Bermula hari ini yang semakin sering saya dengar konten-konten di sosial media yang menyuruh audies agar senantiasa bersyukur. “Konten bersyukur”, kira-kira begitu menyebutnya.
Meski terdengar baik, namun yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah konten-konten bersyukur itu mengajak bersyukur dengan cara yang benar sesuai syariat? Atau justru membuat orang semakin lemah dan tidak bernilai?
Di telinga para muslim, tentu tidak asing lagi dengan kata sabar dan syukur. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan, syukur dalam mendapatkan nikmat Allah Ta’ala.
Rasulullah saw., sendiri yang menyatakan bahwa Beliau kagum dengan urusan seorang muslim yang selalu berakhir baik bagaimana pun prosesnya, hanya dengan sabar dan syukur.
Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.
HR. Muslim no. 2999
Tetapi yang menjadi perhatian saya di sini adalah, kedua kata ‘ajaib’ tersebut, yakni sabar dan syukur, sepertinya telah banyak yang menjadi bahan konten islami yang mungkin sebenarnya sama sekali tidak islami.
Bahkan para pembuat konten bersyukur tersebut banyak yang tidak peduli kepada audiens mereka. Bagi para kreator berbalut agama seperti itu, yang terpenting konten mereka bisa berhasil “FYP (For Your Page atau halaman rekomendasi)” dan meraih “cuan”.
Ada laporan dari seseorang di media sosial. Seorang ibu yang tinggal di pemukiman elit, yang memang sedang memakai sandal jepit dan daster agak lusuh mengejar seorang tukang roti untuk membeli sarapan. Ternyata ada yang merekam ibu tersebut dan dijadikan konten bersyukur karena ibu tersebut terlihat memprihatinkan.
Konten-konten agamis seperti ini bertumbuh subur karena memang ada pasarnya. Masyarakat yang senang berdrama lagi minim perbaikan diri menjadi target utamanya, dan itu selalu berhasil.
Alih-alih belajar agama dari ulama yang menghabiskan hidup mereka untuk belajar agama, beberapa kalangan memilih belajar agama lewat jejaring sosial yang sarat drama.
Sabar bukanlah pasrah. Justru sabar dan pasrah lumayan bertolak belakang.
Sabar adalah salah satu ciri orang yang kuat, sedangkan pasrah adalah tanda dari orang yang lemah. Perlu kita ketahui, muslim yang kuat lebih Allah cintai daripada muslim yang lemah, meski keduanya sama-sama (orang) baik.
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada mukmin yang lemah.
HR. Muslim
Sabar bermakna endurance atau ketahanan. Dengan keterbatasan yang seseorang miliki, misalnya kondisi sosial atau ekonomi yang mencekik, seseorang masih bisa konsisten atau istiqamah dalam melakukan hal-hal baik.
Misalnya, ada orang yang terus berjuang memperbaiki diri dan tetap menimba ilmu meraih cita-citanya meski keuangannya tidak mencukupi hingga diejek di lingkungannya.
Perlu kita ketahui, meminta tolong kepada Allah Ta’ala bukan hanya lewat shalat atau doa semata. Kita bisa meminta tolong kepada Allah Ta’ala lewat rasa sabar kita, tetap dalam perjuangan untuk memperbaiki diri di tengah keterbatasan.
Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.
QS. Al-Baqarah: 153
Jangankan seorang muslim, orang kafir saja meyakini bahwa kesabaran itu dapat berbuah manis meski hanya di dunia. Mereka yang tetap belajar ketika teman-temannya hanya bermalas-malasan akan tiba masanya di mana yang belajar akan mendapatkan derajat lebih tinggi dan lebih sukses.
Pernahkah kita mendekati orang-orang sukses itu bagaimana mereka bisa meraih mimpi mereka? Kebanyakannya pasti lewat proses kesabaran. Mereka tidak pasrah sewaktu mereka sulit, mereka tidak sekadar bertahan hidup. Mereka tetap mencatat proses dan melakukan perbaikan atau improvisasi. Itulah sabar yang sebenarnya.
Saya sendiri pernah menjadi miskin hingga tidak memiliki kendaraan, kulkas, dan televisi. Bahkan makan pun pernah hanya dengan garam hingga sering puasa. Tetapi saya pada saat itu tertarik pemrograman dan menabung dari sedikit uang jajan yang tersisa untuk belajar di warnet.
Keterbatasan ekonomi tidak membuat saya pasrah dan berhenti mengejar ketertarikan saya. Saya belajar koding dengan sabar, sampai alhamdulillah saya memiliki usaha yang saya bangun bersama tim.
Begitu pun dengan sepeda motor. Saya menghindari kredit berbunga selama hampir delapan tahun sampai saya berhasil membelinya secara tunai. Saya bersabar dengan gangguan orang sekitar yang mengejek saya sebab tidak dapat mengendarai sepeda motor.
Atau di lain kisah, ada seorang pengusaha kaya-raya yang taat aturan di jalan raya. Ketika mobilnya berhenti di lampu merah, ia mendapatkan klakson panjang dari pengendara yang ingin melanggar, padahal pengendara yang ingin melanggar tersebut hanyalah seorang “rakyat kecil”.
Pengusaha tersebut bersabar dengan tetap berhenti di lampu merah. Ia sebenarnya mampu marah kepada pengendara yang mengklaksonnya, namun karena pengusaha tersebut memikirkan akibatnya, ia memilih untuk menahan amarah.
Namun tetap, pengusaha tersebut tidak pasrah dan selagi ia bisa untuk menindaklanjuti para pelanggar yang menyusahkannya dengan cara elegan, ia pasti akan lakukan tanpa adanya toleransi. Entah dengan melaporkannya kepada yang berwajib atau merekam mereka sebagai bahan edukasi. Itulah sabar.
Jadi, sabar bukanlah membiarkan kemunkaran dan menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Tidakkah kita terbayangkan betapa luar biasanya para Nabi dan Rasul terdahulu yang tetap bersabar, yang dalam hal ini, tetap konsisten berdakwah meski mereka tahu para umat beliau akan menyakitinya?
Sedangkan hari ini, banyak masyarakat saat melihat kemunkaran dan punya kuasa untuk memperbaikinya entah dengan melaporkan atau setidaknya dengan memberi penyuluhan kepada kerabat mereka, mereka tidak melakukan itu semua karena “cari aman”.
Sebaiknya, selagi kita mampu, kita jangan berharap “biar Allah saja yang balas” perilaku orang-orang yang mengganggu tersebut karena mungkin saat balasan Allah sudah waktunya turun, kita akan terkena imbasnya pula.
Jikalau bersyukur hanya mengucap hamdalah, banyak koruptor yang mengucap “Alhamdulillah” saat mendapatkan uang hasil korupsi. Tetapi apakah itu bentuk rasa syukur yang kita inginkan?
Seringkali saya melihat di konten-konten bersyukur yang bertebaran di media sosial adalah dengan mempertontonkan drama seseorang, dengan mengacu kepada hadits Rasulullah saw. berikut,
Lihatlah orang yang ada di bawah kalian, jangan melihat seseorang yang ada di atas kalian, hal tersebut agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah kepada kalian.
(HR. Muslim)
Sayangnya, beberapa orang justru menganggap bahwa bersyukur itu melihat kepada usaha yang lebih buruk. Padahal sebenarnya yang kita lakukan untuk mengamalkan hadits tersebut adalah melihat keterbatasan yang tidak bisa kita ubah.
Misalnya, saat ada siswa yang pintar sedang lalai dalam belajar dan mendapatkan nilai jelek, maka ia akan menyesal dan merasa sedih. Dia tidak puas dan harus lebih memperbaiki nilainya di kemudian hari.
Tetapi justru ada siswa yang malas berkata kepada siswa yang rajin tersebut, “Bersyukur saja karena banyak siswa yang nilainya lebih jelek dari kamu!”
Lebih parah lagi, bisa terjadi kasus di mana pemerintah bukannya memperbaiki jalan yang berlubang, justru menganggap masyarakat harus bersyukur karena jalanan tersebut masih bisa dilewati dan tidak sekadar tanah merah.
Apakah itu syukur yang kita inginkan?
Lagipula, melihat “yang di bawah kita” tidak melulu harus melihat kondisi orang lain yang sarat drama. Kita bisa melihat kepada diri sendiri terlebih dahulu jika kita pernah mengalami saat yang lebih buruk dalam hidup kita.
Saya sendiri pernah mempertanyakan mengapa kualitas kerja saya menurun saat saya sudah mendapatkan penghasilan yang jauh lebih baik. Padahal dahulu sewaktu masih dalam masa sulit, saya begitu gigih dalam berusaha.
Intinya, menurut seorang ulama besar, Al-Munawi rahimahullah, syukur bukan sekadar di lisan semata, melainkan dengan anggota badan dengan membalas nikmat dengan yang pantas. (Mawsuβah Nadhrah An-Naβim, 6:2393)
Jadi bersyukur dengan anggota badan, seperti melakukan perbaikan, memberi kemudahan dan kebahagiaan kepada orang lain, jangan sampai kita lupakan sebagian bagian dari rasa syukur.
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.
QS. Ibrahim: 7
Pernah saya lihat di Quora, ada percakapan dari seseorang negara maju yang komplain dan melaporkan sebuah lubang di jalanan yang sebagian besarnya sudah mulus. Tetapi seorang yang lain lagi menuduh bahwa itu bukanlah perbuatan syukur.
Seperti ini kira-kira:
Si A mengajukan komplain kepada pemerintah mengapa jalanan aspalnya memiliki sebuah lubang.
Si B berkata kepada si A: Kau seharusnya bersyukur jalanan di negaramu sebagian besar sudah teraspal dan memiliki batas yang dicat. Jalanan di negara kami masih banyak yang berupa tanah merah.
Si A: Itu adalah masalahmu! Kami bersyukur negara kami punya birokrasi yang baik dan kami hanya ingin mempertahankannya. Jangan seret negara kami untuk menjadi seperti negaramu! Kau yang harusnya membina generasimu sendiri agar menjadi seperti negara kami, bukan sebaliknya!
Maka tidak heran jika negaranya si A semakin bertambah maju, dan negara si B tetap dalam keterpurukan.
Orang kaya yang senantiasa memperbaiki diri dan orang miskin yang kerap mengeluh bisa menjadi sebab mengapa orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.
Bukankah kita pernah mendengar cerita seorang tukang becak yang berinovasi menggratiskan tumpangannya setiap hari Jumat meski beliau adalah orang yang tidak mampu? Allah “berterimakasih” kepada beliau dan tukang becak tersebut bisa pergi haji.
Sekarang bagaimana dengar rasa sabar dan syukur kita? Apakah akan berbuah?
Setiap insan memiliki tugas di dunia, yakni beriman dan beramal saleh. Beriman saja tidak cukup, harus diiringi dengan amal saleh atau senantiasa melakukan perbaikan (improvisasi).
Pertanyaannya, kapan terakhir kali kita mencatat perbaikan diri kita? Entah ibadah ukhrawi kita atau kegiatan duniawi kita?
Ketika kita memimpikan sesuatu yang bagi kita mustahil, tetapi itu bukan urusan kita memikirkan itu. Cukup berdoa dan berusaha, dan yang terpenting mencatat kemajuan kita, insyaAllah itu akan mempercepat terkabulnya keinginan kita.
Hindarilah orang-orang yang berbuat kerusakan dan membalutnya dengan sesuatu yang agamis. Kita lebih tahu saat diri kita lebih baik daripada yang lalu.
Sebagai penutup, saya memiliki artikel lain mengenai beberapa kali Allah Ta’ala mengabulkan doa saya dari jalur yang sangat tidak saya sangka, para pembaca dapat mengunjunginya di sini.