Waktu Semakin Cepat

Saya kaget sudah akhir tahun lagi, padahal kemarin baru tahun baru. Aduh saya bahkan belum sempat apa-apa. Mengapa waktu hari ini bisa secepat ini? Kita yang semua paham bahwa jatah setiap insan dalam sehari adalah 24 jam kini banyak saya dengar orang-orang, termasuk teman-teman saya bahkan saya pribadi yang ‘komplain’ atas hal ini.

Jika dulu saya ingat-ingat, sewaktu masih sekolah saya merasa untuk sampai di hari Minggu itu seakan butuh waktu berbulan-bulan. Waktu di kelas terasa begitu lama dari satu istirahat ke istirahat berikutnya. Begitu pula ketika saya pulang ke rumah, untuk menanti malam tiba seakan perlu perjuangan yang tinggi untuk mengisi waktu.

Sekarang? Saya bahkan tidak ingat bagaimana saya merasakan pengalaman bulan ramadhan terakhir.

Rasulullah saw, beliau bersabda, “Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.” (Musnad Ahmad)

Sebagian ulama berpendapat bahwa itu adalah peristiwa di mana waktu telah memudar keberkahannya. Kok bisa? Maksudnya?


Kualitas waktu yang semakin menurun

Jika saya tanya, apa saja yang telah kita lakukan di hari kemarin? Kebanyakan hanya menjawab secara garis besar saja. Oh, saya bekerja, saya berlibur, saya mampir ke rumah teman, dan seterusnya.

Setiap hari waktu terus bergulir di saat kita sedang sibuk dengan rutinitas-rutinitas monoton harian kita. Tiba-tiba malam menyapa, kita bersapa dengan keluarga kemudian hari esok tiba.

Ketika bosan, waktu kita dihabiskan hanya untuk melihat smartphone, men-scroll-nya tak tentu arah, memeriksa sesuatu di jejaring sosial yang kita harap dapat membunuh waktu kita, atau setidaknya main game. Deadline dan tugas-tugas penting yang seharusnya dapat dikerjakan hari itu, justru mundur hingga satu bulan.

Tanpa terasa, tibalah waktu di mana tugas-tugas kita ditagih, dan kita hanya diam tak berkutik menghadapi ganasnya perjalanan waktu yang kita khianati sendiri. Kita sendiri tidak tahu bahwa esok sudah hari terakhir batas penyelesaian tugas, dan waktu tidak memberikan lagi kompromi.

Setelah itu, alur kehidupan kita terus terulang tanpa adanya kesan tambahan. Yang sibuk tetap dalam kesibukannya, yang masih main-main mereka sibuk dalam permainannya.


Waktu yang salah alokasi

Teman saya mengeluh bahwa usianya sudah hampir mendekati 30, bahkan dia tidak tahu apa yang bahkan dia tidak tahu.

Masa mudanya ternyata dipenuhi dengan aktivitas naik gunung, yang tak jarang uang gajinya hilang begitu saja bahkan tidak sedikit yang kegiatan perkuliahannya ditelantarkan demi sesuatu yang dia tidak paham dampak jangka panjangnya.

Dia bukan blogger, atau apa pun. Dia hanya ingin menambah pengalaman yang mengesampingkan prioritas, dan pengalaman tersebut dia sendiri bahkan tidak dapat dia banggakan di kemudian hari.

Banyak anak muda yang tidak ingin hidup dengan mengikuti alur waktu. Mereka hanya ingin mengikuti nafsunya saja. Ini wajar karena saya pun demikian. Saya melakukan travel, naik gunung, dan kegiatan ‘nongkrong’.

Tetapi yang disayangkan banyak anak muda yang tidak lagi memiliki prioritas hidup. Mereka kira apa yang mereka lakukan akan mendapatkan kesuksesan dalam waktu yang sangat instan.

Bahkan lebih parah, para trendsetter dan perusahaan dengan teknik marketingnya berlomba-lomba membuat lubang yang besar untuk memerangkap target audiens mereka, yakni anak-anak muda demi membuat produk mereka laris besar-besaran.

Kita tidak menyadari bahwa aktivitas kita diaduk-aduk oleh permainan media digital, yang semula membuat kita iri, dan kita berlomba-lomba untuk menjadi bagian dari tren, tidak peduli berapa waktu yang terbuang.

Kita mungkin akan membahas manfaat yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, namun saya hampir tidak menemukan apa pun kecuali sedikit.

Benar bahwa kita beralasan bahwa anak muda lebih baik melakukan hal yang mengikuti tren daripada berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, tapi mengapa kita ingin disamakan dengan orang-orang yang berbuat kerugian pada orang lain?


Data berbicara

Saya membaca artikel mengenai masa depan milenial seperti yang dilansir oleh situs Huffington Post, Medium, dan Goldmansachs, bahwa milenial terutama milenial yang lahir pada tahun 90-an ke atas, akan mengalami masa-masa sulit dalam menghadapi masa depan mereka.

Survey menunjukkan bahwa milenial di dunia mengalami kenaikan usia yang cukup drastis pada usia menikah mereka. Dahulu, orang tua kita menikah pada usia yang cukup muda, namun mereka kebanyakan sudah mapan. Sudah memiliki pekerjaan tetap, bahkan sudah memiliki rumah. Kini, milenial banyak yang menunda pernikahan mereka dengan rata-rata usia pernikahan di dunia kini adalah 30 tahun.

Teman-teman saya yang sudah menikah (asumsi mereka menikah usia 25, seusia saya saat artikel ini ditulis), tidak sedikit yang tidak dapat memulai perjalan kehidupan baru mereka. Artinya, mereka hanya beruntung orang tua mereka masih hidup dan masih dapat diandalkan dalam ‘menghandle’ mereka.

Di kehidupan yang sudah sulit ini, waktu kita justru masih banyak digerecoki oleh sesuatu yang terlihat cukup apik dalam membalut sebuah tipuan. Alih-alih bekerja sebagai karyawan sebelum menjadi seorang pengusaha, kita melempar batu loncatan dengan sangat jauh.

Karena melihat satu atau dua Youtuber kaya raya, misalnya, kita berbondong-bondong menjadi Youtuber, padahal hanya 3% dari 100% Youtuber yang benar-benar sukses. Begitu juga dengan profesi digital lain yang seharusnya dapat dijadikan profesi sampingan jika memang penghasilan yang di dapat darinya masih belum menyaingi penghasilan utama.

Saya pun memasang iklan (Adsense) di blog ini, tanpa terlalu berharap dengan penghasilan yang saya raih. Saya hanya menyalurkan hobi sekunder di tengah-tengah kesibukan aktivitas utama saya di kantor dengan penghasilan yang insyaAllah semakin terus naik, dan naik, meski tidak secepat pembacaan mantra “Adakadabra”, “Alakazam”, “Bibidi Boo”, dan lain sebagainya.

Tak jarang, kita lebih memilih pekerjaan yang terlalu bebas dan terlalu tidak terikat waktu. Beberapa dari kita bahkan sudah berani untuk mencoba membuka usaha sendiri tanpa ada pengalaman dan manajemen yang dapat dijadikan sandaran sebelumnya.

Akhirnya, bisa ditebak, berapa banyak startup atau perusahaan rintisan yang tutup daripada yang bertahan? Yang bertahan pun sepertinya harus kuat mempertahankan investasi dan pelanggan yang sudah ada, itu pun masih jauh dari penghasilan yang dapat membuat mereka menikah tanpa menutup jalan.

Kita memohon agar waktu bergerak lebih pelan, namun sayangnya waktu terlalu kejam untuk itu. Allah ta’ala tidak menyisipkan fitur “set back” pada waktu, jadi kita dipaksa untuk menjadi lebih baik setiap harinya. Tidak ada waktu untuk meratapi diri sendiri dan hanya termenung iri kepada kesuksesan orang lain. Allah Ta’ala berfirman,

Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain),
dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
(QS. Al-Insyirah 7-8)


Melihat ke belakang

Dahulu orang tua kita sudah menikah di usia yang sangat muda, berkisar dari 20 hingga 25 tahun. Dalam usia tersebut, mereka sudah memiliki pekerjaan mapan bahkan hingga tempat tinggal sendiri.

Hari ini, bahkan mereka yang usianya sudah hampir mencapai 30 masih banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidupnya. Ditambah mereka terintimidasi dengan kebutuhan primer yang semakin hari semakin sulit untuk terpenuhi.

Makanan? Harga bahan baku semakin naik sehingga menjadi lebih mahal. Kapan terakhir kali kita mengeluarkan uang di bawah 10 ribu untuk makan siang?

Pakaian? Masih ada beberapa di lemari saja sudah bersyukur. Kita harus pergi jauh ke pasar tradisional untuk mendapatkan harga yang bersahabat, setelah berperang lidah dengan para pedagang, tawar-menawar harga.

Tempat tinggal? Lebih parah lagi. Hunian minimalis modern yang agak jauh dari pusat kota dengan cicilan 5 tahun setidaknya masih dikatakan realistis untuk kebanyakan kita saat ini. Sisanya? Mereka lebih memilih apartemen, indekos, atau tempat tinggal sewa lainnya karena faktor yang serba salah.

Sisanya, kita terlalu disibukkan dengan kebutuhan sekunder dan tersier demi menjaga gengsi di mata orang lain. Banyak orang beramai-ramai mencicil kendaraan terbaik meski harus mengabaikan kebutuhan utama mereka, tidak peduli mereka akan terjerat riba dan masuk ke dalam lingkaran setan dengan rentenir konvensional maupun digital.

Sudah berapa banyak orang meminjam uang kepada saya pribadi demi melunasi apa yang saya justru tidak punya.

Travel, lifestyle, bahkan popularitas palsu di internet terus memelintir kehidupan kita, membuat kita sadar bahwa target hidup kita sudah tidak begitu memiliki makna di hadapan waktu.

Orang tua kita yang mapan di usia mereka yang masih cukup muda, mereka memiliki waktu yang sangat berkualitas dalam hidupnya. Tidak ada internet, tidak ada gadget, mereka selalu berjalan dan berolahraga, serta melakukan sesuatu yang manual sehingga waktu mereka dapat mereka kuasai.

Hari ini walaupun kita dimudahkan dengan berbagai macam otomatisasi via teknologi yang seharusnya dapat menyingkat waktu kita, justru membuat waktu kita terbuang. Saya pernah menulis artikel tersebut di sini.

Bahkan kita cenderung memilih profesi yang memanjakan gengsi dibandingkan memanjakan masa depan kita. Banyak dari kita menganggap profesi yang ‘ikut-ikutan’ dan ‘tidak normal’ tersebut adalah baki emas yang dapat dengan mudah kita dulang. Positif palsu ini membuat kita menjadi sebuah wayang yang tidak berdaya dipermainkan sang dalang.

Begitu kita sudah menyadari, matahari sudah hampir menghilang jauh di ufuk barat. Kita hanya memiliki sangat sedikit waktu yang tersisa untuk mencari sumber pencahayaan. Lebih parah, kita bahkan tidak menemukan salah satu petunjuk arah kepada sumber cahaya, dan kita dituntut untuk menemukannya sendiri di saat orang-orang ‘normal’ lainnya sudah nyaman terlelap di atas kasur mereka masing-masing.


Kesimpulan

Ali ibn Abi Thalib r.a. berkata, “Barang siapa yang harinya sama saja maka dia telah lalai, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terlaknat, barang siapa yang tidak mendapatkan tambahan maka dia dalam kerugian, barangsiapa yang dalam kerugian maka kematian lebih baik baginya.

Artinya, jangankan seseorang yang harinya lebih buruk dari hari kemarin, kualitas waktu yang sama dengan hari kemarin saja membuat dia dicap sebagai orang lalai.

Pada dasarnya, manusia senang dengan kesibukan, dan pada dasarnya, meskipun masih di dunia, manusia memiliki masa depan. Namun sayangnya, hari ini batu-batu pijakan banyak yang berubah menjadi batu penghalang. Teknologi yang dimaksudkan untuk mempercepat kinerja seseorang justru memperlambat sisanya.

Jadikanlah waktu kita bermanfaat, setidaknya meski tidak bagi orang lain, manfaat tersebut dapat dinikmati oleh diri kita sendiri.

Susunlah prioritas, karena kita tidak ingin target hidup kita meleset begitu jauh dari yang telah kita rencanakan jauh-jauh hari.


—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Kisah Orang Kentut Zaman Rasulullah SAW

    Berikutnya
    Apakah Shalat Mengganggu Waktu Bekerja Manusia?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas