Prioritas Sedekah

Beberapa waktu lalu saya menulis artikel yang berbicara apakah sebaiknya kita menyumbang masjid atau fasilitas umum, dan sekarang muncul pertanyaan, “Jika saya menyumbang masjid, ada masjid yang menjadi prioritas sedekah saya kah?”

Saya tiba-tiba terpikirkan sesuatu yang menarik. Benar juga, terlintas dalam pikiran saya beberapa jenis masjid yang selama ini saya jadikan prioritas sedekah namun saya selama ini tidak begitu menyadarinya.

Namun bukan berarti masjid yang tidak prioritas tidak saya berikan sedekah kotak amal, saya tetap bersedekah ke masjid yang bukan prioritas jika hari itu saya khawatir saya tidak dapat bersedekah di masjid itu. Atau, nominal sedekah di masjid prioritas kemungkinan besar akan saya lebihkan daripada di masjid yang bukan prioritas.

Baiklah, berikut lima masjid yang menjadi prioritas sedekah saya. Khusus jika saya ingin bersedekah kepada masjid.


Masjid berfasilitas lengkap

Masjid yang memiliki, atau setidaknya berusaha memiliki fasilitas yang lengkap dan memudahkan menjadi salah satu prioritas saya dalam mencari masjid untuk saya bersedekah kepadanya.

Misalnya, jika saya sedang melakukan perjalanan piknik ke daerah-daerah yang cukup jauh dari pusat kotanya dan cenderung dikelilingi hutan, seperti di pinggiran Bogor, atau daerah selatan Cianjur, saya biasanya melipir ke masjid terdekat untuk melaksanankan shalat.

Saya menyukai masjid-masjid di daerah yang seperti ini sebab atmosfernya yang begitu nyaman dan sejuk, mengingatkan saya kepada masa kecil saya di rumah nenek.

Biasanya saya juga menggunakan toilet untuk buang air, entah buang air kecil atau besar. Saya sangat menghargai jika memang masjid tersebut memiliki toilet yang nyaman, terutama toilet untuk buang air besar.

Masjid yang memiliki fasilitas tambahan seperti toilet, meskipun masih dalam tahap pembangunan, membuat masjid tersebut memiliki komitmen untuk memudahkan jamaahnya.

Para jamaah itu sendirilah yang pada akhirnya mendapatkan manfaat dari fasilitas ekstra masjid.

Begitu pun dengan fasilitas lainnya seperti mukena, karpet, dan beberapa rak kitab. Apalagi jika semuanya rapi. Saya menjadi bersemangat untuk merawat fasilitas-fasilitas itu dengan bersedekah kepada masjid tersebut, kalau bisa saya dapat menyumbang salah satunya seperti mukena dan alQur’an.


Masjid transparan

Saya pernah bertandang ke sebuah masjid untuk shalat Ashar di daerah Pantura Bekasi. Ada hal menarik yang saya temui dari sebuah papan tulis di sisi masjid.

Masjid tersebut menuliskan seluruh pemasukan dan pengeluaran masjid dengan sangat detail. Saya tidak tahu apakah sekretaris masjid atau seorang akuntan atau bukan, namun saya kagum dengan rincian pemasukan dan biayanya. Cantik.

Saya akui, masjid seperti ini sangat jarang saya temui. Kebanyakan hanya mengumumkan jika sebuah masjid mendapatkan pemasukan sekian dan pengeluaran sekian, dan hanya dibahas pengeluaran-pengeluaran inti saja. Dan itu pun hanya terjadi saat sebelum shalat Jumat.

Lebih parah lagi, saya sempat berdiskusi dengan seseorang yang memiliki pengalaman dalam mengelola masjid, bahwa ternyata ada beberapa masjid yang memilih untuk tidak transparan. Pengumuman operasional masjid hanya sekedar pemasukan dan saldo akhir.

Bahkan ada beberapa warga yang berlomba-lomba ingin jadi pengurus masjid agar dapat ‘menikmati’ uang jamaah.

Sekarang, jika sebuah masjid itu sudah memiliki pengurus korup, bagaimana saya dapat mengalirkan uang saya ke masjid-masjid yang masih sangat diragukan transparansinya?

Saya menghargai pengurus masjid yang transparan bahkan hingga dijabarkan pengeluaran sekecil apa pun. Diharapkan dengan mengetahui rincian-rincian tersebut seperti konsumsi listrik dan air, setidaknya saya punya bayangan mengenai operasional masjid dan dapat membantu “menambal” salah satu dari biaya-biaya masjid tersebut.


Masjid publik

Saya memprioritaskan masjid yang dikelola oleh publik, bukan perseorangan. Beberapa masjid ada yang menjadi milik seseorang atau pengusaha sehingga jam operasional masjid tersebut sangat terbatas.

Saya pun cukup menghindari masjid yang berada di kawasan privat yang tidak setiap orang dapat menyentuhnya. Memasuki kawasan masjid tersebut hanya membuat saya merasa tidak aman dan nyaman.

Alhasil, saya lebih memprioritaskan sedekah kepada masjid yang lebih mudah dijangkau banyak orang sebab akan lebih banyak orang yang merasakan manfaat masjid tersebut.

Dalam kasus yang sangat tidak menyenangkan, saya pernah menemui masjid yang dipaksa untuk tutup selepas shalat isya. Beberapa jamaah seakan tidak diizinkan berdiam diri lebih lama setelah shalat sunnah badiyah isya.

Masjid tersebut berulangkali melayangkan pengumuman bahwa masjid akan tutup tepat jam 8 malam, serta menutup gerbang utamanya. Jamaah yang masih ‘terperangkap’ hanya diizinkan keluar lewat pintu samping yang cukup sempit.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu, sebab pemilik masjid privat dapat membuat manajemen masjid apa pun yang mereka inginkan. Hanya saja karena sebab ini, masjid privat tidak menjadi lirikan saya untuk saya sisihkan sebagian dari harta saya.


Masjid 24 jam

Tidak jarang, orang-orang yang menempuh perjalanan malam sangat sulit untuk mencari tempat untuk beristirahat. Kebanyakan orang, termasuk saya sendiri akan mencari warung-warung malam di pinggir jalan yang biasanya memiliki tempat istirahat jika saya sedang ke luar kota.

Saya akan sangat senang jika saya menemukan masjid yang buka 24 jam penuh, meski hanya serambinya saja, agar dapat mempersilakan para pengelana atau musafir untuk beristirahat di terasnya.

Saya pernah tinggal di dekat masjid yang buka 24 jam ini, yang dikunci hanya ruang shalat utamanya saja untuk melindungi kotak-kotak amal. Biasanya jika saya pulang malam, saya menggeser gerbang masjid agar saya dapat shalat isya di serambinya.

Serambinya bahkan memiliki karpet dan jamaah dapat menyalakan kipas dengan bebas.

Pernah suatu malam, saat saya selesai shalat isya di serambi masjid tersebut, ada keluarga dengan dua orang anak yang sedang dalam perjalanan malam dan ingin beristirahat.

Mereka diantar oleh salah seorang pengurus masjid dan ditunjukkan tempat untuk tidur di salah satu pojok serambinya, bahkan diberi selimut.

Pemandangan tersebut tentu saja membuat saya menjadikan masjid-masjid seperti ini menjadi prioritas sedekah saya, sebab manfaat ekstra yang diberikan oleh para pengurusnya.

Sekali lagi, maksud masjid 24 jam itu bukanlah masjid yang tidak dikunci sama sekali. Yang dikunci hanyalah ruang shalat utamanya saja agar terlindung aset masjid dari para pencuri. Sedangkan pengunjung atau jamaah dapat dengan bebas menikmati serambinya, termasuk fasilitas toilet dan tempat wudu.


Masjid berakhlak

Pernah saya temui sebuah masjid yang marbotnya saja kurang memiliki etika. Ia kerap memanggil jamaah dengan suara tinggi dan tidak begitu ramah.

Di lain cerita, saya pernah mendengar seorang warga yang kerap menyapu halaman masjid sebab ia menemukan marbotnya yang malas dan ‘hanya senang bermain pengeras suara’.

Padahal masjid seharusnya menjadi sentral akhlak dan budaya, bukan hanya sebagai tempat ibadah.

Jika sebuah masjid sudah gagal membina akhlak para pengurusnya, bagaimana warga di sekelilingnya dapat menjadi warga yang dapat memberikan rasa aman?

Faktanya, masjid dengan manajemen akhlak yang kurang, memang berada di tengah pemukiman yang sebagian besar warganya tidak menyenangkan. Warga di daerah tersebut yang benar-benar berakhlak mungkin hanya berjumlah kurang dari sepuluh orang.

Warga yang memakmurkan masjidnya sekali pun, shalatnya masih tidak dapat menjaganya dari sifat keji dan munkar, seakan kegiatannya di masjid hanya sebagai budaya dan rutinitas saja. Mereka tidak mendapatkan perbaikan apa pun kecuali hanya sedikit.

Dari sini sudah sangat jelas mengapa saya tidak memprioritaskan masjid seperti ini untuk saya sedekahi.


Bonus: Masjid sosial

Jika ada pertanyaan, “Apakah saya lebih condong bersedekah ke masjid yang sudah mewah, atau masjid yang berada di pedalaman?”

Saya katakan, bisa jadi saya memprioritaskan keduanya, atau tidak memprioritaskan keduanya sama sekali.

Sebuah masjid mewah dapat menjadi prioritas sedekah saya jika bukan hanya karena lima poin di atas, namun juga karena kegiatan sosial dari masjid mewah tersebut cukup tinggi.

Uang jamaah bukan hanya untuk operasional masjid atau anak yatim dan fakir miskin saja, namun untuk mashlahat sosial juga.

Contoh, saya kagum dengan masjid yang ternyata juga memiliki dana untuk memperbaiki jalan umum, menambah penerangan jalan, menambah alat kesehatan untuk klinik sekitar, hingga memiliki anggaran untuk membantu penghijauan dan pemeliharaan alam.

Masjid seperti itu membuat saya ingin bersedekah lebih banyak sebab saya bisa mendapatkan keuntungan sambil menyelam minum air. Sedekah masjidnya dapat, sedekah anak yatim dan fakir miskinnya dapat, dan sedekah sosialnya pun dapat.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Shalat Tarawih Itu Benarnya 8 Rakaat atau 20 Rakaat?

    Berikutnya
    Apakah Non Muslim Itu Kafir?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas