Saat saya berada di kafe, menikmati suasana nyaman yang dapat mendongkrak suasana hati untuk melakukan hobi dan pekerjaan saya, terdengar sebuah pengumuman.
“Bagi pengunjung dimohon untuk menginfokan nomor meja yang baru saat pindah tempat kepada waiters.”
Saya yang sedang asyik bekerja seketika menarik tangan saya dari laptop. Entah kenapa, saya tergelitik akan sesuatu.
Pada akhirnya lahirlah artikel ini.
Saya menjadi teringat dengan seseorang yang bekerja sebagai pengemudi online, di mana ia merasa risih jika disebut dengan supir.
“Kami ini driver! Bukan supir!”
Padahal memang supir, bagi yang menggunakan mobil. Atau,
“Kami ini driver! Bukan tukang ojeg!”
Padahal memang tukang ojeg, bagi yang menggunakan sepeda motor. Perbedaannya hanya teknik menjaring penumpangnya saja lewat daring atau online.
Atau saya waktu masih sering naik Transjakarta ada beberapa petugas pintu yang risih disebut dengan kondektur. Ia hanya ingin dipanggil sebagai petugas onboarding.
Di lain pihak, ada beberapa petugas kebersihan yang hanya ingin dipanggil dengan cleaning service.
Dan tentu saja seperti kasus di awal, ada pelayan restoran yang ingin dipanggil “waiters” (yup plural). Mereka sangat tidak menginginkan disebut dengan “pelayan”.
Fenomena ini secara tidak langsung agak sedikit mengganggu saya. Ternyata masih ada beberapa orang merasa ‘jijik’ dengan bahasanya sendiri dan lebih memilih untuk menggunakan istilah luar.
Padahal banyak dari kita yang marah jika bahasa kita direndahkan atau dipermainkan oleh bangsa luar.
Namun justru yang merendahkan bahasa nasional ini justru berasal dari negaranya sendiri.
Saya benar-benar penasaran.
Masalahnya, yang memandang rendah bahasa Indonesia ini justru banyak yang bukan berasal dari kalangan menengah keatas.
Justru yang memandang rendah bahasa Indonesia ini banyak yang berasal dari masyarakat ke bawah.
Saya bertanya, “Dear, apa yang salah jika kamu dipanggil supir atau pelayan restoran? Padahal itu memang pekerjaanmu.”
Jawabannya seperti yang telah saya duga, adalah masalah stigma masyarakat dan gengsi.
Mereka berpikir bahwa sebutan ‘driver’ jauh lebih memiliki martabat daripada ‘supir’ atau ‘tukang ojeg’. Atau sebutan ‘waiters’ yang ternyata lebih memiliki kelas daripada ‘pelayan’.
Tanggapan seperti itu tentu saja melahirkan pertanyaan lain dari benak saya. Berarti di mata orang-orang seperti itu bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional ini ternyata berada dalam kasta yang sangat rendah dibandingkan bahasa lain dalam benak mereka.
What’s wrong with you people? Ada apa dengan orang-orang seperti itu?
Say, dengar, saya adalah seorang programmer. Namun saya fine dipanggil dengan ‘orang IT’ atau ‘tukang ngoding’ meskipun pekerjaan saya lebih ke arah pemecahan masalah daripada hanya sekedar mengoding.
Bahkan orang-orang yang sepertinya anti dengan sebutan lokal seperti supir atau pelayan atau petugas atau apa pun, ternyata memang bukan orang yang paham dengan harta karun bahasanya sendiri. Saya tebak, nilai pelajaran Bahasa Indonesia mereka sewaktu di sekolah bisa jadi adalah salah satu yang terburuk.
Sampai akhirnya, saya pernah mendengar seseorang berkata, “Jika suatu merek barang dilabeli dengan bahasa asing, itu akan mendongkrak nilai jual.”
Misalnya, bagi saya yang dapat sedikit berbahasa Spanyol, produk “Dekorasi Rumah” yang diberi nama dengan “Casa Belleza” memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan lirikan dari orang-orang, apa pun kalangannya.
Seburuk apa pun stigma yang dihasilkan oleh masyarakat tentang bahasanya sendiri, bagaimana pun ini adalah bahasa nasional pemersatu kita sendiri.
Sebenarnya tidak mengapa jika ada beberapa dari kita yang mungkin menambahkan bumbu-bumbu bahasa asing dalam percakapan atau tulisan selagi kita memahami kaidah dasar dari pedoman umum ejaan Bahasa Indonesia itu sendiri.
Saat kalian membaca artikel ini, kalian dapat melihat bagaimana saya dapat berhati-hati dengan ejaan dan penulisan kata demi kata. Hal ini saya lakukan sebab saya ingin berusaha untuk menghargai bahasa nasional ini yang sudah jelas-jelas tercantum dalam salah satu poin Sumpah Pemuda.
Saya hanya menulis secara bebas jika temanya memang benar-benar kasual seperti tema piknik atau humor.
Saat orang asing yang belajar bahasa Indonesia, kita elu-elukan, jumlah tayangan Youtubenya bertambah secara signifikan, dan yang lainnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi di kalangan kita sendiri.
Padahal penggunaan bahasa dengan baik dan benar juga dapat meningkatkan kelas.
Jadi bagi siapa pun yang enggan menggunakan bahasa sendiri hanya karena alasan ingin lebih berkelas, so you want class huh? I’ll give you class.
Jangan khawatir, pelayan atau supir yang bekerja dengan baik dan memiliki pengorbanan ekstra akan mendapatkan kelasnya sendiri ditambah dengan simpati masyarakat daripada mereka yang hanya ingin dipanggil “driver” atau “waiters”.
Kesimpulannya, sebenarnya bukan sebutannya yang berkelas, melainkan aksi kita yang berkelas. 😉