Hari ini penggunaan dompet digital semakin merajalela. Tidak, saya tidak menyebut itu buruk, bahkan saya pribadi pun sangat terbantu dengan kehadiran dompet digital ini dalam bertransaksi seperti membeli pulsa, makanan, menggunakan transportasi, transfer uang, dan lain sebagainya.
Perusahaan dompet digital pun berlomba-lomba mendapatkan banyak pelanggan dengan menggunakan sistem promo dan cashback sebagai trik marketing mereka. Dan ternyata benar-benar berhasil. Bayangkan ketika mereka menawarkan cashback atau uang kembali sebesar 20% dari harga Rp100.000, maka kita sebenarnya hanya membeli Rp80.000 saja.
Tentu sistem promo dan cashback tersebut memiliki syarat dan ketentuan seperti minimum pembelian atau maksimum cashback per periode atau per merchant.
Namun yang saya akan bahas di sini adalah dampak bagi si pengguna dompet digital tersebut.
Pertama kali saya menggunakan dompet digital atas rekomendasi salah satu teman saya karena dia mendapatkan dampak positif dari diskon yang ditawarkan, saya iseng-iseng men-topup dompet digital pertama saya untuk saya gunakan dalam hal transportasi.
Lumayan, bahkan sangat lumayan. Karena biasanya saya menghabiskan Rp20.000 untuk sekali perjalanan, waktu itu bahkan hingga setengahnya. Saya mulai ketagihan dan mulai aktif mengisi ulang dompet digital saya karena itu menyelamatkan manajemen keuangan saya.
Setelah itu, saya melihat mulai banyak tempat-tempat makan yang berasosiasi dengan dompet-dompet digital, dan para pengusaha dompet digital tersebut berlomba-lomba menaruh banner-banner besar di depan pintu masuk tempat-tempat makan partner yang bertuliskan cashback sekian puluh persen. Dari mulai 20, 30, bahkan hingga 50 persen.
Penggunaan dompet digital saya mulai merambah ke arah sana. Saya berpikir bahwa, untuk memesan satu mie ramen harganya bisa hampir menyamai harga mie goreng yang dijual di gerobak-gerobak. Syukur saya Alhamdulillah merasakan kecanggihan di zaman ini.
Saya jadi hampir setiap hari atau bahkan setiap hari menggunakan dompet digital tersebut. Saya selalu memburu segala sesuatu yang saya pikir dapat menjaga dengan ketat saldo bank saya. Bagaimana tidak? Saya yang biasanya keluar uang hampir Rp50.000 dalam sehari, kini hanya Rp40.000 atau bahkan tidak lebih dari Rp30.000 karena terbantu dengan adanya promo dan cashback.
Bahkan, untuk makan siang pun saya mencari warung yang sudah menjadi mitra dompet digital. Lumayan, sudah harga nasinya Rp15.000, kini ditambah dengan cashback jadi hanya Rp10.000. Benar-benar sebuah keajaiban ‘kan?
Tak sedikit saya di waktu senggang mencari-cari promo berlebih di layar telepon pintar dengan harapan menemukan satu. “Buy one get one”, “Promo gajian”, “Harbolnas”, dan lain sebagainya terus saya lakukan. Kali ini penggunaannya terus merambah, tidak lagi hanya dalam lingkup makanan dan transportasi, melainkan ke arah gaya hidup.
Sampai suatu saat, saya menemukan sebuah ketidaknyamanan. Bukan, bukan dari saya, saya pribadi masih adiktif dengan penggunaan dompet-dompet digital tersebut. Tapi keluhan tersebut jauh dari dalam hati saya, dari dalam sanubari saya, seakan ada yang tidak beres. Memangnya apa itu?
Saya tahu zat adiktif yang dihasilkan oleh sistem promo dan cashback dompet-dompet digital itu justru membuat saya kehilangan kontrol dalam menguasai ‘dompet’ saya. Saya tidak tahu dari sejak kapan saya selalu mampir di restoran ‘bercashback’ setiap saya selesai kerja. Dan itu saya akui terjadi setiap malam, dengan alasan “melanjutkan kerja” hingga menyentuh jam 9 malam.
Sekali pesan makanan dalam satu porsi rata-rata habis di kisaran Rp35.000 bahkan hingga lebih dari Rp50.000. Memang cashback yang saya dapat pun berlimpah dengan maksimum Rp20.000, tetapi ternyata dalam satu hari saya menghabiskan sampai Rp80.000 hanya untuk makan. Sekali lagi, hanya untuk makan.
Tidak beres.
Terlebih, saya lalai dari sebagian waktu saya karena mencari-cari promo dan cashback terbesar dari suatu merchant. Pekerjaan saya yang seharusnya selesai minggu itu, bahkan molor hingga minggu berikutnya karena mood saya sudah tersita sebab hal pencarian diskon, terlebih jika saya tidak menemukannya sama sekali.
Gagal, saya gagal memanajemen ini semua. Zat adiktif itu telah menggerogoti manajemen waktu dan finansial saya. Saya tidak menyalahkan sistem promo dan cashbacknya, karena itu memudahkan, yang saya salahkan adalah saya yang benar-benar melupakan pentingnya manajemen penggunaan dompet-dompet digital tersebut yang seharusnya ditujukan untuk menyelamatkan urusan keuangan saya.
Sampai suatu hari, saya memutuskan untuk berhenti men-topup seluruh akun dompet digital saya, meninggalkan satu khusus untuk transportasi atau jika memang ingin memesan makanan atau pulsa. Saya pun mengabaikan tawaran-tawaran diskon besar dan tetap memilih untuk membayar tunai.
Sekarang bagaimana saya akan masuk lagi ke lubang yang sama karena tawaran diskon tersebut? Untuk apa saya menghabiskan waktu saya berpikir membeli sesuatu yang saya tidak perlu, untuk apa saya berlelah-lelah menganalisa bagaimana cara memakai diskon yang besar namun minimum pembeliannya juga tinggi? Diskon 50% dengan minimum pembelian 100.000 untuk kerajinan antik namun maksimum potongan hanya Rp50.000?
Enggak, makasih. Saya akan membeli suvenir saya sendiri jika perlu.
Kemudian paradoks terjadi di sini. Hampir setiap ke restoran dan kafe saya sekarang selalu membayar tunai atau cash. Membayar dengan dompet digital sudah masa lalu. Yang saya heran, saya justru lebih hemat beberapa kali lipat daripada saat saya masih bergantung pada dompet digital. Semenjak itu saya bahkan masih memiliki banyak sisa untuk ditabung dan disedekahkan.
Konsumtif. Itu yang membedakan.
Saya kini hanya memakai satu produk dompet digital saja, yang menurut saya itu lebih masuk akal daripada mencari mana yang promo dan cashbacknya paling besar. Uang saya tidak lagi berceceran di dunia maya, dan yang pasti, saya lebih bahagia. Saya hanya menggunakan promo jika memang saya perlu. Saya tidak lagi menghabiskan waktu untuk bersusah-payah mencari promo dan diskon untuk sesuatu yang saya tidak perlukan.
Voucher hangus lebih baik bagi saya daripada uang saya habis untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Toh, pengusaha dompet digital pun masih dalam tahap membakar uang untuk mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Jadi customer hampir-hampir tidak lagi melihat nilai perusahaan dompet digital melainkan mencari mana yang paling banyak promo dan cashbacknya.
Agak mengerikan. Tapi mau bagaimana lagi?