Kita mungkin pernah mendengar seseorang yang mencemooh orang lain yang dirasa lebih rendah darinya dengan sebutan “Nggak level!”
Secara mengejutkan, level kehidupan itu memang nyata adanya, atau lebih sering kita dengar dengan “derajat hidup”. Adakalanya seseorang berada di level kehidupan di yang paling bawah, atau terkadang berada di puncaknya. Benar, derajat atau level kehidupan seseorang berbeda-beda.
Agar kehidupan kita lebih berbahagia, salah satu hal yang harus dipahami adalah berada di mana level kehidupan kita.
Mengapa menyadari level atau derajat kehidupan ini penting?
Tentu saja karena seseorang cenderung ingin bersama orang yang selevel dengannya, faktanya memang sesimpel itu.
Mahasiswa pastinya jarang ada yang mau nongkrong dengan anak SD. Begitu pun anak SD mana yang mau nongkrong dengan anak kuliahan? Sekali pun ada, maka itu sangat jarang terjadi dan merupakan hal yang tidak lazim.
Begitu pun dengan kehidupan di dunia nyata. Misalnya, hampir tidak ada orang rajin yang ingin berteman dengan orang malas, apalagi orang malas yang keras kepala. Sebab tentu saja, orang rajin khawatir akan terbawa malas jika bergaul dengan orang malas, terutama orang malas yang tingkat kemalasannya sudah luar biasa.
Tidak ada orang baik yang ingin memiliki pasangan hidup orang bejat, yakni orang bejat yang kebejatannya kemungkinannya sudah sangat kecil untuk dapat diperbaiki lagi.
Hidup ini adalah permainan, dan masing-masing kita adalah sang pemain yang memerankan peran utama yang telah ditentukan oleh Tuhan, Allah Ta’ala. Pastinya pemain yang profesional tidak ingin bersahabat dengan pemain yang lebih memilih untuk menggunakan cheat atau cara curang lainnya.
Bahkan, para pemain handal akan merasa terhinakan jika harus menggunakan cara yang tidak pantas untuk dapat menyelesaikan permainan lebih cepat dan lebih banyak skor. Mereka berpikir bahwa untuk apa selama ini mereka mengasah bakat permainan mereka jika mereka pada akhirnya mereka harus menggunakan cara-cara curang?
Jika kita ingin, kita dapat membedakan mana orang yang derajatnya sudah tinggi dan mana yang masih rendah, sama halnya kita membedakan mana pemain yang sudah ahli dengan pemain newbie yang menggunakan cheat. Dengan syarat, kita melihatnya dengan hati yang ‘bersih’, atau setidaknya melihatnya secara objektif.
Seseorang tidak dapat menutupi derajat asli mereka.
Saya berikan sebuah contoh di dunia nyata, adalah fenomena orang kaya. Sebenarnya kita dapat membedakan mana orang kaya ‘betulan’ dengan orang kaya ‘jadi-jadian’.
Orang yang meraih kekayaannya dengan jalan yang wajar lewat kerja keras ekstra akan terlihat sangat berbeda dengan orang kaya yang memaksakan dirinya dengan memilih jalan pintas, entah dengan kredit barang mewah diluar kemampuannya atau bahkan hingga mendatangi dukun atau paranormal.
Orang yang meraih harta kekayaannya dengan cara yang wajar akan merasa terhinakan jika ia masih harus menerima bantuan sosial (bansos) atau akan merasa tersakiti jika ia harus melakukan korupsi karena itu akan menodai hasil kerja kerasnya selama ini. Tentu jauh berbeda dengan orang yang kaya lewat jalan pintas.
Logikanya, orang yang baru mendapatkan kenaikan level atau derajat, mereka cenderung memberitahu orang-orang disekitarnya atas kabar baiknya tersebut.
Orang yang baru pertama kali makan di restoran mewah biasanya akan cenderung memposting kegiatannya di media sosial dengan niat yang murni ‘pamer’. Namun jika seseorang sudah sering makan di restoran mewah tersebut, lama kelamaan kebiasaan memposting di jejaring sosialnya tentang kegiatan makannya tersebut akan semakin berkurang.
Tentu saja orang yang sudah sering akan bosan memposting kegiatan yang serupa setiap kali ia lakukan kegiatan tersebut.
Sama seperti saat saya baru mendapatkan kerja di sebuah kantor pada gedung bertingkat, hampir setiap hari saya selfie dan mempostingnya ke media sosial saya secara bangga. Sampai akhirnya, saya seperti orang bodoh jika terus memposting hal tersebut berulang kali.
Orang yang baru pertama kali mendapatkan sebuah ilmu akan cenderung memiliki hasrat untuk menceramahi setiap orang di sekelilingnya dan cenderung merasa lebih memiliki banyak ilmu daripada yang lainnya. Berbeda jika ilmunya sudah berada di level yang cukup tinggi, ia menyadari bahwa selama ini ia tidak mengetahui apa-apa.
Maka benar jika level kehidupan ini dapat diibaratkan dengan padi yang semakin berisi, semakin merunduk.
Maka sudah sewajarnya kalian pun menyadari sudah atau masih ada di level yang mana kehidupan kalian. Jika kalian merasa level kehidupan kalian masih rendah, lalu bagaimana cara kalian mendapatkan level yang lebih tinggi?
Kita sebenarnya dapat meningkatkan derajat kehidupan kita secara lebih cepat dan tanpa cheat dengan cara yang mudah, yakni bergaul dengan orang-orang yang derajat kehidupannya juga sudah tinggi.
Saya yang muslim teringat hadits Nabi Muhammad saw.,
βPermisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.β
(HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)