Banyak muslim yang saya yakin pastinya sudah bersahabat dengan sebuah hadits yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat.
Jika kita membaca kembali teks haditsnya, sudah jelas di sana tercantum “sebaik-baik manusia”. Artinya, menjadi bermanfaat dapat mengantarkan kita kepada salah satu manusia terbaik.
Pertanyaannya, mengapa menjadi bermanfaat begitu penting hingga Rasulullah saw., sendiri yang mencamkan penebar manfaat sebagai salah satu manusia yang paling baik?
Seringkali kita mendengar beberapa orang yang mengaku sebagai pekerja kecil, berdemonstrasi dan berteriak-teriak, “Hargailah kami! Hargailah kami!”
Saya mengernyitkan dahi. Sebelum saya secara spontan menghargai mereka, sebuah pertanyaan keluar dari batin saya, “Mengapa mereka harus saya hargai?”
Secara normal dan manusiawi, manusia menghargai manusia lainnya selama ia memberikan timbal balik positif.
Misalnya, saat ada orang yang gigih bekerja, memberikan pengorbanan terbaik, dan masyarakat terkena manfaat positifnya, sudah barang pasti banyak orang akan menghargai pekerja tersebut tanpa ia minta.
Sekarang saat seseorang menginginkan orang lain menghargainya, apakah orang tersebut memiliki sesuatu yang dapat dihargai oleh orang lain?
Bahkan lebih jauh, apakah orang memohon orang lain agar menghargai dirinya itu pandai menghargai orang lain?
Masalahnya saya seringkali mendengar orang-orang yang meminta orang lain menghargai diri mereka ternyata mereka sendiri sangat payah dan buruk dalam menghargai orang lain.
Mereka cenderung menyerang orang lain, kemudian merengek agar orang lain menghargai mereka.
Seperti, beberapa demonstran yang berteriak “hargailah kami!”, ternyata mereka menyinggung dan mengganggu pekerja-pekerja lain yang menurut mereka layak untuk mereka singgung.
Saya pernah mendengar ada demonstran yang mengejek orang-orang yang bekerja dalam ruangan gedung sebagai orang-orang yang tidak peka dan tidak merasakan penderitaan mereka.
Atau saya pernah melihat postingan pembersih jendela gedung yang bertuliskan, “Kami anti bekerja di depan komputer, tanpa ada kami jendela gedung tidak akan bersih!”
Saya hanya geleng-geleng, padahal orang-orang yang bekerja di dalam ruangan gedung dan di depan komputer juga sama lelahnya.
Bahkan tanpa adanya orang yang bekerja di depan komputer, tidak akan ada engineer yang merancang mesin/perangkat yang memudahkan urusan mereka, tidak akan ada yang mengatur keuangan agar para pekerja tersebut mendapat gaji mereka, dan lain sebagainya.
Saya sampai menanyakan, memangnya apa prestasi kerja yang telah dicapai para demonstran tersebut. Hampir-hampir saya ingin melihat KPI/rapor kinerjanya.
Karena orang yang tidak memiliki prestasi kerja dan manfaat yang mereka hasilkan sangat minim, biasanya mereka memang pandai berdrama.
Orang yang terbiasa menebar manfaat akan mendapatkan rasa lelah lebih daripada yang tidak. Maka dari itulah penebar manfaat memahami rasa lelah setiap orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, apa pun pekerjaannya.
Orang yang pandai menebar manfaat pastinya juga turut menebarkan dampak positif kepada orang di sekelilingnya.
Manfaat itu terjadi saat ada objek atau sasaran yang dapat merasakan akibat positifnya.
Misalnya, saat seseorang telah melakukan hal kecil bermanfaat secara konsisten, seperti membersihkan saluran air di lingkungannya, sebagian besar anggota masyarakat di sekitarnya akan menjadi simpati dan memujinya, atau bahkan menjadikannya teladan.
Kehadiran orang-orang yang bermanfaat akan selalu dinantikan oleh banyak orang, dan itu sudah menjadi hukum alam/sunatullah. Formulanya akan selalu begitu.
Hari ini, penjajahan di negara tercinta ini sudah tidak ada lagi. Apakah itu artinya para pahlawan juga ikut tiada?
Nyatanya, masalah demi masalah masih kerap terjadi di negara Indonesia, yang sepertinya jumlahnya nyaris tidak pernah berubah. Masyarakat menantikan orang-orang yang setidaknya dapat meringankan salah satu dari masalah tersebut.
Bagi saya, orang-orang yang berani untuk menyelesaikan problematikan di masyarakat adalah pahlawan tanpa titel. Saya selalu menanti hasil kerja dari orang-orang seperti itu, serta khawatir kehilangan mereka.
Apalagi jumlah para pahlawan tersebut sangatlah jarang, kebanyakan orang hanya mementingkan diri mereka sendiri.
Atau, apakah saya atau kalian dapat menjadi salah satu bagian dari pahlawan tanpa tanda jasa tersebut?
Orang-orang yang telah terbiasa menebar manfaat, pastinya mereka ingin terus konsisten melakukannya.
Orang bermanfaat akan ‘secara ketagihan’ akan terus memperbaiki diri sendiri, mengimprovisasi teknik mereka agar dampak manfaat yang mereka hasilkan semakin dahsyat dan meluas.
Yang artinya, orang-orang yang bermanfaat akan secara otomatis memilah kembali teman-teman mereka. Teman-teman yang kebanyakan hanya bersantai-santai dan cenderung ‘cuek’ atau tidak peka tidak akan masuk ke dalam daftar sahabat orang-orang yang bermanfaat.
Misalnya, penebar manfaat akan menjauhi orang-orang yang senang berkata, “Udah hidup nikmatin aja, jangan dibawa ribet.”, atau “Ngapain sih mikirin orang lain, pikirin hidup kita sendiri aja.”
Sebab perbuatan negatif itu menular. Penebar manfaat tidak ingin ikut terbawa malas dan enggan memperbaiki diri dari pengaruh sebagian temannya ‘yang berracun’.
Dan biasanya, para penebar manfaat akan Allah Ta’ala kumpulkan juga dengan sesama penebar manfaat. Mereka membuat bukan hanya hidup mereka, namun hidup sekitarnya lebih mudah.
Pekerja yang bermanfaat, mereka tidak hanya sekedar menyelesaikan pekerjaan mereka, namun juga memberikan sentuhan-sentuhan ekstra yang dapat menggoreskan senyum dari perusahaan atau pelanggannya.
Maka dari itulah, banyak perusahaan yang hingga ‘mati-matian’ mempertahankan karyawannya yang bermanfaat tersebut dan tidak ingin perusahaan lain memburu dan membajaknya. Perusahaan rela memberikan tawaran gaji atau jabatan lebih kepada karyawan bermanfaat tersebut agar bertahan.
Orang-orang yang bermanfaat juga akan bergabung dengan sendirinya kepada orang-orang lainnya yang sama-sama bermanfaat.
Keuntungannya, orang-orang yang bermanfaat tidak akan pernah sendirian saat mereka sulit. Saat sakit atau memerlukan tunjangan finansial, teman-teman lainnya akan bahu-membahu memberikan apa pun untuk meringankan beban sesama penebar manfaat.
Saat kita membaca kisah orang-orang sukses, hampir semua dari mereka pernah merasakan perjuangan yang sangat tidak biasa.
Contohnya, di saat kebanyakan orang sedang bersantai, bermain, bersosial-media, atau bahkan beristirahat, calon-calon manusia sukses tengah sibuk belajar untuk memperbaiki hidup mereka.
Bahkan mereka percaya dengan petuah “tiada usaha yang mengkhianati hasil”. Di Islam itu sendiri, setiap perbuatan memiliki balasannya, entah positif atau negatif.
Dan balasan tersebut tidak melulu hanya di akhirat, di dunia pun kita bisa mendapatkan balasan dari perbuatan kita. Ingat, Allah Ta’ala berfirman pada ayat terakhir surat al-Baqarah.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya…
(Al-Baqarah: 286)
Setiap manusia, baik muslim maupun kafir, akan mendapatkan balasan seimbang dari Allah Ta’ala berdasarkan apa yang telah mereka perbuat, khusus di dunia.
Banyak muslim yang heran mengapa banyak non-muslim yang sukses. Padahal jawabannya sangat sederhana. Sebab mereka giat, gigih, dan berkumpul di komunitas yang kerap menebar manfaat serta senantiasa memperbaiki diri.
Berbeda dengan non-muslim yang malas dan korup, seperti kebanyakan negara di Afrika, mereka jauh dari kesuksesan. Tidak heran mengapa negara-negara dengan masyarakat yang malas dan enggan menebar manfaat cenderung miskin dan merana.
Jadi balasan di dunia tetap nyata, merata untuk seluruh manusia, baik muslim maupun kafir.
Apalagi para penebar manfaat karena sudah asyik dengan kegiatan positif mereka, mereka tidak lagi memusingkan materi dunia. Tentu saja dunia akan mengikuti orang-orang yang istiqomah/konsisten dalam berbuat baik.
Kalau kita lihat, mengapa negara-negara maju minim korupsi? Mudah, karena masyarakatnya sudah mendapat pendidikan akhlak sedari kecil dan mereka membiasakannya.
Di antara pendidikan akhlak itu adalah kemampuan memberikan rasa aman dan menebarkan manfaat.
Makanya tidak heran banyak sekali besutan teknologi-teknologi yang memudahkan dan bermanfaat, lahir dari negara-negara maju.
Misalnya kita lihat program Microsoft Word atau Excel, pengembang tidak hanya menyediakan ikon-ikon untuk menyederhanakan pekerjaan, melainkan juga shortcut-shortcut yang bermanfaat demi lebih mempersingkat kinerja pemakainya.
Berbeda dengan negara-negara berkembang yang beberapa masyarakatnya merancang teknologi hanya untuk sekedar pamer dan memompa gengsi mereka. Teknologi-teknologi tersebut kebanyakan tidak bertahan lama dan hanya bertahan sesuai tren yang sedang mencuat saja.
Jumlah teknologi yang bermanfaat dari negara berkembang jauh lebih sedikit daripada negara maju.
Dengan sebab itulah, masyarakat yang terbiasa menebar manfaat, akan lahir dari tengah-tengah mereka pemimpin yang gemar menebar manfaat untuk dirasakan oleh masyarakat yang mereka pimpin.
Tentu saja, di negara manapun yang berdemokrasi, seluruh pemimpinnya berasal dari kalangan masyarakat mereka sendiri dan dipilih oleh masyarakat sendiri.
Demokrasi itu sendiri memiliki slogan, “Dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.”
Masyarakat yang senang menebar manfaat pastinya akan peka dengan calon pemimpinnya. Mereka melihat rekam jejak para calon pemimpinnya dan menilai mereka dari skala manfaatnya.
Berbeda dengan masyarakat yang enggan menebar manfaat. Mereka tidak memiliki standar dalam memilih pemimpin. Akibatnya, mereka memilih pemimpin dengan sembarangan, seperti hanya lewat drama di media sosial.
Contohnya, ada calon pemimpin yang mengunjungi pasien di rumah sakit dan masyarakat terharu. Padahal tidak ada yang tahu jika ada kamera profesional di sekelilingnya, dan padahal tidak ada yang tahu apakah ia juga memperbaiki fasilitas di rumah sakit tersebut.
Maka dari itu tidak heran kita temui banyaknya pemimpin-pemimpin korup nan arogan. Para pemimpin tersebut tidak memiliki manfaat yang dapat mereka banggakan, jadi satu-satunya yang dapat mereka banggakan hanyalah gengsi jabatan. Mereka menganggap menakut-nakuti orang lain adalah sebuah prestasi.
Tidak peduli semahal apa pun parfum yang disemprotkan kepada sampah, mereka tetaplah bau dan mengganggu.