Kursi? Mungkin judul yang cukup aneh, kiranya apa yang penulis ingin sampaikan dari sebuah kursi? Saya lihat gambar pengantarnya saja sudah cukup menakutkan. Apakah ini cerho a.k.a cerita horor? Jika memang ini ada cerita horor, maka saya akan memasukkannya ke kategori Misteri dan Urban Legend.
Di judulnya juga tertulis kata-kata kerja, lalu apa hubungannya kepetakaan kerja dengan sebuah kursi? Dan petaka? Apa kata tersebut hanya sebagai hiperbolis atau memang ada kejadian yang benar-benar traumatik. Baik, bisa dilanjutkan ke bagian berikutnya.
Pernahkah kalian melihat ketika jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan atau mal sebuah peringatan yang bertuliskan berikut :
Ini adalah lift khusus pengunjung. Para karyawan harap gunakan tangga.
Atau,
Mushalla ini khusus pengunjung, para staf/karyawan gunakan yang di basement.
Peringatan tersebut atau yang serupa dengannya tentu dapat kalian temui di lift dan mushalla. Sekilas terlihat peraturan yang kejam, namun apa tujuan perusahaan pusat perbelanjaan tersebut memasang peringatan tersebut?
Masih ada hubungannya dengan postingan saya yang ini, lagi-lagi membahas masalah customer. Kita telah mengetahui bahwa customer adalah raja, dalam kata lain, setiap orang yang membayar jasa atau barang kita adalah customer, dan mereka adalah raja. Karena jika tidak ada customer, sebuah perusahaan dapat dipastikan bangkrut.
Peringatan tersebut semata-mata untuk meningkatkan pelayanan kepada customer pusat perbelanjaan yakni pengunjung. Bayangkan, jika pengunjung yang kelelahan ingin menggunakan lift, setelah menunggu lama dan mengantri, ternyata liftnya penuh dengan para karyawan mal. Dan kalian tahu, komplain adalah sifat asli customer, tidak akan dapat diubah selamanya.
Apa hubungannya dengan sebuah kursi?
Masih sangat berkaitan dengan lift dan mushalla tersebut, ternyata hal sekecil kursi pun menjadi penghalang terjadinya berkah kerja. Berikut adalah contoh kasusnya :
Akhirnya apa yang terjadi, terkadang customer cari alternatif yang lebih baik dalam memperhatikan hak customer, meskipun hanya sebuah kursi. Yang pada akhirnya, terjadi penurunan omzet pada perusahaan yang tidak memberikan hak customer walaupun hanya tempat untuk duduk.
Rewel adalah sifat asli customer, maka dari itu perlu ada istilah pelayanan yang membuat customer seolah raja. Karena tanpa customer, darimana sebuah perusahaan dapat hidup dan menggaji karyawannya? Ditambah lagi banyaknya saingan dari perusahaan serupa yang siap merebut para customer.
Berkah berhubungan erat dengan kebaikan. Banyak karyawan yang gajinya cukup namun selalu mengeluh kurang karena memang dia tidak layak mendapatkan nilai gaji sebesar itu disebabkan nilai jualnya atau kualitas kerjanya yang sangat rendah.
Banyak saya perhatikan, terutama petugas transportasi, yang sangat tidak memperdulikan hal ini. Akhirnya jika ada seorang customer yakni penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk karena kursinya diduduki dia, itu sudah dapat dinamakan korupsi fasilitas kerja, apalagi mengingat customer tersebutlah yang menggajinya.
Menduduki kursi bos saja tidak berani, lalu mengapa berani menduduki kursi bosnya bos yakni penumpang?
Jika pegawai alasannya karena lelah, alasan tersebut hanyalah klise, karena setiap pekerjaan pasti melelahkan. Apalagi sangat tidak tepat mengeluhkan hal tersebut di depan customer, yang mana juga sama-sama lelah dan juga memberikan uang gaji untuk pegawai tersebut.
Atau jika memang customer sedang kosong, lantas bukan semerta-merta langsung menduduki kursi customer. Pegawai juga harus tahu di mana spot yang disukai customer, maka pegawai harus memilih kursi yang lain. Contoh, jika customer transportasi atau penumpang menyukai duduk di dekat jendela, meskipun pada saat itu tidak ada customer yang duduk di sana, tetap harus dihindari mengingat jika suatu saat ada customer yang tiba-tiba masuk dan ingin duduk di sana.
Di Jepang, jangankan kursi, petugas yang menggunakan colokan yang merupakan fasilitas kantor saja dilarang karena itu adalah suatu bentuk korupsi.
Perusahaan akan melakukan apapun untuk menyenangkan customernya, karena mereka tidak ingin pelanggannya direbut oleh perusahaan lain sehingga penghasilannya menurun. Namun banyak dari para karyawannya sepertinya tidak mau mengindahkan dan peduli akan hal ini, mereka hanya tahu kapan digaji tanpa mau memperbaiki kualitas kerja mereka.
Akhirnya, karyawan-karyawan yang berkualitas rendah seperti itu banyak yang mengeluh gaji kurang padahal sudah cukup karena tidak ada kebaikan pada pekerjaannya. Dan barulah mereka sadar akan pentingnya sebuah pekerjaan ketika mereka diberhentikan.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—