Agama yang saya ‘highlight’ atau saya sorot di sini adalah agama saya sendiri, yakni Islam.
Saya adalah muslim yang insyaAllah taat, maksudnya seluruh kewajiban seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, dan terus menimba ilmu agama insyaAllah terus saya tekuni.
Pertanyaannya, mengapa dapat terpikirkan untuk membuat artikel dengan judul seperti ini?
Sebenarnya ini bermula dari beberapa tahun lalu saat saya menerima laporan bahwa kebanyakan negara yang islami justru bukanlah berasal dari negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Laporan tersebut dibuat oleh para muslim itu sendiri dan pastinya telah memiliki berbagai pertimbangan dan kategori yang lebih matang.
Misalnya, jika kita lihat negara maju seperti Jepang atau negara-negara Eropa, meskipun khamar/minuman keras dan seks bebas sepertinya sudah menjadi lumrah di sana, namun semangat untuk berbuat kebaikan dan saling memudahkan sesama justru lebih tampak di sana.
Padahal syariat untuk menjadi sebaik-baik manusia yang telah berulangkali tertera dalam alQuran dan hadits justru seharusnya paling dijalankan oleh para muslim itu sendiri.
Yang paling menyedihkan, justru orang-orang yang mengaku-aku memahami syariat justru banyak dari prilaku mereka yang seakan jauh dari syariat itu sendiri.
Memang apa saja penjabaran dari ‘penyimpangan’ syariat yang dilakukan oleh orang-orang yang menurut mereka lebih memahami syariat, yang setidaknya saya perhatikan selama ini?
Saya pernah melihat orang yang mengkambinghitamkan agama hanya untuk membenarkan perbuatan malas mereka.
Mereka, yang mengaku paham syariat, justru selalu berlindung di balik syariat bersyukur setiap kali mereka dikomentari orang lain tentang pekerjaan mereka yang tidak tuntas.
Benar, masih sangat banyak muslim yang mengerjakan sesuatu semaunya dan tidak benar-benar tuntas, namun saat dikomplain, mereka menjawab, “Nggak bersyukur banget sih! Masih mending dikerjain!”
Dear, BUKAN seperti itu caranya bersyukur.
Padahal tidak ada kebaikan untuk sesuatu yang dikerjakan setengah-setengah.
Jika banyak muslim di suatu daerah yang selalu mengerjakan sesuatu tanpa sepenuh hati, jangan heran jika mereka dikaruniai pemimpin yang juga tidak melayani rakyatnya dengan sepenuh hati.
Sebuah hadits diriwayatkan oleh Aisyah ra mengenai hal ini, bahwa Rasulullah saw., beliau pernah bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (menyempurnakan) pekerjaannya.”
(HR. Thabrani)
Saya sesekali melihat orang yang telah dilanda kejahatan, seperti baru saja kemalingan, dirampok, atau mendapatkan gangguan dari orang lain, namun ada seorang muslim yang katanya memahami syariat justru mengomentar, “Udah ikhlasin aja.”
Hampir-hampir saya berdoa agar orang yang mengomentari dengan entengnya seperti itu juga mendapatkan insiden serupa seperti orang malang tersebut.
Masalahnya, banyak sekali muslim yang masih berlindung di balik syariat sabar dan ikhlas hanya karena ingin mendiamkan perbuatan jahat seseorang.
Contoh lainnya, ada orang yang ingin melaporkan perbuatan negatif dari seseorang yang memang sudah fatal. Tetapi banyak orang yang tidak mendukungnya justru dengan santainya menjawab, “Udah sabar aja, kasihan jangan dilaporkan.”
Tidak heran jika pada akhirnya banyak sekali orang-orang yang dengan sengaja melakukan kejahatan karena mereka terlindungi dengan orang-orang yang menoleransi perbuatan orang-orang tersebut.
Apalagi kemudian orang-orang jahat tersebut saat tertangkap, mereka mengeluarkan jurus drama andalan dengan berucap, “Saya hanya rakyat kecil…”, atau, “Kasihani saya, saya punya anak istri.”
Bahkan sepertinya di pemerintahan sekali pun, sudah bosan kita mendengarkan alasan pejabat yang terjerat kasus korupsi seperti, “Saya dizhalimi!”
Sekali lagi, saya sendiri sudah tidak heran dengan fenomena seperti itu. Karena pejabat pemerintah yang sering beralasan pun dulunya mereka berasal dari rakyat yang senang berdrama untuk menutupi kejahatannya. Mereka pun didukung dengan orang yang menoleransi kejahatan dengan menggampangkan rasa iba.
Padahal, orang yang menoleransi kejahatan ini sangat dikecam dalam Islam, terkhusus mereka yang mengklaim bahwa mereka tunduk kepada syariat.
“Barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan dan melindungi orang yang berbuat jahat maka dia mendapatkan laknat Allah, laknat orang-orang yang melaknat, laknat malaikat, dan laknat manusia seluruhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima darinya ganti dan tebusan apa pun.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Dear, saya sendiri pernah menjadi rakyat kecil, hanya makan dengan garam bahkan lebih sering berpuasa, tidak memiliki bahkan tidak dapat mengendarai kendaraan apa pun, namun saya tidak pernah mengeluarkan alasan “rakyat kecil” saat saya berbuat kesalahan.
Saya pun dahulu pernah berbuat kesalahan di tempat kerja dan ada yang melaporkan. Namun saya tidak mencari sang pelapor dan saya berusaha untuk tidak mengulangi lagi perbuatan saya tersebut.
Saat saya sedang jalan-jalan, sangat tidak jarang saya menyaksikan perempuan berhijab yang dengan santainya membuang sampah di jalanan, atau di tempat-tempat wisata. Mereka melemparkan bungkus-bungkus makanan semaunya.
Jika digaungkan ajakan untuk menghormati dan melestarikan alam yang nyatanya keindahan alam ini adalah bagian dari buminya Allah Ta’ala, mereka dengan santainya menganggap bahwa itu bukanlah urusan mereka.
Padahal, hablum-minal-alam juga merupakan ibadah, seperti hablum-min-allah dan hablum-minan-nas.
Tidak jarang pula, saat orang-orang yang katanya memahami agama, saat ditunjukkan kepada mereka kerusakan-kerusakan alam akibat perbuatan manusia, mereka dengan acuhnya menjawab bahwa yang terpenting mereka mengerjakan shalat dan kewajiban ubudiyah lainnya.
Mereka sepertinya tidak diajari bahwa menjaga kelestarian lingkungan juga merupakan bagian dari syariat.
“Dan apabila dia berpaling (dari Engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”
(QS. Al-Baqarah: 205)
Sayang sekali, di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia ini, justru masih sangat yang acuh tak acuh dengan berbagai macam polusi, bahkan beberapa kali tragedi rusaknya lingkungan seperti kebakaran hutan dan longsor karena lahan gundul kerap terdengar.
Bukan hanya sekali dua kali saya menemukan air terjun yang sudah kering padahal masih dalam jarak dua bulan dari akhir musim hujan sebab saya temukan bagian atasnya sudah gundul seperti habis dibuka, dan tidak jarang pula saya temukan di atas lahan tersebut masih ada bekas gosong seperti habis dibakar.
Sisanya, banyak juga air terjun yang sudah tidak lagi bening karena di atasnya sudah dialihfungsikan seperti dibangun banyak komplek perumahan atau area komersil lainnya.
Di lain sisi, banyak negara-negara maju yang umumnya mayoritas kafir, justru mereka berlomba-lomba untuk menyelamatkan alam dari kerusakan.
Sangat disayangkan, di negara dengan muslim terbanyak di dunia ini, masih beredar prinsip, “Jika bisa dipersulit, untuk apa dipermudah?”
Meski prinsip itu ditujukan untuk para pejabat pemerintah, namun jangan melewatkan fakta bahwa pejabat pemerintah yang terpilih dulunya adalah rakyat biasa yang hidup di tengah-tengah kita.
Banyak dari kita yang enggan memberikan kemudahan dan menyebarkan manfaat bagi orang lain karena kita menilai kemudahan kemudahan-kemudahan tersebut hanya akan membuat orang lebih malas.
Padahal, orang yang enggan berusaha untuk memberikan kemudahan itulah yang sebenarnya malas.
Banyak orang yang aktivitas hariannya terbantu dengan kemudahan-kemudahan tersebut, yang membuat pekerjaan mereka lebih cepat selesai dan lebih produktif.
Muslim yang mengaku paham agama pastinya sudah sangat sering mendengar hadits berikut,
“Berilah kemudahan dan jangan mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan hadits di atas dapat menjadi acuan umat Islam untuk melakukan berbagai inovasi untuk memudahkan sesama.
Kemudian ada cuplikan hadits lainnya yang juga mendorong para muslim untuk terus memberikan kemudahan,
“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat…”
(HR Muslim)
Rasa aman yang dimaksud bukan sebatas menjaga muslim dari kejahatan seperti maling atau perampok selama 24 jam seminggu penuh.
Perlu diketahui, rasa nyaman adalah bagian dari rasa aman, seperti hadits berikut ini,
Mukmin adalah yang manusia aman darinya. Dan Muslim adalah yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya, dan muhajir (orang yang hijrah) adalah yang menjauhi keburukan. Dan demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, tidak akan masuk Surga seorang hamba yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya (Shahih al-Jami’)
Tetapi sekali lagi disayangkan, banyak muslim yang tidak memberikan rasa aman bagi muslim lain dengan senang membuat pernyataan-pernyataan yang dapat mengeruhkan kerukunan.
Banyak dari muslim yang katanya memahami syariah justru mengganggu orang lain dengan mendebatnya, mengomentarinya, menilainya yang tidak-tidak, padahal yang diperselisihkan itu masih sebatas khilafiyah.
Seperti, qunut dalam subuh, jumlah rakaat tarawih, celana isbal, dan lain sebagainya.
Padahal, sedikit sekali manfaat yang dihasilkan oleh para pendebat tersebut. Karena sedikit manfaat itulah, tidak ada ‘gengsi’ yang dapat ditonjolkan oleh para pendebat, sehingga para pendebat menjadi ujub, keras kepala, dan merasa ilmunya lebih baik daripada yang lain.
Saya sendiri sering mendapatkan tema perdebatan dari orang-orang yang mengharamkan dan menghalalkan musik. Saya lebih memilih untuk mengabaikan itu selama saya menyadari bahwa saya masih bukan ulama, dan masih menimba ilmu dari ulama.
Saya pun hidup berdampingan dengan orang yang menganggap musik itu haram dan orang yang menganggap musik itu halal. Saya tidak pernah mempermasalahkan itu selama masing-masing memiliki pendapat kuat dan masih memegang teguh Al-Quran dan Hadits.
Sebagai seorang muslim, apalagi yang mengaku memahami agama berikut syariatnya, seharusnya menjadi pelopor kebaikan.
Muslim yang mengabaikan pentingnya berakhlak baik akan memfitnah agamanya sendiri seakan agama tidak mengajarkan itu semua.
Ingat, stigma masyarakat itu bukanlah hal yang main-main. Bisa jadi seorang muslim menjadi begitu repot di akhirat karena banyak sekali orang-orang yang mengadu kepada Allah Ta’ala atas persepsi negatif mereka terhadap Islam karena ulahnya yang ‘menistakan’ agamanya sendiri sewaktu di dunia.