Dua bulan lebih mengurung diri di dalam rumah, tidak keluar kecuali ada kebutuhan mendesak, bahkan sekali pun keluar harus mematuhi peraturan-peraturan sosial yang telah ditetapkan oleh dinas kesehatan selama wabah. Bagi orang-orang luar ruangan seperti saya, tentu mematuhi anjuran untuk di rumah saja bukanlah hal yang mudah. Saya hingga tidak melakukan shalat Id di hari raya Idul Fitri di masjid karena hal ini.
Setelah menjalani aktivitas statis yang begitu menyiksa karena ingin wabah segera mereda, harapan saya justru ingin kurva semakin melandai karenanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sangat, sangat, sebaliknya. Kurva penyebaran virus begitu melonjak tajam dibarengi dengan aktivitas warga yang membludak di luar ruangan karena bertepatan dengan momen hari raya.
Sia-siakah peraturan untuk berdiam diri di rumah saja berbulan-bulan jika sudah begini?
“Manusia bukanlah ternak (herds), dan lagi pula konsep herd immunity biasanya digunakan untuk menghitung berapa banyak orang yang perlu divaksinasi dan populasi untuk menghasilkan efek itu,” ujar Mike Ryan, direktur eksekutif WHO.
Bukan tidak mungkin sistem Herd Immunity ini hanya akan menghasilkan 5% saja dari populasi yang kebal dari penyakit. Jadi istilahnya, biarlah seleksi alam yang menentukan apakah kemudian manusia akan dikalahkan oleh penyakit atau dapat bertahan darinya. Terdengar sangat menyeramkan.
Lalu apakah sistem Herd Immunity ini cocok diterapkan untuk setiap wabah? Tergantung. Dilihat dari wabahnya, apakah begitu mematikan atau tidak, sudah tersedianya vaksin atau belum, hingga menjadi pilihan terakhir yang dapat diambil oleh pemilik wewenang.
Dampaknya begitu mengerikan jika Herd Immunity ini diterapkan selama wabah karena masyarakat harus memilih roda takdirnya sendiri, siap tidak siap. Korban bisa saja tiba-tiba bergelimpangan di jalan-jalan, dan para tenaga kesehatan pun akan begitu kewalahan. Ditambah lagi, rumah sakit akan menjadi begitu kesulitan untuk menerima pasien baru sebab mereka tidak lagi memiliki ruangan yang tersedia sebagai tempat penampungan pasien.
Tidak semua negara sukses menerapkan lockdown atau pun semi/partial lockdown yang kita kenal dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Baik lockdown maupun PSBB itu sendiri sebenarnya sukses dalam menggerus aktivitas perputaran uang dalam suatu negara karena kegiatan ekonomi yang sangat terbatas bahkan nihil.
Fenomena yang terjadi berhubungan dengan ini pun bermacam-macam dari mulai anjloknya omset para pengusaha, hingga kasus kehilangan pekerjaan secara masal.
Tentu saja, masyarakat wajib berkorban demi pemulihan dari wabah seperti sedia kala dan kembali beraktivitas secara normal. Sebenarnya jika virusnya termasuk kategori mudah, yakni dapat disembuhkan dalam waktu kurang dari dua minggu, proses lockdown pun seharusnya cukup dilakukan dalam kurun waktu kurang dari dua bulan saja, dengan syarat peraturan lockdown harus dilakukan secara ketat.
Namun apa yang terjadi jika ternyata proses lockdown tersebut tidak membuahkan hasil karena peraturan lockdown begitu longgar dalam pelaksanaannya?
Jika ternyata pelaksanaan lockdown berbulan-bulan tidak membuat kurva penyebaran virus melandai, sedangkan negara sudah diambang krisis secara brutal, tidak menutup kemungkinan pemerintah akan mengambil jalan terakhir yaitu menerapkan Herd Immunity kepada seluruh lapisan masyarakat.
Ini bukan tanpa perhitungan, namun penerapan Herd Immunity juga memiliki dua sisi mata uang.
Positifnya:
Negatifnya:
Herd Immunity ini dapat diterapkan (sebagai pilihan terakhir) hanya untuk wabah ‘ringan’ yang tidak begitu mematikan. Apalagi jika masyarakat begitu meremehkan wabah dan menganggap hanya berjemur sedikit dan meminum minuman herbal sudah merasa aman dari wabah tersebut.
Belum lagi, adalah hal yang manusiawi jika masyarakat begitu membenci peraturan yang memberatkan mereka, seperti mengarantinakan diri sendiri di rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Beberapa lapisan masyarakat pun tidak setuju dengan peraturan tersebut yang memang telah terbukti dengan adanya demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara menuntut pemerintah untuk mencabut peraturan lockdown. Hal ini dapat diperparah jika pemerintah tidak tegas dalam mengeksekusi peraturan tersebut.
Intinya, peningkatan kesadaran dan kewaspadaan akan menjadi suatu keniscayaan bagi beberapa lapisan masyarakat yang sulit diatur.
Ditambah lagi sekelompok agamawan yang merasa diri mereka beriman merasa pemerintah berasal dari golongan sesat karena telah menutup rumah-rumah ibadah mereka dan membuat berjuta-juta pembelaan yang dibuat-buat. Belum lengkap, beberapa pembuat hoaks dan teori-teori konspirasi seperti mendapatkan durian runtuh dari bencana kesehatan ini.
Inilah mengapa terkadang ada sebagian masyarakat yang perlu kasus nyata dari wabah yang sedang berlangsung di negeri mereka. Mungkin lain halnya jika masyarakat sudah melihat dengan mata kepala mereka sendiri dampak mengerikan yang ditimbulkan oleh wabah tersebut, terutama jika menyerang keluarganya, kerabatnya, atau bahkan diri mereka sendiri.
Selama ini bisa jadi mereka anggap orang-orang yang berada di rumah sakit sudah terkena penyakit lain, yang mana peran wabah sangat sedikit dalam membuat para pasien terbaring di rumah sakit di luar penyakit utama.
Jadi jika Herd Immunity ini adalah pilihan terakhir, mau tidak mau siapa saja harus mempersiapkan diri dengan tubuh yang sehat sebisa mungkin agar tidak terpapar virus. Di sini kita sudah benar-benar angkat tangan kepada mereka yang membandel setelah diberikan begitu banyak peringatan. Semoga lapisan masyarakat yang menjalankan peraturan dari pihak yang lebih berwenang diberi keselamatan.