Style over substance adalah istilah yang baru saja saya dengar beberapa hari lalu. Style over substance ini mungkin dapat kita artikan kasar sebagai “pepesan kosong”.
Sebenarnya saya sudah menulis beberapa artikel mengenai hal yang mirip seperti ini, tetapi istilah tersebut sungguh menyita perhatian saya. Karena di saat saya membahas hal yang lebih kepada “fenomena”, di artikel ini saya ingin lebih condong kepada akar masalah.
Bermula dari saya melihat salah satu permainan favorit saya, Sonic The Hedgehog, yang baru saya lirik kembali saat saya sedang mengacak-acak beranda Youtube.
Sejujurnya saya sendiri kurang melirik Sonic dari permainan favorit saya yang lain seperti Mega Man, Mario, bahkan Kirby yang sama sekali saya belum pernah memainkannya.
Dan benar saja, saat saya menyaksikan kembali playthrough salah satu permainan Sonic yang ‘cukup anyar’, seperti Sonic Mania, Forces, hingga Color, saya merasa semakin ke sini permainan tersebut semakin boring, seperti kehabisan ide.
Untuk grafisnya saya akui memang keren, tetapi dari sinilah saya mengenal style over substance ini.
Style over substance ini secara harfiah berarti “gaya di atas maksud”, atau “cuma modal gaya/keren-kerenan doang”.
Pun sama kita perhatikan banyak kreator-kreator konten hari ini yang memiliki intro yang keren, musik pengiring yang dahsyat, namun hanya untuk menyaksikan inti konten yang tidak sepadan.
Sama seperti sewaktu kita sekolah atau kuliah dahulu. Mungkin ada murid yang presentasi dengan desain template Power Point yang sangat keren namun kita hampir tidak mendapatkan apa-apa dari apa yang ia sampaikan.
Style over substance ini telah menjadi hal yang sering menjadi topik utama di luar sana, terkhusus di Amerika Serikat.
Dari mulai dunia perfilman, kebanyakan produser hanya menjual sinematografi dan efek-efek grafik komputer keren yang melelehkan pandangan. Jalan ceritanya? Mudah dilupakan.
Atau dunia permusikan, kebanyakan komposer hanya menjual instrumen yang modern dan musik video yang waw dan wow. Melodinya? Tidak ada satu pun yang menempel di pikiran.
Sayangnya, beberapa konten kreator menggunakan style over substance ini sebagai daya tarik utama. Mereka berlomba-lomba menarik perhatian pemirsanya lebih cepat.
Namun seperti yang kita tahu, sistem mendapatkan pelanggan instan ini jarang ada yang berakhir baik. Beberapa orang menyebutnya sebagai instant cash grab.
Seperti dunia perfilman misalnya, saya tidak terkejut jika hari ini para produser film menyuguhkan saya dengan trailer/sinopsis yang membuat saya terkagum-kagum. Saya hanya sudah lelah dengan ekspektasi yang ternyata jauh dari kenyataan.
Bisnis sebagai konten kreator tidak lagi saya pandang sebagai bisnis yang strategis dan menguntungkan. Saya memilih untuk berbalik dari sebuah metropolis digital yang sedang kacau balau dan memprihatinkan.
Dunia konten kreator kini sudah seperti sebuah hutan rimba digital dengan makhluk-makhluk yang beragam jenisnya, memangsa satu sama lain. Hukum Darwin berlaku, yang kuat ialah yang bertahan.
Tak terkecuali perusahaan besar yang selama ini kita kenal. Jujur saja, saya menyukai animasi Disney dan saya selalu menunggu-nunggu film animasi berikutnya.
Tetapi itu dahulu, sekarang bahkan saya sudah hampir lupa apa itu Disney jika tidak ada yang mengingatkan. Mulai dari Frozen II, kesempatan saya menemukan film animasi Disney yang bagus sudah seperti menebak sisi koin.
Begitu pun dengan franchise Disney lainnya seperti Marvel dan Pixar, saya sudah tidak lagi memburu film-film tersebut.
Saya tidak ingin menjadi mangsa empuk yang diincar oleh para kreator konten yang hanya ingin bertahan hidup.
Maksudnya, saya tidak ingin ‘menyiksa’ diri saya dengan penantian dengan harapan dengan sesuatu yang kualitasnya belum pasti. Apalagi jika saya sudah tahu jika apa yang saya nantikan tersebut ternyata telah mengalami penurunan kualitas yang signifikan.
Para kreator konten yang amatir dan kecil-kecilan benar-benar berada dalam tekanan untuk bertahan hidup.
Orang-orang menyebut dunia kreasi konten sebagai hal yang sudah masuk ke dalam ranah kapitalis. Para kapitalis di sini yakni para peraup untung yang sejadi-jadinya, di ranah kreasi konten.
Saya menjulukinya para kreator konten tersebut sebagai pabrik konten. Sebuah pabrik yang memproduksi sangat banyak konten namun hanya dari sisi volume atau kuantitas.
Para kreator konten amatir tersebut akhirnya ‘mau tidak mau’ mengikuti para pengusaha pabrik konten tersebut. Konten yang seharusnya dapat menjadi satu bagian penuh, mereka pecah menjadi lima atau bahkan sepuluh bagian terpisah.
Bahkan tidak jarang bagian yang sudah terpecah tersebut mereka tambahkan lagi dengan ‘recycling’ pecahan-pecahan yang ada.
Konten recycling atau daur ulang itulah yang kemudian mereka tambahkan sentuhan-sentuhan keren agar dapat mengelabui para pemirsanya.
Namun pada akhirnya, kebanyakan para pemirsa dapat menilai sendiri kualitas konten dari si pembuat konten tersebut.
Bukan hanya para kreator konten saja yang terjebak dalam metode style over substance ini, para pebisnis pun demikian.
Saya berikan contoh bisnis kafe dan restoran, yang mana telah saya bahas di artikel sebelumnya. Banyak pengusaha kafe dan restoran berlomba-lomba menghias interior mereka agar memiliki kesan berbeda dari restoran lainnya.
Tetapi ternyata yang mereka suguhkan hanya sebatas itu.
Saya sudah tak lagi heran jika saya melihat ulasan restoran yang memuji desain interior restoran namun mengeluhkan sisanya. Seperti mengeluhkan rasa masakan, profesionalitas pegawai, akses masuk, hingga harga yang tidak bersaing.
Benar, restoran yang seperti itu adalah contoh dari style over substance, atau “modal keren doang”.
Hari ini kreator konten lebih memilih style over substance sebab mereka tidak memiliki modal untuk memproduksi konten alami dari hati.
Tetapi memang para kreator konten seperti itu menginginkan pundi-pundi secara cepat dari para milenial yang baru saja menyelami dunia maya, bukan berasal dari para penggemar setianya.
Bahkan para kreator konten menganggap selera para penggemar setia dapat menjadi kolot dan kadaluarsa, sedangkan milenial baru selalu muncul dengan jumlah yang tak kalah banyak dari penggemar setia mereka.
Jadi, untuk apa memikirkan kualitas jika para konten kreator dapat meraih pundi dengan kuantitas? 🤷♀️🤷♂️
Sekarang para pembaca dapat menilai sendiri, apakah fenomena ini memprihatinkan atau justru menjadi sebuah berita bagus.