Banyak yang bilang, Ramadan di 2025 ini merupakan Ramadan yang paling membosankan, melelahkan, dan paling bikin ngantuk.
Saya sendiri yang sebenarnya merasakan hal serupa, mengumpulkan tim saya yang sedang menunggu pulang setelah berbuka puasa di kantor untuk membahas sebuah hal.
Saya mengajak mereka bernostalgia tentang apa yang menjadi kegiatan mereka dahulu semasa sekolah, terutama ketika selesai tarawih. Ini tidak termasuk mengumpulkan tanda tangan imam di buku tugas Ramadan sekolah.
Ternyata mereka tertarik membahas hal ini dan kami sama-sama kaget karena begitu banyak kegiatan menyenangkan yang bisa kami lakukan dahulu seselesainya salat tarawih.
Selepas 2022, bagi saya Ramadan seperti kehilangan nuansa magic-nya. Bahkan saya lihat, banyak orang yang seperti mendapatkan banyak beban emosional di bulan yang penuh berkah tersebut. Tahun 2025 ini menjadi salah satu yang paling parah.
Betul bahwa kami masih melakukan amalan tambahan seperti tarawih, tadarus, dan hal positif selama Ramadan. Hanya saja, saya ingin fokus membahas masalah sosialnya.
Saya kemudian bertanya dengan tim saya, kira-kira sejak kapan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan itu hilang?
Saya membuka jawaban, mungkin semenjak desain menjadi begitu polos dan serba minimalis.
Tim saya kemudian memberikan jawaban tambahan yang menurutnya semenjak ada media sosial. Lalu tim saya yang lain ada juga yang bilang, semenjak internet menjadi begitu mudah dan cepat.
Jawaban mereka menarik dan membuat saya berpikir.
Dahulu sewaktu SMA hingga kuliah itu sudah ada media sosial, namun saya masih merasakan kegiatan-kegiatan yang berkesan. Tim saya pun ada yang tiba-tiba ingat masa-masa menyenangkannya bermain beragam permainan di Facebook pada tahun 2015.
Sampai akhirnya, kami tiba kepada sebuah kesimpulan yang mufakat.
Media sosial telah mengubah alur hidup banyak orang semenjak maraknya monetisasi dan fitur video pendek.
Maksudnya, kalau banyak orang pamer di sosial media, sejak baru muncul sosial media pun memang sudah banyak postingan pamer. Hanya saja, algoritmanya masih berputar di sekeliling lingkaran mereka saja.
Apalagi sekarang konten pamer itu tersebar hampir ke seluruh para pengguna hingga mereka sendiri yang menandai konten serupa agar tidak muncul di mereka secara manual.
Di satu sisi, konten-konten video pendek entah itu reels, short, yang semuanya berawal dari TikTok, begitu mudah untuk diganti hanya dengan usapan tangan, membuat para pengguna menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton video demi video dan kehilangan kualitas fisik dan mental mereka.
Padahal, ide infinity scrolling saja sudah cukup untuk merusak produktivitas seseorang pada saat itu.
Berbeda dengan dahulu yang hiburannya masih sebatas di televisi, di mana setiap acara memiliki batas waktu tayang. Sehingga ketika sebuah acara telah habis waktu tayangnya, episode berikutnya bisa menunggu besok bahkan hingga minggu depan.
Seperti misalnya ibu saya yang dahulu senang menonton sinetron. Biasanya satu acara sinetron rata-rata berdurasi satu jam. Setelah sinetronnya habis, ibu saya kembali melakukan pekerjaan rumah tangga dengan fokus tanpa pengalihan.
Saya pernah lihat sebuah sindiran yang mengatakan bahwa, semakin besar layar ponsel, maka distraksinya pun akan semakin besar.
Setelah ponsel tidak lagi memiliki papan tombol, maka ukuran layar telah memenuhi ponsel tersebut.
Pada waktu internet masih perlu memakai modem dengan kecepatan terbatas, hiburan yang kita nikmati juga sama terbatasnya. Apalagi kebanyakan browser masih minim fitur, orang-orang menggunakan internet hanya untuk urusan mereka saja kemudian sudah.
Hari ini dengan segala kemudahan dalam genggaman, tangan-tangan manusia lebih menempel di layar ponsel daripada di tempat yang seharusnya mereka produktif.
Baiklah jika memang pekerjaan mereka sebagai admin media sosial. Tetapi masalahnya, admin media sosial pun banyak yang saya saksikan justru lebih fokus melihat video-video pendek daripada membuat konten sepenuh hati.
Mereka banyak yang baru bekerja saat mendekati jatuh tempo, dan itu pun hanya menggunakan template yang memang sudah siap pakai.
Tidak heran jika desain hari ini begitu mirip antara satu dengan lainnya.
Belum lagi dengan kehadiran AI yang seharusnya mempermudah kehidupan manusia, justru banyak yang cenderung menyalahgunakan. Saat seseorang terlalu mengandalkan AI, jangan salahkan apabila pekerjaan mereka tergantikan oleh AI.
Misalnya, desainer atau programmer yang hanya bermodalkan penguasaan pemberian perintah (prompting) kepada AI, maka perusahaan akan menilai bahwa daripada membayar orang yang hanya pandai menggunakan AI, lebih baik kami saja yang gunakan langsung AI tersebut.
Oleh sebab distraksi masyarakat yang sudah tak terbendung akibat efek kemudahan dan kecanggihan teknologi, bukan hanya kecerdasan yang tergerus, kepekaan dan kepedulian mereka pun rawan luntur.
Kemudahan teknologi tanpa kita sadari membuat sebagian besar masyarakat menanggap enteng segala sesuatu.
Pernah saya dengar dari gosip sesama ibu-ibu, ada ibu rumah tangga di lingkungan mereka yang sering luput mengerjakan pekerjaan rumah tangga hingga tidak pernah menyapu, mengepel, memasak, hingga mencuci piring karena melulu sibuk cengengesan di depan layar ponselnya.
Karena suara gosip para ibu tersebut lumayan keras hingga menyentuh ranah telinga saya, saya jadi mendengarnya secara otomatis.
Bukan satu atau dua saya saksikan fenomena di mana orang-orang begitu mudah terpengaruh oleh postingan-postingan di media sosial.
Mereka dengan mudah mempercayai kata-kata mutiara dan postingan berbalut agama tanpa dasar.
Akibatnya begitu mengerikan, ada rumah tangga yang sampai hancur karena seorang istri termakan hasutan dari media sosial bahwa suaminya harus memberi nafkah dalam suatu jumlah tertentu untuk membuktikan bahwa sang suami setia.
Atau postingan-postingan yang membahas superioritas jenis kelamin atau suku tertentu, apalagi sampai menyelewengkan dalil-dalil agama.
Ironi, banyak orang yang mengonsumsi konten keagamaan yang hanya membuat mereka semakin jauh dari agama karena bukan berasal dari ahlinya.
Belum lagi dengan orang-orang yang menyetel video-video pendek itu dengan suara yang begitu kencang di area publik seakan masyarakat peduli dengan apa yang mereka tonton.
Maksudnya, menghormati orang lain adalah hal dasar yang seharusnya diajarkan sedari kecil tetapi masih gagal diamalkan oleh banyak orang. Padahal saya yakin orang-orang seperti itu sering berteriak agar orang lain menghargai mereka.
Terlebih, konten yang kebanyakan diminati justru konten yang entah berhubungan dengan foya-foya, joget-joget, atau sebaliknya, konten yang menyuruh untuk bersyukur tanpa ada muatan syukurnya sama sekali.
Sisanya, masyarakat sebagian besar hobi mengonsumsi konten-konten penggiringan opini yang hobi menyalahkan antara pihak satu dengan pihak lainnya tanpa membahas akar masalahnya.
Akibatnya, masing-masing belahan masyarakat menjadi begitu keras kepala dengan argumen mereka masing-masing yang hanya mereka dapat dari internet tanpa sumber yang jelas.
Kemudahan teknologi membuat segala sesuatunya dapat kita hasilkan secara instan.
Masalahnya tadi, banyak orang yang menyalahgunakannya sebagai jalan pintas yang bisa merusak esensi kegiatan.
Karena desain banyak yang bermodalkan template hingga AI, banyak hasil desain hari ini yang menjadi begitu membosankan karena jiwa seninya hampir atau bahkan tidak ada.
Kita sendiri yang merasakan bahwa hari ini sudah semakin sulit mencari hiburan yang berkualitas, entah dari desain, musik, film, video game, dan sejenisnya.
Akibatnya, banyak sekali konten hiburan yang bagus, tetapi begitu mirip antara satu dengan yang lainnya.
Sadar tidak sadar, ini bisa menimbulkan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan.
Manusia yang kerap dilanda rasa bosan akan menjadikannya mudah terserang penyakit mental akibat rasa bosan tersebut.
Kebosanan itu bisa menyebabkan seseorang melakukan hal yang tidak-tidak. Dampaknya dari mulai yang paling ringan seperti kehilangan produktivitas dan jati diri, hingga kepada depresi dan nekat melakukan kriminal.
Sosialita bisa kita selamatkan dengan hadirnya konten-konten yang bukan hanya menghibur tetapi juga menginspirasi, masalahnya konten seperti itu sudah semakin jarang. Setidaknya tidak sebanyak dahulu.
Dengan inspirasi dan motivasi yang kita dapat dari konten di internet, itu bisa membakar semangat kita untuk melakukan aksi positif. Setidaknya, konten hiburan yang menginspirasi bisa meringankan masalah kehidupan kita.
Perlu kita ingat, hanya sekadar tertawa itu bukan termasuk hiburan absolut karena begitu temporer. Manusia perlu konten asupan mental yang menghangatkan hati.
Sekarang yang jadi masalah adalah, konten-konten motivasi tersebut seringkali disalahartikan sebagai konten yang penuh drama dan romantisasi yang tidak perlu.
Benar bahwa melepaskan genggaman layar ponsel, yang maksudnya “puasa” dari konten yang tidak bermanfaat di media sosial bisa begitu menyehatkan.
Orang yang berhasil lepas dari media sosial, fokus mereka akan teralihkan kepada apa yang membuatnya lebih baik tanpa harus mengikuti standar sosial yang mencekik.
Contohnya, bisakah kita mengunjungi alam terbuka tanpa harus terburu-buru selfie?
Berswafoto atau selfie tidak ada salahnya. Yang menjadi titik berat di sini adalah fokus masyarakat yang gemar selfie tersebut.
Karena terlalu bernafsu mencari validasi dengan jalan-jalan, porsi menikmati alamnya menjadi sangat sedikit yang mana itu berimbas kepada minimnya kepedulian mereka kepada sekitarnya.
Maka dari itu tidak perlu heran dengan orang-orang yang berbangga dengan alam Indonesia tetapi jejak sampahnya mereka ukir di mana-mana. Itu jelas karena niat dari awal mereka hanya mencari validasi.
Sekarang sudah semakin sedikit dengan orang-orang yang peduli dengan bintang-bintang di langit, kehadiran kunang-kunang, dan lingkungan yang aman sentosa.
Tidak perlu berharap masyarakat peduli dengan hal-hal rumit seperti itu, di pikiran mereka kalau pekerjaan mereka bisa ditangani oleh teknologi, mereka hanya ingin fokus dengan kesenangan mereka di media sosial.
Apalagi dengan adanya monetisasi konten dengan mudah.
Apakah masyarakat sudah siap jika suatu saat terpaksa hidup tanpa ada teknologi? Di sinilah insting bertahan manusia akan diuji.