Saya tiba-tiba diajak oleh partner kerja saya ke Singapura. Wah, mendadak betul ya? Tiketnya sudah dipesan seminggu kemudian. Alasannya karena memang ingin liburan terlalu penat dengan pekerjaan. Saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun, semuanya dari customer-customer setia hehe…
Saya disuruh ke money changer semalam sebelum keberangkatan, dikhawatirkan jika menukarnya di bandara akan lebih mahal atau ratenya akan lebih tinggi. Jadilah saya menukarkan Rp70.000 di Epicentrum Walk jam 8 malam karena yang di Plaza Festival sudah tutup hehe… Saya dapat S$67.5. Wah, uangnya tipis, khawatir mudah sobek hahah. Nggak kok, nggak gampang sobek ternyata.
Untung sudah punya paspor, jadi saya berangkat dengan menggunakan A*rAs*a (karena memang paling murah sih hehe) ke terminal dua Bandara Soetta dengan bus DAMRI dari Blok M yang busnya tersedia setiap 15 menit sekali. Saya tinggal masuk bandara, scan paspor dan memasukkan tiket dan cuss…
Eh, saya ditanya-tanya petugas imigrasi! Partner saya tidak ada yang ditanya soalnya, dari total bertiga, cuma saya doang yang ditahan dan ditanya-tanya. Mungkin saya kelihatan gugup dan selalu memandangi petugas imigrasi kali ya? Besok-besok pasang muka cuek aja deh hahah.
Ditanyanya umum sih, dalam rangka apa, kerja di mana, bidang kerjanya apa, dan saya parahnya kelihatan gugup soalnya baru pertama kali sih ke luar negeri bahahah. Saya baru dilepas ketika petugas bertanya, “Sudah pesan tiket pulang?” Saya mengangguk. Dan dicaplah paspor saya.
Asik, cap pertama kelar. Kemudian masuk gate ke dua dan saya ditahan lagi karena bawa cairan. Oh, baru tahu kalau kita tidak boleh bawa cairan di atas 100mL ke area pesawat meski itu hanya botol mineral. Yah, akhirnya saya habiskan dulu deh. Yasudah, kemudian saya mengantri untuk diantar oleh bus khusus ke pesawat dan saya mendapatkan kursi di samping jendela persis. Asikk…
Perjalanan hanya memakan waktu satu jam, namun karena ada perbedaan zona waktu, jadi terkesan dua jam. Dari atas saya sudah melihat sebuah pinggiran kota yang rapinya masyaAllah. Jadi makin deg-degan mengingat saya pernah melihat bahwa Singapura menduduki peringkat pertama dunia dalam kualitas pendidikannya, dikutip dari PISA 2015.
Begitu datang di bandara Changi, nuansa ‘negara maju’ sudah jelas terlihat oleh mata, padahal kaki baru nempel di bandara. Okelah dengan interior bandara yang mengesankan dan sejuk. Namun yang saya suka, bandara tersebut seakan datang menghampiri saya untuk meminta apa yang harus dilayani, bahkan tanpa kehadiran petugas bandara sekalipun.
Lelah dengan barang bawaan? Ada troli tersedia beberapa meter langsung setelah turun pesawat.
Haus? Tinggal keluarkan botol air mineral kosong masing-masing dari dalam tas untuk kemudian diisi.
Bingung? Petunjuk jalan terpampang jelas, dengan huruf yang mudah dibaca, dan dikemas dalam 4 bahasa!
Lelah mengantri di imigrasi? Ada pertunjukkan mini dari geometri-geometri cantik dan animasi kece yang tidak membosankan di bandara.
Petugas bandara yang mengitari antrian penumpang di imigrasi pun dengan mantap memeriksa satu persatu kertas isian identitas ‘permohonan masuk negara orang’ yang sudah saya isi waktu di pesawat, pramugari yang memberikan itu kepada saya dan partner.
Petugas imigrasinya? Saya dapat yang hangat, murah senyum, dan tidak terkendala komunikasi meski berbeda bahasa. Padahal dari wajah petugas tersebut awalnya saya pikir dia akan ketus dan jutek hahah, eh saya salah total. Bahkan saya dengar teman saya ada yang pernah diberi permen oleh pihak imigrasinya.
Dan begitu diizinkan masuk oleh petugas imigrasi saya ‘disuruh’ menilai petugas imigrasi tersebut dengan memberinya bintang seperti yang kita lakukan setelah kita selesai memesan transportasi online. MasyaAllah. Aduh, terharu sangat ogut.
Negara maju. Ingat, negara maju.
Partner saya membelikan sebuah kartu elektronik (eMoney) bermerek EzLink yang bisa digunakan untuk banyak keperluan di Singapura, isinya S$5.
Saya datang di terminal 4, yang merupakan terminal baru di Singapura. Jadi saya harus naik bus ke Terminal 2 yang datangnya 10 menit sekali. Kenapa ke terminal 2? Karena ada MRT langsung terkoneksi dengan bandara di sana.
Selama perjalanan dengan bus gratis, saya melihat jalanan yang apik dan bersih, serta satu lagi, pepohonan unik di mana-mana! Tak heran negara mini ini disebut Garden City, atau kota kebun karena mereka memuliakan pepohonan.
Tiba di terminal 2 Bandara Changi, saya naik elevator yang petunjuk digitalnya tidak hanya menunjukkan angka lantai, melainkan dengan ‘ada apa sih di lantai tersebut?’. Keren, gilak keren.
Saya kemudian ke lantai dua, eh, apa tiga untuk menuju sesuatu… apa itu? Ternyata terminal 1, 2, dan 3 terkoneksi langsung oleh skywalk yang ditengah-tengahnya ada bangunan bulet unik kek bakpao. Itu bangunan yang baru diresmikan belum lama, yaitu…
JEWELL!!!
Subhanallaahi wa bihamdih… jadi tuh ini bangunan ada di tengah bandara namun dapat diakses publik dengan gratis karena ini sebenarnya tempat ini adalah semacam mall. Belum lagi di setiap pagar pembatas benar-benar ditanam pohon-pohon besar hanya dengan memakai pot! Iya, pot seperti di rumah-rumah kalian itu, apa akarnya nggak ngerusak ya? Pikiran saya belum sampai.
Wew, negara maju. Sebenarnya ada air terjun lain lain di dinding-dinding, namun terlalu sulit untuk di foto. Di sinilah saya melihat berbagai macam suku dan ras dari seluruh dunia yang datang sebagai turis. Dari Thailand, Korea, hingga negara-negara barat. Semua enjoy berfoto-foto di taman buatan yang menakjubkan ini. Tidak heran bandara Changi selalu menyabet bandara terbaik di dunia selama bertahun-tahun.
Belum lagi, ada LRT yang lewat di sebelah air terjun setiap beberapa menit sekali. Natural dan Futuristis! Allah Kariim!
Dan inilah sisi lain Jewel:
Kota Kebun itu bernama Singapura. Saya masih tidak percaya menikmati ini semua gratis. Belum lagi saat pulang, jembatan penghubung ketiga bandara itu memang panjang, tapi bagi yang tidak ingin berjalan lagi-lagi sudah disediakan travelator yang berjalan otomatis jadi kita cukup berdiri dan tiba-tiba sampai saja hehe… Travelatornya juga hidup semua, nggak ada yang mati.
Oh iya, saya belum keluar sepeser pun hingga saat ini. Hingga kami kembali ke Terminal 2 dan langsung ke eskalator yang terhubung langsung dengan MRT bawah tanah dengan desain eksotis. Barulah kartu EzLink saya dapat digunakan dan itu adalah konsumsi pertama saya di negara imut tersebut. MRT pun datang 5 menit kemudian.
Saya transit di Expo dan turun di Bendemeer. Announcer MRTnya 4 bahasa, selama di MRT diputar-putar iklan layanan sosial masyarakat dengan menyertakan berbagai SARA. Misalnya ada orang keturunan Cina, terus perempuan Melayu pakai hijab, kemudian orang-orang India, semuanya dapat peran adil dalam percontohan iklan tersebut mengenai mana yang boleh dan yang tidak. Direktornya keren.
Sampailah di Bendemeer dengan petunjuk yang super jelas dan nyaman dibaca.
Saya keluar stasiun MRT dan melihat sekeliling yang super bersih. Dan jika itu masih belum mengejutkan saya, ada satu hal yang memang hati saya dibuat dilema dalam hal positif jika saya kembali ingat-ingat.
Kalian tahu perempatan yang belok kirinya langsung dan memakai lajur sendiri di tikungan mirip pintu keluar tol? Biasanya yang seperti ini banyak dijumpai di perempatan besar. Tapi apa yang membuat saya syok sampai sebegitunya?
Well, saya mau menyebrang, tepat di tikungan tersebut, saya melihat ada mobil melaju kencang dari kejauhan dan seperti yang telah saya terapkan di Indonesia, dan mungkin negara-negara lainnya, saya harus mengalah dan mempersilakan mobil tersebut berjalan lebih dahulu, apalagi di tikungan.
TAPI INI NGGAK! ITU MOBIL MALAH LANGSUNG NGEREM BEGITU MELIHAT SAYA MAU NYEBRANG! PADAHAL SAYA SENDIRIAN KARENA PARTNER SAYA SUDAH DI SEBERANG!
Aduh, kantong mata mau jebol. Terharu najis browww! Negara maju. Ingat, negara maju. Jalanan pun bersih, kinclong, cingcong!
Saya diajak partner saya mampir di sebuah restoran kecil, ‘late lunch’. Aduh, partner saya non muslim semua, saya bingung mau milih apa. Oh ada laksa, saya pilih itu saja. Masalah halal atau tidak, bismillah. Saya tidak memilih yang daging-daging.
Setelah itu kami masuk ke hotel kapsul yang ada di jalan Tyrwhitt, dari MRT hanya 400 meter, atau kurang dari itu. Kami langsung disapa ramah oleh pemilik hotel dan dipakaikan gelang sebagai akses untuk membuka pintu. Si pemilik hotel yang masih gadis menjelaskan dengan ramah, hati-hati, namun sangat cepat dan efisien waktu, langsung to the point.
“If you want this, there’s another one. Then this is the bathrooms, if you find this full there’s more on upstair, this is the tap you can choose the temperature and this is a locker if you carry more bags. Hope you enjoy… Thank you!”
Suaranya imut dan lembut. Intonasinya pas. Tak heran hotel ini mendapatkan rating hingga 9.5 di Trip Advisor. Dream apa hotel gitu namanya. Dream Lodge kalau tidak salah.
Saya langsung shalat Jamak zhuhur ashar untuk kemudian tidur sebentar karena lelah hehe… Malamnya kami ke Chinatown berburu streetfood, pakek MRT lagi dong. Dan kebetulan sedang ada festival apa gitu saya lupa jadi sepanjang jalan banyak digantung lampu-lampu warna-warni.
Oh, jalanan sempat macet, namun yellow box di tengah jalan tetap kosong tidak terisi oleh mobil-mobil! Padahal tidak ada polisi dan itu bukan di perempatan jalan! Jadi kami bisa menyebrang di sana.
Terus saya lihat ada jalan Mosque (masjid), jalan Temple (Kuil) di sebelahnya. Ternyata benar, masjid dan kuil benar-benar bersebelahan di Singapur! Wew!
Bahkan ada orang pakai jubah dan berjanggut panjang jalan berpapasan dengan orang dari etnis lain yang pakaiannya jauh lebih terbuka, perempuan. Kemudian ada orang tionghoa berpapasan dengan orang India akut (emak-emak yang kalian suka lihat di film Bollywood jadul gitu lho, pakek selempang, dengan perut terbuka dan memakai apa itu yang merah-merah di dahi?).
Terlihat lebih Bhinneka Tunggal Ika daripada di negara yang punya slogan tersebut. Aduh, semakin malu saya.
Akhirnya partner saya singgah di tempat makan yang berlogo halal, ada tulisan bismillahnya, milik muslim India. Kami memesan nasi goreng sesuatu. Saya lupa nasi goreng apa. Yang pastinya enak banget, ditambah kopinya nendang.
Setelah itu banyak terlihat lansia yang happy berdansa menikmati sisa hidup mereka diiringi musik-musik tradisional yang agak modern. Apa itu namanya? Mereka terlihat seperti tidak ada beban dalam hidup. Padahal, di Singapura segala sesuatunya terlihat mahal. Nasi goreng saja 4 sampai 5 dolar Singapur, atau sekitar Rp50.000.
Muralnya juga sederhana, namun cantik.
Kemudian kami memilih untuk jalan-jalan malam di jalanan Singapur. Eh, buset, saya lagi kayak ada di planet lain. Secara, keteraturan dan kebersihannya gilak. Meskipun tempatnya sangat sepi, tapi keamanan sepertinya sudah sangat terjamin di sana.
Kami berjalan-jalan malam hingga melewati tempat-tempat night street-nya mereka, di mana banyak turis bertato bermabuk-mabukkan di klub-klub sepanjang jalan itu. Namun mereka sama sekali tidak menimbulkan ketakutan, seakan mabuknya saja sopan. Yang lucu, di tengah-tengah tempat ‘maksiat’ tersebut ada masjid, bernama masjid Al-Abrar.
Berikut bersih dan rapinya jalan-jalan mereka.
Eh, kami tiba-tiba sampai ke Stasiun MRT lain, Telok Ayer (Teluk Air). Pas banget searah ke Bendemeer. Cuss deh pulang. Acara puncaknya ke landmark legendaris akan dilakukan besok. Ya benar, ke si Merlion itu.
Jam 9 pagi itu kami ke Little India, yang saya pikir salah satu tempat kawasan wisata. Ternyata enggak. Itu seperti benar-benar saya masuk negara India asli. Wew, saya keliling-keliling tempat yang memang dindingnya berhiaskan mural-mural dan hiruk-pikuk orang-orang India.
Acha-acha… Nehi-nehi…
Tiba-tiba ada orang India duduk di tengah-tengah fotografer. Seperti sengaja, berhiaskan latar belakang mural-mural, cuek bebek. Good, good!
Di sana saya melihat ‘kelakuan’ orang-orang India yang parkir sembarangan, diklakson sana-sini. Agak berantakan hahah. Eh, itu baru kali pertama saya dengar klakson di Singapura.
Kebetulan saya dan partner saya berpisah untuk berburu pemandangan masing-masing, kami berjanji akan berkumpul kembali di Stasiun Little India pintu E. Tapi nyatanya saya mules, ya sudah saya cari toilet dan terpikir satu di Stasiun MRT. Saya pergi lewat pintu E yang benar-benar… berbeda. Pintu stasiunnya kecil dan agak terabaikan.
Begitu saya sampai toilet stasiun pintu E, hoeeekkk… Nggak, nggak jadi. Bau pesing dan busuk di mana-mana. Benar-benar “Little India”. Akhirnya saya terpaksa tap in, kemudian tap out lagi untuk memakai toilet MRT sisi lain. Untuk stasiun yang sama saya dikenakan S$0.83. Tidak apa demi menyelamatkan perut saya yang sudah mengamuk ingin segera dilancarkan aksinya.
Jadilah saya memakai toilet pintu D. Jauh lebih bersih, kinclong, dan menyenangkan. Ah… pancuran airnya juga mangstaph hahah. Dari sini announcer MRT mudah terdengar kereta sudah tiba di mana. Akhirnya saya menunggu partner saya di peron stasiun sambil wifian gratis.
Btw, hampir setiap atau bahkan setiap tempat publik Singapura terdapat wifi gratis. Cuma Wifi di stasiun MRT harus daftar via nomer telepon. Aduh ogut nggak pakek data roaming, dan pulsanya juga ziwaw alias bokek. Gimana mau dapetin kode OTPnya dong. π
Tapi saya coba ah, saya pilih negara Indonesia, terus saya masukin nomer saya di layar registrasi agar dapat OTP. Daaann… EH MASUK!!! YAY SAYA BISA WIFIAN! ALHAMDULILLAAH! Tengkyu Singapur! Ya sudah saya… main Candy Crush hingga saya disapa partner saya di peron untuk melanjutkan perjalanan saya ke jalan Orchard yang legendaris itu…
Kami transit sekali dan tiba di stasiun yang terhubung langsung ke pusat perbelanjaan Orchard yang unik karena berbentuk gentong kaca or you name it lhaaa…
Dan inilah jalanan Orchard yang legendaris itu! Bersih, cantik, ornamen sana-sini, burung merpati sana-sini. Et, tapi jangan sekali-kali kasih makan burung merpati ya, bisa didenda mungkin karena jalanan bisa jadi kotor. Sayang waktu itu langit lagi mendung… Kemudian kami makan siang di sebuah foodcourt mall yang saya terkendala bahasa dalam memilih menu. Aduh, petugasnya juga bingung.
Akhirnya saya memesan mie dengan modal Yas Yes Yas Yes aja, saya nggak tau keluarnya jadi apa. S$5 keluar dan saya lumayan puas sih sama makanannya. Di sini bermacam-macam makanan. Cuma saya pilih yang ‘kira-kira’ halal saja hahah.
Oke lanjut ke Marina Bay yang ada Supertree dan Merlion! Saya dipersilakan shalat di masjid Al-Falaah di Orchard. Masjidnya dalam gedung, interiornya nggak jauh beda sama masjid-masjid kayak di Indo, cuma azannya cukup di dalam masjid saja, tidak keluar. Yang azan dan jadi imam orang Arab-India gitu deh. Shalatnya juga tidak lama dan tidak sebentar juga. Alhamdulillah.
Setelah itu hujan deras jadi kami berteduh di halte untuk naik bus tingkat ke Marina Bay. Setiap halte ada estimasi kedatangan bus dalam hitungan menit dan berapa menit lagi yang berikutnya, mungkin biar kita bisa tahu itu bus terakhir atau bukan. Dan ada isyarat apakah bus tersebut ramah disabilitas atau tidak. Wew mantap!
Oke, announcer busnya sudah tiba di halte Marina Bay dan kami langsung ke Merlion via jembatan helix. Saya nggak bisa bilang, Singapur ini sepertinya adalah negara yang instagrammable setiap 5 langkah sekali, saya nggak tahu. Tapi lihat ini:
Banyak bule yang minta difotoin saya, dan mereka bilang, “Wow, the result is awesome, thank you!“
“Ciyyeeee… Nanda…!” Kata partner saya.
Dan sampai di keramaian di mana ada Youtuber yang menurut saya agak gila bolak-balik sambil nyanyi-nyanyi yang bikin kuping nggak bisa tidur. Astaghfirullah. Mana banyak orang, nggak malu ya… Tapi memang di sekitar Merlion ramenya memang naudzubillah, banyak orang pose yang seakan-akan ingin menangkap air terjun si Merlion.
Oh iya, setelah itu kami langsung ke Gardens By The Bay yang amazing. Dari Merlion/Marina Bay si Gedung Trio Kwek-Kwek yang nopang perahu itu bisa lewat tiga jalan.
Nyebrang jalan raya, bawah tanah yang terhubung MRT, atau flyover khusus pejalan kaki via mall yang di tengahnya ada sungai yang ada perahunya kek Venice. Kece gilak! Dan di atas gedung-gedung tersebut tuh banyak pohon! Benar-benar negara yang menghargai alam!
Dan coba tebak? Kami tidak memakai tangga untuk naik dan turun melainkan eskalator semuanya.
Tujuan kami ke Flower Garden dan Dome apa gitu yang ada air terjunnya. Sebelah-sebelahan. Partner kami sudah beli S$38 untuk semuanya via Trav*loka. Dan untuk ke sana kami melewati kebun-kebun besar kayak Kebon Raya Bogor gitu deh, cuma ini lebih rapi DAN GRATIS! TERMASUK TOILETNYA! GILAKKK!!!
Akhirnya sampai ke tujuan oleh petugas diarahkan dengan ramah agar barcodenya langsung di-scan via hape masing-masing agar tidak lagi mengantri. Keren! Di dalamnya terdapat kebun-kebun dari seluruh dunia.
Dan lanjut ke tempat legendaris di mana kami berpisah dengan partner, jadi saya sendirian. Lagi, banyak bule yang minta saya fotoin, katanya hasil foto saya awesome hahah! Orangnya handsome nggak! Wahahahah!
Tapi liat ini:
Wew! Amazing! Dan saya mengantri untuk naik ke atasnya. Saya naik lift untuk sampai ke lantai 6, lantai paling atas. Waktu itu tepat “Mist time”, jadi seperti buat kabut atau awan buatan. Lihat foto berikut sebagai hasil dari kabut buatannya:
Cakep! Di atas banyak tumbuhan-tumbuhan liar asli dan begitu saya turun lewat eskalator tiba-tiba disambut oleh miniatur gua, lengkap dengan stalaktit dan stalakmitnya. Begitu saya turun lagi ke lantai berikutnya, ada museum kecil menyuruh kita menghormati alam.
Begitu saya turun lagi, bahkan ada bioskop yang memutar tentang dampak alam yang dirusak manusia. Takjub!
Turun lagi, ada hutan mini buatan dan air terjun kecil yang bikin mata sejuk. Setelah itu kita disuruh memberi bintang bak selesai order transportasi online. Jelas saya beri bintang 5, siapa yang berani memberi bintang yang kurang dari itu?! Setelah itu ada berbagai macam suvenir yang bertema alam untuk kita beli.
Nah, saya belom sholat Ashar. Lupa banget saya nggak jamak! Ternyata cari mushalla susah najis di sini. Saya tanya seorang yang saya tahu dia muslim dia bilang go to by the bay then there’s Texas Chicken. Ternyata saya nggak ketemu-temu.
Saya tanya orang-orang ternyata banyak yang nggak tahu. Tapi enaknya saya nggak bisa kesasar sih di sana karena petunjuk jalannya jelas dan gede-gede banget.
Tapi mushallanya gitu loh, dimana yaaaa…. udah sore banget sebentar lagi magrib masya Allah! Eh, tapi ada pemandangan bagus, cekrek ah.
Saya sampai kembali ke Marina Bay, pergi ke dalam tanah MRTnya, where the hell is Texas Chicken! Saya capek sumpah! 1 jam saya setengah mati cari mushalla sampai tiba maghrib lagi. Akhirnya saya balik lagi ke Garden By the Bay, ke Super Tree.
DAN DI SANALAH TEXAS CHICKEN!
Tapi telat, sudah maghrib. Saya cari katanya ada pintu putih di samping Texas Chicken yang bertuliskan khusus karyawan dalam bahasa Inggris. Saya buka, bodo amat. Dan ternyata di sana mushallanya.
Eh, ada orang Malaysia. Dia memberitahu saya tempat wudhunya yang berjarak 100 meter dari mushalla alias itu di toiletnya dan saya diberitahu olehnya,
“Kalau di sini, kite harus siap solat dimane-maneu.”
Iya, saya meminta maaf dan berkata, “Salah saye”. Hahah. Dia adalah seorang gadis, ramah kok. Dia juga bilang,
“Sebenarnye di sini mushola karyawan, tapi kiteu boleh solat di sini.”
Ya ampun, saya langsung shalat Maghrib dan dilanjut Ashar diiringi shalat taubat. Pelajaran bagi saya setelah itu.
Dan kemudian, pertunjukan si Super Tree yang lampu-lampunya mengikuti musik dimulai. Eh gilak! Subhanallah banget bagusnya! Dan kita nikmatinnya gratis!!!
Alhamdulillah. Setelah itu saya pulang deh via MRT.
Ketika saya sampai ke Stasiun, saya lapar ingin kembali makan Laksa tapi lagi kosong. Akhirnya saya ke jalan belakang, ke tempat foodcourt mini atau Hawker di mana banyak orang bertato sedang bermabuk-mabukkan. Penjaja minuman kerasnya pun keliling.
Saya hanya mencari yang halal. Akhirnya saya pesan nasi goreng olive yang kira-kira tidak mengandung daging. Ada logo babi di warungnya, saya langsung kaget. Tapi semoga olive hanya minyak biasa, bismillah saja deh. Allah Maha Tahu.
Sudah, setelah itu saya bobok di hotel untuk kemudian saya pulang keesokan harinya.
Di Singapur:
Hehe…