Sebelumnya, meskipun pada judul tertulis “Skripsi”, sebenarnya ini juga mencakup tugas akhir, tesis, disertasi, termasuk makalah.
Sejujurnya, dulu saya sering menjadi ‘pembimbing sampingan’ untuk para mahasiswa yang sedang skripsi. Sebenarnya sampai sekarang masih, namun kemungkinan saya untuk menerima tawaran jasa bimbingan skripsi sudah sangat kecil.
Selama kegiatan saya membimbing para mahasiswa tersebut, begitu sering saya temukan permasalahan yang sama, dan selalu berputar di lingkaran itu saja.
Apa saja permasalahaannya? Ada tiga.
Sebelumnya saya hanya ingin membuka artikel ini dengan memberikan pernyataan, bahwa sebagian besar mahasiswa yang saya bimbing adalah mahasiswa yang rajin dan punya komitmen, jadi masalah mereka saya benar-benar simak dengan baik.
Tidak jarang saya mempertahankan ‘anak didik’ saya agar mempertahankan judul skripsi mereka. Mereka seringkali mengeluh jika dosen pembimbingnya tidak memiliki kompromi dan harus mengikuti kemauan para dosen tersebut.
Saya sempat begitu bersedih, saat ada salah satu klien mahasiswa saya yang begitu rajin dan menyenangkan bahkan memberikan saya bayaran lebih di awal, ternyata harus berakhir dengan mengganti judul di masa-masa terakhirnya, saat saya sudah melihatnya hampir menyelesaikan skripsinya.
Sebabnya? Dosen pembimbingnya tidak setuju dengan skripsinya. Contohnya, ada dosen pembimbing yang tidak ingin mahasiswanya menggunakan metode kualitas, dan ada juga yang sebaliknya. Jika tidak mengindahkan, resiko untuk mengganti judul sangatlah besar.
Bahkan ada teman saya yang terpaksa mengambil Drop-Out hanya karena dosen pembimbingnya merasa digurui dengan skripsinya. Padahal teman saya bukanlah orang yang angkuh dan cukup rendah hati, dia juga sangat rajin di kampusnya.
Melihat kejadian itu, saya selalu menyemangati ‘anak-anak didik’ saya untuk berani ‘melawan kembali’ dosen pembimbing yang menyulitkan dan bak diktator. Saya berikan tips-tips bagaimana cara menjawab pertanyaan dari dosen pembimbing jika ditanya seputar skripsinya.
Masih ada beberapa dosen pembimbing lupa, bahwa ada kata ‘pembimbing’ di posisi mereka pada saat itu. Yang mereka lakukan justru lebih seperti penjerumus daripada pembimbing.
Anak didik saya juga pada saat itu puluhan, dan bukan hanya dari satu jurusan. Meskipun saya paling banyak membimbing jurusan IT, namun saya pernah ikut membimbing mahasiswa dari jurusan komunikasi, ekonomi, hingga psikologi.
Alhamdulillah 90% dari mereka berhasil lulus, bahkan ada yang mendapatkan nilai A atau 90 karena seluruh pertanyaan dosen pembimbing dan penguji mereka libas habis, dengan cara yang baik dan sopan pastinya.
Dari sekitar dua puluh mahasiswa saya bimbing, hanya satu yang pernah saya tolak di tengah-tengah karena komitmennya tentang skripsi begitu buruk meski saya telah semangati berkali-kali. Sisanya begitu berapi-api ingin mendapatkan kelulusan.
Bahkan saya pada saat itu juga masih melakukan tugas akhir saya, serta membangun bisnis, dan mengerjakan proyek website dari klien saya. Dalam satu hari bahkan saya pernah menangani lima mahasiswa sekaligus, yang mana saya langsung datangi tempat yang lebih dekat dari mereka.
Sekarang yang saya begitu titikberatkan di sini adalah memikirkan mahasiswa yang mendapatkan dosen pembimbing yang sama sekali tidak membimbing. Meskipun dosen pembimbing seperti itu jumlahnya tidak banyak, namun kesempatan mendapatkan dosen ‘oknum‘ masih cukup tinggi, terutama dari kampus yang bukan unggulan.
Bagaimana mahasiswa akan menjadi benih-benih unggulan yang siap ditanam di berbagai sektor pekerjaan jika benih-benih ini sudah digiling mati di kampusnya sendiri?
Bukan sekali atau dua kali juga teman-teman dan ‘anak didik’ saya harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer bahkan ada yang hingga antarprovinsi hanya untuk mendapatkan sebuah tanda tangan.
Alhamdulillah saya sewaktu menjadi mahasiswa mendapatkan dosen pembimbing yang tepat. Namun sayangnya, tidak dengan dosen penguji.
Waktu itu saya memiliki dua dosen penguji. Dosen penguji pertama, mewajibkan saya untuk datang ke rumahnya yang begitu jauh dari rumah. Dosen penguji tersebut tidak ingin membuat temu janji di kampus atau saya traktir di mall yang lebih terjangkau yang dekat dari rumahnya.
Waktu itu saya tidak memiliki kendaraan bermotor sama sekali dan saya begitu banyak sekali melakukan pergantian moda transportasi umum plus jalan kaki hingga dua kilometer. Saya bahkan hingga rela meninggalkan kegiatan bisnis saya pada saat itu.
Lalu dosen penguji satunya, selalu tidak tersedia setiap kali saya melakukan janji temu. Hingga saya pada akhirnya memutuskan untuk menjadi ‘James Bond’ dengan mengintai lewat kenalan-kenalan saya dari cabang kampus lain.
Dan itu pun hingga tiga kali saya masih gagal menemuinya hingga saya habis ratusan ribu ongkos transportasi baik masal maupun online.
Setelah pada akhirnya saya mendapatkan kedua tanda tangan dosen penguji dan saya menyerahkan seluruh salinan, saya justru masih mendapatkan coretan dari pihak akademik di halaman yang berisikan tanda tangan penguji.
Benar, DI HALAMAN YANG BERISIKAN TANDA TANGAN PENGUJI.
Pihak akademik memilih untuk tidak tahu-menahu. Dengan sangat marah saya menggunting tanda tangan penguji untuk kembali saya menempel dan memotokopinya. Untungnya tidak kembali dipermasalahkan.
Saat menulis ini pun saya masih kembali marah meskipun kejadian tersebut sudah lima tahun yang lalu.
Masalahnya bukan dendam, namun perusahaan saya akan sulit menerima karyawan baru dari tipikal kampus yang seperti ini.
Mahasiswa dari kampus yang tidak memiliki manajemen yang baik akan sulit mencetak generasi mahasiswa yang handal dan berprestasi. Bahkan predikat Cum Laude bukan jaminan mahasiswa tersebut juga dapat diandalkan di dunia kerja.
Waktu mereka sudah banyak habis hanya untuk melengkapi administrasi kampus yang begitu bertele-tele.
Saya tidak berbicara mahasiswa yang malas, saya berbicara tentang mahasiswa yang rajin, berIPK di atas tiga, yang dapat mendongkrak gengsi kampus, namun masih tetap terkena sengatan manajemen kampus yang begitu buruk.
Jika dibandingkan dengan negara maju, seperti di Singapura misalnya, hampir setiap bulan saya temukan berita di The Straits Times tentang mahasiswa-mahasiswa yang menemukan inovasi baru untuk diabdikan di negeri mereka.
Sedangkan saya sendiri, saat saya langsung mewawancara beberapa mahasiswa fresh graduate yang melamar di perusahaan saya, banyak dari mereka yang lebih sering menggeleng daripada mengangguk.
Maka dari itu saya tidak lagi bertanya masalah teknis atau ‘terlalu’ teknis kepada para pelamar kerja yang baru lulus kuliah itu, meskipun pertanyaan teknis tersebut cukup diperlukan oleh perusahaan saya.
Akhirnya saya menginterview hal lain yang juga krusial, yakni pemetaan pikiran seperti membangun kerangka berpikir atau menyusun algoritma.
Dan secara mengejutkan, hanya satu dari enam orang yang memenuhi ekspektasi saya.
Saya tidak tahu, apakah selama ini banyak mahasiswa yang masih diajarkan teori dan teori dan teori semata?
Masalahnya, ada mahasiswa yang begitu unggul saat di kampus namun menjadi cukup planga-plongo saat duduk di meja interview kerja. Seluruh teori yang dikuasainya di kampus hampir semuanya tidak dapat dipraktikkan.
Inilah dilema karbitan yang sempat disinggung oleh salah seorang guru SD saya. Dipakai tidak bisa, dibuang sayang.
Dan peristiwa ini benar-benar jadi dilema. Di satu sisi, para sarjana tersebut begitu cepat ingin mendapatkan kerja, namun apa daya perusahaan memerlukan kualitas yang setidaknya tidak unggul pun tidak mengapa, yang penting dapat dipekerjakan.
Dada saya bahkan hampir sesak saat ada beberapa sarjana yang pernah kenal, memohon kepada saya agar dicarikan pekerjaan, bahkan pekerjaan sebagai cleaning service atau office boy pun tidak masalah.
Sebelumnya, saya tidak berkata bahwa cleaning service atau office boy adalah pekerjaan yang dipandang sebelah mata. Namun coba bayangkan jika banyak sarjana yang hanya berujung menjadi cleaning service atau office boy atau pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para lulusan SMA, lalu para lulusan SMA atau yang di bawah itu ingin kerja apa?
Padahal seharusnya mahasiswa yang telah membuang uang dan waktunya lebih seharusnya memiliki hasil yang setidaknya dapat membuat ilmunya yang ia telah raih selama lebih dari dua tahun itu dapat teraplikasikan.
Syukur jika ia dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan memberikan kesempatan kepada orang-orang yang hanya lulusan SMA atau di bawahnya untuk hidup lebih baik.
Namun yang terjadi adalah masih banyak para pekerja unggulan didatangkan dari luar sebab dilema karbitan ini.
Pada akhirnya, kertas-kertas skripsi berpuluh-puluh lembar hanya dapat menahan rasa iba kepada beberapa orang yang pernah menyusunnya dahulu.
Tidakkah memiliki standar kualitas lebih layak diterapkan di sebuah kampus terlebih dahulu?
Dan untuk para calon mahasiswa yang sedang atau akan bingung memilih kampus, prinsip transaksi online berlaku, “hanya pilih dari yang bintang empat ke atas…”