Bisnis Kafe

Semenjak saya berkumpul dengan rekan kerja di sebuah kedai kopi atau kafetaria tahun 2017, di sanalah saya baru mengenal kafe.

Saya merasakan kenyamanan duduk di dalam suasana ruangan yang memiliki atmosfer berbeda dari apa yang saya rasakan dalam keseharian.

Semenjak itu saya senang mencari-cari kafe untuk menghabiskan waktu akhir pekan saya jika saya tidak sedang bertamasya.

Benar, saya duduk di kafe, bersama laptop saya seharian.

Entah mengapa, semakin ke sini, ternyata pilihan kafenya semakin banyak, bahkan ada teman saya juga yang buka kafe.

Dari sini saya tahu jika bisnis kafe memang sedang begitu naik daun.

Bagaimana tidak, selain untuk nongkrong, kafe juga memiliki fungsi sampingan sebagai tempat kerja.

Apalagi setelah pandemi COVID merebak ke seantero dunia, orang-orang banyak yang lebih memilih WFH (Work From Home) hingga kini.

Namun sebenarnya WFH tidak sepenuhnya mereka berada di rumah, namun lebih menghabiskan waktu kerjanya di kafe. Sehingga, istilah WFH telah berubah menjadi WFC (work from café).

Sayangnya, semakin kemari saya menyadari jika saya menjadi lebih sulit menemukan kafe-kafe yang bervariasi. Saya mencari di Google ternyata tidak terlalu membantu.

Sebagian besar kafe yang saya kunjungi hanya berputar-putar di pilihan yang stagnan. Sampai akhirnya, terpikir dalam benak saya, apakah bisnis kafe adalah bisnis yang sudah sekarat?

Berikut 5 (lima) perhatian saya sebagai pelanggan kepada para pebisnis kafe tersebut.


Lebih dari sekedar filosofi

Saya memahami jika kopi itu memiliki banyak filosofi yang sangat berarti bagi para penikmatnya. Pernah suatu hari, saya secara tidak sengaja mengikuti seminar yang membahas tentang kopi.

Saya pribadi bukanlah penikmat kopi, tetapi memang setelah mendengarkan seminar tersebut, saya tahu bahwa kopi dapat menjadi begitu dalam bagi para pegiatnya.

Kembali kepada bisnis kafe. Bagaimana pun bisnis tetaplah bisnis, sudah lebih ke arah mencari keuntungan via pelanggan.

Saya hanya merasa beberapa pebisnis kafe tidak melengkapi filosofinya dengan filosofi bisnis.

Sedalam apa pun filosofi kopi yang terlayangkan, itu sama sekali tidak akan dapat membuat bisnis kafe menjadi lebih baik jika tidak diimbangi dengan filosofi bisnis yang sama mumpuninya.

Sama seperti seseorang yang membangun perusahaan rintisan yang setiap harinya hanya menghiasi dirinya dengan kata-kata motivasional yang sudah seperti kaset rusak.

Kopi tetaplah kopi, sedangkan bisnis adalah bidang yang lain lagi. Keduanya adalah hal yang sangat berbeda.

Beberapa kafe bahkan memiliki barista dan pelayan yang tidak melayani pelanggannya dengan baik. Di mana keindahan filosofi kopi tersebut jika hal dasar seperti itu saja tidak teraplikasikan?


Kemudahan akses menjual mood

Perlu kita ketahui jika kafe itu menjual kenyamanan, alias menjual mood. Tentu saja itu menjadi hal wajib sebab kenikmatan kopi akan berkurang jika berada di tangan pelanggan yang sudah badmood.

Beberapa pelanggan memiliki kesan pertama yang mungkin dapat terbilang baik pada suatu kafe. Tetapi itu masih belum dapat menyelamatkan bisnis kafe itu sendiri.

Bahkan hal sepele seperti sulitnya memarkir kendaraan pelanggan sebab sangat terbatasnya lahan parkir dapat menjadi sandungan utama.

Pelanggan mungkin akan masih tetap memberikan kesan baik sekali pun sebuah kafe tidak memiliki tempat parkir yang tidak memadai, tetapi ia mungkin ke depannya ia akan mencari kafe lain yang memiliki tempat parkir yang lebih baik.

Perencanaan yang seperti ini kerap tidak terpikirkan oleh para pebisnis kafe. Saya sendiri terkadang enggan mengunjungi kafe yang aksesnya sulit.

Kafe yang aksesnya sulit akan membuat saya kebingungan di jalan, yang mana itu akan menguras mood saya sebelum saya dapat menikmati kopi.

Lalu bagaimana jika sebuah kafe memang memiliki lahan parkir yang terbatas atau akses yang sulit?

Inilah pentingnya perencanaan, para pebisnis kafe sudah terlatih untuk mengelola pelanggan, bukah hanya pandai mengelola kopi.

Kafe yang memiliki keterbatasan lahan parkir atau akses yang sulit, dapat teratasi dengan cukupnya petunjuk jalan. Di mana sulitnya memasang plang arah kafe, arah parkir mobil, arah parkir sepeda dan sepeda motor, dan sebagainya?

Bahkan sebaiknya sebuah kafe menggencarkan situs web mereka beserta sosial medianya. Bukan hanya memosting tentang kopi semata, melainkan juga bagaimana kemudahannya untuk dicapai pelanggan.


Bisnis adalah tentang pelanggan

Apa pun bisnisnya, sedalam apa pun filosofinya, jika berbicara bisnis, maka semuanya menjadi tentang pelanggan.

Kecuali sebuah bisnis kafe tidak ingin mendapatkan keuntungan, maka pebisnis kafe sangat perlu menjadikan pengunjungnya sebagai pelanggan tetap.

Semua hal yang berkaitan dengan pelanggan adalah penting, mulai dari seorang pengunjung yang baru masuk, hingga ia keluar.

Saya pernah sekali dua kali mengunjungi kafe yang sangat eksotis, cantik, instagrammable, atau apa lah itu. Tetapi saat saya masuk, saya hanya terbengong-bengong, seakan baru saja saya salah memasuki rumah orang.

Tidak ada sambutan, tidak ada tanda-tanda jika saya dapat izin untuk duduk. Seakan-akan memang pemilik kafe sudah tidak lagi memerlukan pelanggan.

Jika saya tidak berani bertanya kepada seseorang yang saya yakin itu adalah pegawainya, mungkin saya tidak akan pernah duduk di kafe tersebut. Ini hanya berlaku di kafe yang memang baru pertama kali saya kunjungi.

Inilah mengapa saya hanya berputar-putar di kafe langganan saya saja. Bukan hanya karena pegawai kafe menyambut saya saat saya datang, pegawai kafe juga berterima kasih kepada saya saat saya pulang.

Bagi saya kedua hal ini penting untuk membangun kesan pertama pelanggan terhadap bisnis kafe tersebut.

Saya sendiri sebenarnya tidak memiliki masalah dengan datangnya pesanan makanan yang lama, sebab yang terpenting saya mendapatkan kopi saya dahulu, di atas sebuah kursi yang nyaman.

Tetapi mungin bagi pelanggan lain, pesanan yang lama dapat menjadi disaster.


Fasilitas kurang memadai

Seperti yang telah saya sebutkan, jika suatu tempat sudah mendapat julukan sebagai “tempat ngopi“, itu berarti tempat tersebut bukan hanya untuk meminum kopi kemudian sudah.

Berbeda dengan restoran yang kebanyakan pengunjung hanya menikmati makanan kemudian pulang.

Karena jika berbicara kopi, maka kata yang dapat tersandingkan adalah kenyamanan, kebersamaan, kehangatan, hingga inspirasi.

Bahkan ada yang menjadikan kopi adalah akronim dari Ketika Otak Perlu Inspirasi.

Pebisnis kafe yang baik sudah barang pasti memperhatikan hal itu dan menyediakan fasilitas penunjangnya.

Apalagi kebanyakan orang sekarang menikmati kopi sambil menyelesaikan pekerjaan mereka. Colokan dan wifi telah menjadi hal wajib dimiliki oleh para pebisnis kafe.

Belum lagi untuk pelanggan muslim, pengusaha kafe juga sebaiknya menyediakan tempat ibadah atau musala sebagai pelengkap.

Bagaimana kopi dapat membangkitkan inspirasi jika komponen penunjang inspirasinya tidak memadai?


Manajemen harga

Ada beberapa orang yang khawatir seorang pengunjung berlama-lama di kafe hanya memesan air minum saja.

Pengusaha kafe seharusnya sudah mempersiapkan hal itu, dan itu memang bukan lagi menjadi sesuatu yang perlu kekhawatiran.

Tantangannya adalah, bagaimana pengusaha kafe tetap meraup untung namun juga tetap mempertahankan pelanggan-pelanggan yang berprilaku seperti itu.

Beberapa kafe yang saya kunjungi memiliki harga yang memang di atas rata-rata. Bahkan untuk secangkir teh saja, minimal Rp20.000 harus saya keluarkan. Saya tidak komplain dengan itu.

Jika saya mengunjungi kafe, sebenarnya saya juga ikut membayar fasilitas kafe yang saya gunakan, bukan hanya sekedar meminum kopi lalu pulang.

Sekarang dapat kita bandingkan dengan coworking space masih dalam harga yang sama, kafe memiliki kelebihan dengan menyediakan kopi dan makanannya.

Saya tidak pernah masalah dengan kopi yang seharga Rp35K atau di atas itu, sebab saya juga menyadari bahwa saya juga membayar fasilitas kafe untuk menunjang inspirasi dan pekerjaan saya.

Belum lagi kebanyakan kafe memiliki atmosfer yang memang spesial dari tempat indoor lainnya. Jadi saya menganggap harga yang saya bayar sudah berikut mood dan atmosfernya.

Tetapi tantangannya adalah menyediakan harga yang bersaing. Saya pernah mampir ke kafe bertema Jepang, namun karena dalam sekali berkunjung ternyata membuat saya mengeluarkan uang hampir Rp200K dengan makanan yang tidak terlalu sepadan dengan harganya, saya tidak memasukkan kafe tersebut dalam daftar kafe langganan saya.


Kesimpulan

Kafe sudah menjadi tempat ‘pelarian’ kaum milenial yang bosan dengan rumah saat WFH. Atau kegiatan seperti nugas, berkumpul dengan teman lama, atau sekedar hanya mencari tempat untuk berteduh, dapat di lakukan di kafe.

Tetapi saya hanya memperhatikan dari sekian banyak kafe yang menjamur, ternyata banyak yang bagi saya masih setengah hati membangun bisnis kafenya.

Akses yang kurang memadai sebab minimnya petunjuk, pelanggan yang tidak disambut, fasilitas pendukung yang kurang, menjadi penyebab utama bisnis kafe kurang memiliki banyak peminat.

Saya sendiri saat ingin mengunjungi kafe hanya ingin memastikan jika saya juga dapat mengeluarkan laptop dan melakukan tugas saya. Jadi saya benar-benar ketat dalam memilih kafe sebab saya tidak ingin waktu saya habis di jalan karena terlalu banyak kafe yang tidak memenuhi kriteria pada paragraf sebelumnya.

Bukan hanya sekali saya melihat bisnis kafe tutup sebab para pebisnisnya tidak membangun kafenya dengan sepenuh hati. Apalagi untuk para pebisnis yang hanya mengikuti tren.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Jangan Mencari Penghasilan Pasif, Kecuali...

    Berikutnya
    Style Over Substance, Biang Kerok Ketidakstabilan Konten Jaman Now


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas