Ini BUKAN ajakan kepada para pembaca supaya melakukan hal serupa menghapus aplikasi ojol. Saya hanya berbagi pengalaman yang sifatnya metafor dan TIDAK terfokus hanya pada aplikasi ojol saja.
Saya adalah salah satu pelanggan setia transportasi daring atau online di hari di mana aplikasinya diluncurkan. Pada saat itu kalau tidak salah mulai dari 2016, atau 2017, saya lupa.
Sebagai orang yang tidak dapat mengendarai sepeda motor, kehadiran ojeg online merupakan salah satu penyelamat hidup saya. Tarifnya memang lebih mahal daripada angkutan umum meski saya sudah pakai promonya, namun saya lebih memilih memakai ojeg online karena lebih dapat saya andalkan.
Sampai akhirnya saya sudah dapat mengendarai sepeda motor pun, ketergantungan saya akan aplikasi ojol masih berlanjut. Seperti, memesan makanan, atau sekadar mengantar saya ketika sepeda motor saya sedang saya tinggal di bengkel untuk perawatan rutin.
Apalagi saat pandemi Covid kemarin yang mana saya setiap hari selalu memesan makanan lewat aplikasi online tersebut.
Di awal 2024, saya uninstall dua aplikasi ojol, terkhusus yang berwarna hijau. Benar, dua-duanya berawalan “G”. Saya sendiri tidak memiliki yang lain jadi saya benar-benar tidak memiliki aplikasi ojol sama sekali.
Hasilnya? Saya ternyata tidak kehilangan apa pun. Bahkan sebaliknya, saya merasa lebih bahagia. Bagaimana bisa?
Oh iya, sengaja artikel ini tidak saya masukkan ke dalam seri “tips bahagia” karena ini lebih condong kepada permasalahan sosial daripada sebuah tips.
Konon, golongan menengah adalah golongan yang cukup terabaikan walaupun mereka salah satu penyumbang pajak paling tinggi. Mereka terkena kenaikan tagihan dan bahan pokok, sedangkan mereka tidak termasuk kategori orang yang mendapatkan subsidi.
Tidak heran, banyak golongan menengah yang pada akhirnya menyerah dan jatuh miskin.
Awalnya saya menaruh perhatian kepada golongan menengah ini, sampai akhirnya ada yang memberitahu saya bahwa tidak semua golongan menengah layak mendapatkan simpati.
Sebagian kaum menengah ada yang memang tidak ingin menjadi prihatin dan lebih bernafsu meniru gaya hidup para selebriti yang secara finansial mereka belum sampai kepada tahap itu.
Kembali kepada aplikasi ojol.
Di elevator gedung kantor saya, terkadang mata saya tak sengaja melihat orang-orang yang memesan ojeg online ke tempat yang dengan mudahnya mereka dapat tuju dengan Transjakarta. Terjadi cukup sering dan pernah membuat saya agak mengernyitkan dahi.
Apalagi jarak kantor saya dengan halte Transjakarta dan stasiun LRT hanya sekitar 20 meter. Benar, hanya beberapa langkah saja.
Sebelumnya saya memahami bahwa ada beberapa orang yang tidak ingin menggunakan angkutan umum mungkin karena pernah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Atau mereka yang sedang terburu-buru, atau bahkan terlalu melelahkan jika menggunakan transportasi umum. Hal itu tidak mengapa jika mereka lebih memilih menggunakan transportasi online.
Tetapi yang saya dengar, alasan beberapa orang lebih memilih ojeg online yang nyatanya jauh lebih mahal, adalah karena mereka tidak ingin bermacet ria di transportasi umum atau sekadar ingin mengulur waktu lebih lama.
Lebih parah lagi, ada yang lebih memilih transportasi online mobil hanya karena lebih bergengsi daripada naik transportasi umum.
Banyak kaum menengah yang bersifat hedonis, gemar berfoya-foya hanya demi gengsi. Padahal itu bisa menghilangkan simpati masyarakat.
Tidak perlu saya bahas transportasi online, saya pun sering melihat para pekerja menengah yang terlalu sering menghabiskan waktu mereka berbelanja dan makan di restoran atau kafe mewah. Saya mengetahui peristiwa-peristiwa ini karena kantor saya berada tepat di sebelah mall.
Sekali lagi tidak mengapa kalau hanya sesekali. Saya pun setelah pulang kerja terkadang dalam satu minggu sekali atau dua kali makan di mall tersebut. Sekali makan di sana, saya bisa menghabiskan hingga Rp100K. Bagi saya itu cukup menguras anggaran.
Sejujurnya, dahulu saya sering menganggarkan hingga Rp500K dalam seminggu hanya untuk saya habiskan untuk nongkrong di kafe setiap habis pulang kerja.
Nah, setelah saya mengurangi kebiasaan itu, dalam sebulan ternyata saya dapat membeli sepatu baru, lampu tidur unik, parfum, hingga pewangi ruangan dari anggaran bekas nongkrong. Belum lagi tabungan saya yang bertambah signifikan.
Saya masih menganggarkan untuk nongkrong karena bagaimana pun itu bagian dari hiburan. Namun kali ini tidak sampai hampir setiap hari dan saya sudah mulai terbiasa dengan itu.
Meski saya sudah sangat merdeka secara finansial, tetapi saya tetap harus bijak dalam mengelola keuangan saya.
Saat saya lapar, saya turun ke bawah dari ruangan kantor saya dan berjalan ke kafetaria terdekat. Itu jauh lebih sehat secara fisik dan anggaran daripada saya harus memesan lewat aplikasi.
Titik permasalahan hari ini yang membuat jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya adalah kebergantungan kepada teknologi.
Di satu sisi, saya senang dengan kemudahan-kemudahan teknologi tersebut sebab membuat waktu saya menjadi jauh lebih efisien. Hanya saja, saya merasa produktivitas saya semakin menurun dari hari ke hari karena terlalu banyak porsi layar yang saya konsumsi.
Suatu hari, saya melihat rekam jejak saya waktu membangun usaha tahun 2016 lalu.
Saya tertegun, wow, dulu saya pernah berusaha sekeras ini dalam membangun usaha. Dalam satu hari, sangat banyak hal positif dan bermanfaat yang saya selesaikan.
Sedangkan hari ini, ada satu hal positif yang selesai dalam waktu satu minggu saja sudah syukur. Kemana ketahanan fisik dan mental saya dahulu?
Beberapa tahun lalu, saya sanggup mendaki Gunung Prau pulang pergi secara mendadak hanya dalam beberapa jam saja. Namun sekarang, saya bahkan sudah hampir tidak sanggup meski hanya mendaki bukit.
Kemudian saya ingat sesuatu, saya pernah berbicara dengan seseorang yang takjub dengan kekuatan fisik saya dulu. Akhir pekan saya berjalan jauh, Seninnya sudah bekerja normal kembali. Saya hanya menjawab,
Mungkin karena saya terbiasa naik turun tangga halte busway dan mengejar bus Transjakarta.
Perut saya kini telah membuncit, yang artinya saya sudah jarang bergerak.
Biasanya saat saya melakukan perawatan sepeda motor rutin, saya selalu melakukannya pagi hari saat berangkat kerja. Saya meninggalkan sepeda motor saya di bengkel kemudian melanjutkan perjalanan lewat transportasi online.
Kemarin, saya mencoba untuk berjalan kaki dari bengkel ke halte Transjakarta terdekat, 500 meter. Ternyata tidak buruk dan walaupun penuh perjuangan karena trotoarnya banyak yang menyerobot, saya hanya merasa ada manfaat dari kegiatan berjalan kaki saya itu.
Saya merasa lebih ringan, seolah suasana hati saya terpompa dengan sendirinya lewat kegiatan berjalan kaki.
Selain itu, dompet saya semakin terselamatkan karena saya tidak lagi dihantui promo-promo dan diskon yang seolah dapat membuat saya lebih hemat, padahal sebaliknya.
Saya tidak tahu sejak kapan, saya merasa menjadi mitra ojeg online telah menjadi budaya baru dalam dunia profesi.
Pernah sekali dua kali saya mendengar orang yang lebih memilih menjadi pengemudi online daripada bekerja menjadi pegawai atau buruh. Menurut mereka,
“Lebih enak ngojek, gampang tinggal nganter doang dapet duit.”
Apalagi mereka banyak yang bisa memilah mana pelanggan yang mereka ingin antar atau mereka tolak.
Semakin ke sini sepertinya saya lihat seperti semakin tidak ada lagi penyaringan mereka-mereka yang ingin menjadi pengemudi online. Setiap kalangan selagi dapat menyetir bisa langsung menjadi mitra.
Mungkin inilah yang membuat saya semakin sering melihat perilaku pengemudi online yang tidak menyenangkan di jalan bahkan sampai meresahkan. Lawan arah, klakson-klakson panjang, berteriak-teriak dan berkerumun, memakan badan jalan dan trotoar, serta lain sebagainya.
Saya sendiri pernah mendengar orang yang sudah beberapa kali melaporkan perilaku pengemudi online tersebut terutama yang ugal-ugalan dan wara-wiri di trotoar ternyata tidak pernah berhasil.
Mereka hanya ‘hilang’ saat ada aparat ‘lewat’ kemudian perilaku mereka kembali seperti sediakala. Belum lagi kasus di mana ada petugas keamanan yang ‘dikeroyok’ hanya karena menegur salah seorang dari pengemudi online tersebut.
Jangan sampai para pengemudi online itu sampai di tahap di mana mereka menjadi kebal hukum karena mereka merasa masyarakat telah begitu membutuhkan mereka.
Saya hanya tidak ingin meng-endorse perilaku yang demikian itu, entah dari kalangan kecil atau kalangan menengah ke atas. Saya memahami tidak semua pengemudi online seperti itu, tetapi yang seperti itunya sudah cukup banyak semakin hari.
Sebab sudah terlalu banyaknya, terbukti saat para pengemudi online tersebut melakukan demonstrasi dan ramai-ramai mematikan aplikasi mereka, ternyata pemesanan online masih sangat mudah dilakukan.
Tidak ada yang mengeluh kekurangan pengemudi online pada saat itu. Pemesanan transportasi, makanan, hingga kurir tidak mengalami masalah. Lancar jaya.
Bahkan berlaku sebaliknya, saat para pengemudi online melakukan unjuk rasa, jalan raya terlihat lebih lengang. Trotoar yang biasanya menjadi tempat mangkal dan mengganggu pejalan kaki, hari itu benar-benar kosong. Hanya terlihat satu atau dua yang parkir di atas trotoar dan itu tidak lama.
Saya melihatnya sendiri saat menggunakan Transjakarta ke kantor.
Dan akibat terlalu banyaknya pengemudi online sedangkan jumlah pelanggannya tidak ikut bertambah, pada akhirnya itu merusak harga pasar transportasi online itu sendiri.
Banyak sekali pengemudi online yang mengeluh jika penghasilan mereka semakin menipis kian hari. Tetapi sangat sedikit dari mereka yang ingin menyadari fenomena sebab akibatnya.
Belum lagi, pengusaha transportasi online itu akan sampai di mana mereka harus mengembalikan uang investor yang telah mereka ‘bakar’ agar bisnis mereka bisa bertahan.
Jika hal seperti ini kita biarkan, akan terjadi kesenjangan profesi yang bisa berujung kepada sesuatu yang mengerikan.
Maaf saja, tetapi kampanye menjadi pengemudi online dengan iming-iming bonus besar bahkan manajer saja sampai ikut menjadi mitra, semuanya sudah masa lalu. Selamat datang di dunia nyata yang normal.
Apakah kita ingin melihat SDM yang menjadi salah satu faktor kemakmuran negara kebanyakannya hanya berhenti menjadi pengemudi online? Yang sebagiannya sangat tidak taat aturan hingga meresahkan?
Banyak orang yang termasuk saya sendiri (tadinya), menganggap bahwa dengan menggunakan transportasi online, berarti kita ikut menyejahterakan para pengemudinya.
Kini, saya bilang itu mitos. Restoran mewah pun memiliki karyawan menengah ke bawah yang perlu kita sejahterakan lewat transaksi kita.
Bagaimana kita ingin menyejahterakan orang lain sedangkan diri kita masih jauh dari kata sejahtera tersebut? Masalahnya, banyak dari kita yang mengeluh bahwa gaji kita sudah habis di tanggal muda. Mungkin itu karena minimnya manajemen anggaran kita.
Jika alasannya untuk menyejahterakan, banyak usaha kecil yang juga kita perlu sejahterakan. Namun nyatanya kita tidak akan sanggup yang pada akhirnya kita terkubur kepada ‘kebaikan’ yang tidak pernah dapat dihargai orang lain.
Tidak semua pengemudi online adalah orang susah. Itu hanya propaganda. Seringkali saya melihat sepeda motor pengemudi online jauh lebih bagus dan mentereng daripada sepeda motor saya sendiri.
Saya memahami bahwa ada hati nurani kita yang ingin berbagi dan berbuat baik kepada orang lain. Itu sangat saya hargai dan apresiasi.
Hanya saja, apakah kita ingin berbagi uang kita kepada orang-orang yang misalnya, petugas parkir liar ilegal yang memaksa kita untuk menyisihkan untuk mereka?
Perilaku itulah yang terlalu mendapatkan toleransi oleh masyarakat sehingga tidak heran para aparat dan pemimpin kita selalu mengobyek setiap hal yang mereka bisa. Kebaikan kita tidak akan pernah bermanfaat bagi mereka.
Ketika kita memang ingin berbuat baik, mengapa kita tidak mencari yayasan dan lembaga nirlaba lalu mengirimkan sejumlah uang lewat rekening mereka?
Ibu saya memiliki kenalan di kampung saya di Majalengka yang benar-benar miskin hingga penerangan saja tidak punya. Itu jauh lebih saya prioritaskan untuk saya berikan sedekah secara rutin.
Atau saya hampir setiap minggu memberikan bantuan sosial bagi kampanye-kampanye kemanusiaan. Seperti, mereka yang perlu biaya sekolah, biaya berobat, biaya bangun sumur, bangun masjid, menyumbang ke Palestina, dan lain-lain.
Saya ingat saya pernah berkelakar, ketika ada orang yang meminta uang dengan alasan berbagi rezeki, saya katakan bahwa saya juga berhak mendapatkan pembagian itu.
Masalahnya mereka sendiri yang bersikeras bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, namun mereka sendiri yang tidak percaya itu dengan meminta-minta rezeki mereka pada orang lain.
Saya pun mitra. Mitra Google. Kedudukannya sama dengan mitra pengemudi online.
Kalau kalian lihat iklan di situs Anandastoon ini, itu karena saya adalah mitra iklan Google.
Berapa penghasilan yang saya dapatkan dalam sehari lewat iklan tersebut? Ternyata tidak sampai Rp1000. Saya pernah buat artikel blak-blakannya di sini.
Artinya, penghasilan saya sebagai mitra Google jauh lebih rendah jika kita bandingkan dengan rekan-rekan mitra pengemudi online. Dan itu semakin rendah dari hari ke hari.
Begitu pun teman saya sebagai kreator konten di Youtube. Perlu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu juta rupiah, dan justru semakin memburuk.
Apakah kami berdemo? Berunjuk rasa hingga menutup jalan dan menyusahkan masyarakat sekitar?
Kedudukan mitra memang hanya ditujukan untuk kegiatan paruh waktu. Artinya setiap orang wajib memiliki mata pencaharian utama di luar profesinya sebagai mitra.
Sekali lagi, saya tidak menyuruh para pembaca agar mengikuti aksi uninstall aplikasi ojol seperti yang saya lakukan. Namun berbuat baiklah kepada diri kita sendiri.
Mereka yang bekerja keras di sawah dan di ladang, jauh lebih saya hargai daripada mereka yang hanya memilih untuk menjadi mitra transportasi online.
Tidak perlu beralasan mencari kerja susah dengan adanya pembatasan usia dan lain sebagainya. Merekalah yang harus menurunkan ego agar dapat merasakan kerja dari awal terlebih dahulu. Saya pernah bahas di artikel saya sebelumnya.
Mengapa kita tidak lebih fokus untuk mengampanyekan pembukaan lapangan kerja dan saling menyemangati agar Indonesia melahirkan banyak pengusaha yang bisa menyejahterakan banyak orang?
Sekarang teruntuk para pengguna transportasi online itu sendiri,
Di Indonesia, terkhusus di Jakarta yang sudah banyak angkutan umumnya, saya akui masih ada banyak PR untuk akses first mile dan last milenya. Tidak masalah jika kita ingin menggunakan transportasi online ke stasiun atau halte terdekat dari rumah atau kantor.
Di artikel ini saya hanya memberikan fakta di lapangan dan lebih menitikberatkan kepada kebergantungan dan dampaknya.
Tidak kurang, tidak lebih.