan plus termasuk generasi sandwich, saya justru memiliki sisa anggaran setiap bulan.

Tipsnya, saya selalu meratakanankan seluruh anggaran pos-pos pengeluaran.

Saya pernah dengar sebuah istilah dari seorang gamer, yakni “pengaturan rata kanan”. Artinya, seluruh pengaturan digeser ke nilai maksimum yang berada di kanan.

Persis seperti pengaturan kecerahan di HP kita, yang semakin kita geser ke kanan, semakin terang pula layar.

Ilustrasi Rata Kanan

Justru agak bertentangan dengan kebanyakan orang yang memepet-mepetkan anggaran mereka hingga harus ke tahap yang menyiksa diri mereka sendiri, alias full rata kiri.

Di Jakarta, saya tidak bisa mematok anggaran makan sehari hanya Rp10 ribu.

Dari penghasilan Rp4 juta di awal saya bangun usaha, saya langsung tembak satu jutanya untuk makan dan transportasi, 500 ribu untuk saya berikan kepada orang tua, 500 ribu untuk saya tabung, begitu pula dengan sisanya seperti untuk bersedekah dan hiburan.

Memang pastinya total anggarannya akan lebih banyak dari penghasilan saya. Tetapi dari sana saya agak turunkan beberapa ‘pengaturannya’ perlahan agar sampai totalnya di angka 4 juta tersebut.

Nah, pelaksanaannya, tentu tidak langsung saya habiskan begitu saja. Saya rinci lagi menjadi pengeluaran per minggu.

Anggap saya patok anggaran makan saya dalam sehari adalah Rp50.000, saat terrealisasi hanya Rp45.000, artinya saya kelebihan Rp5.000, yang kemudian kelebihan itu saya biarkan mengendap di rekening.

Lalu misalnya saya memiliki anggaran sedekah tiap bulan Rp250.000. Artinya saya harus sedekah Rp50.000 dalam seminggu karena saya ratakanankan dalam satu bulan ada lima minggu. Jika ternyata satu bulan kebanyakannya hanya ada empat minggu, artinya saya punya kelebihan Rp50.000 yang mana saya biarkan juga mengendap di rekening saya.

Saldo dari kelebihan atau surplus anggaran saya, itu untuk dana darurat. Yang terpenting, kebutuhan dasar dan tabungan serta amal jariyah sudah saya tunaikan terlebih dahulu.


2. Rekening terpisah

Saya memiliki empat rekening bank. Satu untuk terima penghasilan/gaji, satu untuk kebutuhan, satu untuk tabungan, dan satunya lagi untuk sekadar saya timbun.

Untungnya, sekarang sudah banyak layanan bank yang mana kita tidak perlu lagi repot-repot ke bank atau memiliki kartu ATM untuk membuka rekening. Di antara layanan itu ada B*l*u BCA, J*enius BTPN, atau J*GO.

Kebetulan saya adalah “salah dua” dari nasabah bank-bank tersebut. Selain itu, saya dapat leluasa membagi tabungan dan timbunan saya ke masing-masing pos.

Misalnya di J*GO ada fitur kantong, yang kemudian saya buat kantong-kantong untuk membagi tabungan saya. Ada kantong rumah, travel, kendaraan, atau sekadar printilan untuk biaya-biaya tak terduga atau biaya lain seperti service kendaraan saya.

Kemudian di J*nius saya buatkan beberapa pos lain untuk endapan.

Maka dari itu saat ibu saya memerlukan biaya pembangunan rumah atau kuliah adik saya yang sampai puluhan juta, saya sangat terbantu dari endapan-endapan kelebihan sisa anggaran tersebut. Bahkan saya sisakan beberapa jika ada kerabat saya yang tiba-tiba memerlukan uang secara darurat.

Terkadang fitrah manusia senang menghabiskan kelebihan uang selagi mereka memandang masih ada saldo di rekening mereka.

Kebanyakannya baru menyadari saat mereka sudah kehabisan uang padahal masih tanggal-tanggal muda.

Rekening-rekening bank khusus inilah yang membuat saya menyelamatkan saldo saya agar tidak terpakai sia-sia hanya karena nafsu belanja saya.

Jadi, setelah saya ‘buang’ sebagian saldo saya ke rekening tabungan dan endapan saya, saya hanya dapat menggunakan sisa saldo di rekening utama saya.


3. Investasi self care

Ada yang pernah menyinggung saya apakah saya pernah melakukan investasi atau trading supaya menambah pundi-pundi? Kalau untuk uang, saya justru menggeleng.

Termasuk pekerjaan sampingan yang menghasilkan seperti misalnya ada yang menyarankan saya menggunakan sepeda motor saya untuk menjadi transportasi online. Saya hanya menggeleng karena tidak tertarik sama sekali.

Saya tidak ingin latah mencari uang tambahan selain dari apa yang menjadi hobi saya seperti menulis situs web Anandastoon ini karena saya hanya ingin menikmati hidup saya.

Sama seperti bahasan tips bahagia saya yang lalu, satu-satunya investasi yang saya lakukan hanyalah investasi self care. Yakni hanya fokus dengan kegiatan yang saya cintai dan saya terus kembangkan dengan melakukan berbagai perbaikan atau improvisasi.

Lagi, seakan kontra, saya justru membuang-buang uang saya (secara wajar) untuk perkembangan diri saya sendiri. Seperti membeli kursus video atau berlangganan bacaan, membeli peralatan fotografi, atau sekadar hanya icip-icip di kafe unik.

Suasana hati saya adalah aset yang harus saya jaga supaya produktivitas saya tetap utuh.

Terbukti, karena saya fokus mengasah hobi yang saya cintai, pada akhirnya saya mendapatkan tawaran pekerjaan sampingan yang bernilai jutaan yang dapat saya selesaikan dalam kurun kurang dari satu minggu.

Di antara pekerjaan sampingan itu ada desain web atau pembuatan sistem administrasi. Meski tidak sering saya dapat, namun penghasilan sampingan saya itu jauh lebih baik daripada saya harus latah mencari pekerjaan sampingan yang orang lain banyak yang lakukan juga.

Bagi saya ini win-win solution. Sebab bukan hanya saya berlelah-lelah di bidang yang saya suka, tetapi juga mendapatkan penghasilan yang tak saya sangka dari apa yang saya sukai tersebut.

Hikmah lainnya, saya menjadi merdeka secara finansial alias tidak melakukan segala sesuatu hanya demi uang yang dapat merusak esensi kegiatan.

Dan tidak, saya tidak ingin menjual foto-foto saya yang telah saya potret dan dapat kalian nikmati secara gratis di kategori Tamasya atau instagram saya @anandastoon. Foto-foto tersebut adalah salah satu aset perawatan diri saya yang dapat menghibur saya saat sedih.


4. Mencari orang kaya

Saya pernah “miskin”. Literally, “miskin”. Kendaraan tidak punya, untuk makan saja masih khawatir, pernah hanya makan nasi sedikit dengan lauk garam tok, ibu dan adik saya yang perlu saya tanggung sebab ayah saya sudah tiada, belum lagi sewa indekos yang rawan menunggak.

Bahkan yang sering mengejek saya tidak dapat mengendarai sepeda motor adalah mereka-mereka yang juga mengaku rakyat kecil.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengubah lingkaran saya dengan mencari orang-orang yang berada entah lewat kerabat atau klien website saya.

Pastinya, saat saya menginginkan untuk menjadi kaya, saya harus belajar dari mereka yang sudah kaya.

Orang kaya yang saya temui itu syaratnya adalah kaya dari usaha sendiri supaya mereka dapat menginspirasi. Jadi bukan kaya yang menikmati hasil dari orang tua atau dapat keuntungan mendadak.

Terbukti lagi, ternyata tidak ada seorang pun dari mereka yang mengejek saya karena saya tidak bisa naik kendaraan bermotor apa pun. Mereka bahkan menyuruh saya untuk menikmati subsidi pemerintah lewat transportasi umumnya seperti Transjakarta dan KRL.

Mereka pun seringkali menyelamatkan anggaran makan saya setiap kali bertemu mereka. Bukan hanya beragam wawasan padat ilmu dan inspirasi yang saya dapat, orang-orang kaya tersebut juga membantu mengurangi beban anggaran saya.

Berbeda dengan tongkrongan mereka-mereka yang hanya membicarakan orang lain dan menghabiskan waktu serta uang mereka untuk hal-hal yang tidak perlu.


5. Hak kita pada orang lain

Saat saya berbicara hak kita pada orang lain, bukan berarti harus berunjuk rasa menuntut hak seperti yang dilakukan para demonstran. Apalagi sampai memblokir jalanan dan menyusahkan orang lain.

Justru ada beberapa hak atau rezeki kita yang ‘tercantol’ di orang lain.

Kita dapat mengklaim hak kita yang berada pada seseorang dengan membuatnya bahagia. Termasuk di dalamnya adalah mendengarkan keluhannya dan memudahkan urusannya.

Mirip seperti hukum karma.

Bukankah kita sering melihat orang-orang yang hidupnya sulit karena memang mereka gemar menyusahkan orang lain dan membuat resah sekitar? Bisa jadi mereka terkena kesulitan karena rasa benci orang lain atau bahkan hasil dari doa atau sumpah buruk dari masyarakat yang terkena dampak dari ulah mereka.

Saya alhamdulillah tidak terlilit hutang dan memiliki cicilan sejauh ini. Justru seringkali saya mendapatkan kemudahan-kemudahan hidup meski saya tidak memiliki keistimewaan atau privilege sama sekali.

Yang saya lakukan sangat sederhana, hanya memperbaiki diri dan mencari celah untuk bermanfaat kepada orang lain, meski hanya menaruh tisu di toilet darurat.

Sekarang saya hanya fokus dengan usaha-usaha yang terlihat begitu remeh, namun sangat berarti. Benar kata pepatah ulama zaman dulu,

“Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu.”
– Ibnu Qayyim Al Jauziyyah

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Ada masalah kesehatan mental? Bingung curhat ke mana?
Curhat ke Anandastoon aja! Mari, klik di sini. 💗

  • Sebelumnya
    Mau Kerja Enak? Maksudnya Mau Seperti Koruptor?

    Berikutnya
    Tips Lebih Bahagia 43: Hidup Normal


  • 3 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Menginspirasi sekali tulisannya Mas. Terima kasih sudah berbagi tips. Ingat saya, Mas? Semoga kabarnya sehat ya Mas Ananda.

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas