Teman yang Solid

Tips Lebih Bahagia Ala Anandastoon #8

Teman yang Solid

Saya pernah melihat sebuah foto seseorang di Facebook yang sepertinya sedang depresi. Itu adalah foto mengenai segelas kopi dan sebungkus rokok dengan keterangan, “Cuma elo yang ngerti hidup gue”.

Saya menurunkan alis, memasang raut wajah prihatin dengan orang tersebut.

Saya mengira banyak sekali orang-orang yang bernasib sama seperti orang yang saya lihat di Facebook itu, namun mereka memilih untuk tidak frontal. Entah mengapa, saya agak menaruh sedikit perhatian akan hal ini.

Tidak sedikit orang yang saya lihat, mereka begitu mengusung istilah solidaritas dan ‘memamerkan’ teman-temannya ke seluruh khalayak dengan memasang ekspresi seceria mungkin seakan tidak ada orang lain yang memiliki solidaritas serupa.

Tetapi tidak sedikit juga yang mengeluh jika ternyata hampir tidak ada salah seorang dari solidaritasnya itu yang tidak hadir saat mereka sedang butuh bantuan.

Mengapa hal ini dapat terjadi? Saya terus memperhatikan hingga saya ambil sebuah kesimpulan kasar.

Yang paling sering saya perhatikan, sebabnya adalah mereka tidak memiliki teman yang benar-benar dapat diajak berbicara. Justru teman yang potensial untuk menjadi tempat curahan hatinya mereka campakkan saat mereka senang dan lebih memilih orang-orang yang ‘cuma numpang ketawa’ untuk melengkapi kebahagiaan mereka.

Akibatnya sudah jelas, saat mereka bersedih, tidak ada lagi yang tersisa dari kerabatnya untuk hadir pada masalahnya.

Orang yang dapat menahan diri kalian saat kalian sedang berbahagia, dialah yang kemungkinan berada di sisi kalian saat kalian sedang susah.

Sayangnya, masih banyak orang yang tertutup telinganya untuk mendapatkan masukan saat mereka sedang berbahagia. Mereka justru mencari solidaritasnya yang juga sedang mencari orang untuk diajak tertawa.

Yup, hanya tertawa… membicarakan orang lain… kemudian tertawa kembali… lalu pulang. Benar-benar tidak ada yang membekas setelah itu.

Saya terkadang saat berkendara di jalanan suka tersenyum sendiri melihat orang yang di jaketnya dipenuhi lencana jahit “Solidaritas A” atau “Keluarga Besar B”. Entah dari puluhan lencana tersebut, berapa orang yang akan membantunya saat susah.

Salah seorang dari mereka bahkan pernah mengeluh langsung kepada saya, “Kalau saya lagi susah, teman-teman pada kabur.”

Saya balas, “Jangan seperti itu, solidaritasmu itu berguna jika kalian sedang melakukan unjuk rasa, kalau memang unjuk rasa tersebut membuahkan hasil. Atau solidaritasmu akan berguna jika nanti kamu meninggal. Mereka akan konvoi mengantarkan jenazahmu dan memblok seluruh akses jalan sedari berkilo-kilo jauhnya, kalau tidak membuat geram pengendara lain.”

Alhamdulillah selama ini saya punya teman yang selalu hadir, atau setidaknya sebagian besar hadir di kala saya sedang susah. Entah sedang sakit keras, kekurangan harta, hingga pindah tempat tinggal.

Saya selalu membiarkan teman saya menasehati saya sebanyak yang mereka inginkan. Karena dari sana saya juga ikut terasah jika nasehatnya benar-benar mengena.

Dengan melatih telinga untuk mendengarkan orang lain, selain memiliki potensi untuk menjadi lebih bijaksana, juga memiliki kesempatan untuk berteman dengan orang-orang berkelas.

Orang yang ingin menasehati kita dengan nasehat yang berkualitas adalah mereka yang benar-benar peduli dengan kita dan ingin membuat kita lebih baik dan sukses.

Jadi saat saya membicarakan permasalahan saya kepada mereka, mereka tidak hanya menjawab, “yang sabar ya…” berkali-kali seakan mereka tidak punya kosakata lain.

Saya hanya merasa, seperti itulah teman yang masing-masing membina.

Dengan berteman dengan orang-orang yang peduli, saya merasa bahwa semakin kemari saya semakin sedikit memiliki tema pembicaraan yang hanya menggunjing orang lain.

Saya juga belajar banyak hal, seperti bagaimana cara membangun perusahaan dengan baik, bagaimana cara menangani pelanggan yang rewel, dan bagaimana cara menghadapi orang-orang yang ‘toxic’.

Saya bahkan seolah-olah tidak perlu mencari banyak orang untuk saya jadikan sahabat karena saya merasa cukup dengan orang-orang di lingkungan saya sekarang.

Dan tanpa terasa, orang-orang yang ‘bergabung’ di lingkungan saya jumlahnya pun terus bertambah. Masing-masing memberi inspirasi, masing-masing memberi motivasi.

Jadi saya tidak pernah bertemu teman saya hanya untuk sebatas nongrong, membicarakan orang lain, menghambur-hamburkan uang, kemudian pulang. Bahkan saya sepertinya lupa kapan terakhir kali saya berbicara kotor kepada orang lain karena ‘dibentengi’ teman-teman saya.

Mengapa tidak untuk memulai ‘mengaudit’ teman-teman kita sendiri? Jika teman-teman kita tidak dapat membuat kita lebih baik, mengapa kita tidak segera mencari komunitas lain yang lebih bersedia untuk membuat hari-hari kita berkualitas?

Sekali-lagi, faktor kebahagiaan yang satu ini kembali lagi kepada diri kita masing-masing.

 

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    3 Momen "Because Of You" Saya dengan Orang Lain

    Berikutnya
    Tips Lebih Bahagia 9: Menjadi Diri Sendiri


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas