Istilah dalam artikel ini:
– IQ : Intelligence Quotient, kecerdasan intelektual atau kecerdasan berpikir.
– EQ : Emotional Quotient, kecerdasan emosional.
– SQ : Spiritual Quotient, kecerdasan spiritual.
Ada sebuah literatur yang saya baca, si penulis menyatakan bahwa IQΒ tidaklah penting. EQ dan SQ lah yang lebih penting.
Sebenarnya saya tidak ingin menyanggah sang penulis karena mungkin ia memiliki alasan yang mana ia jauh lebih tahu dan lebih berpengalaman dari saya. Maka dari itu, saya tidak memiliki hak untuk menyanggah sang penulis.
Namun beberapa orang yang saya perhatikan, mereka benar-benar menganggap IQ sangatlah tidak penting. Mereka pun memiliki dalih yang sama, EQ dan SQ lah yang lebih utama.
Benarkah IQ itu tidak penting?
Alasan dari beberapa orang lebih memilih EQ daripada IQ karena kecerdasan emosional memiliki kaitan erat dengan akhlak.
Jika seseorang memiliki EQ yang tinggi, sudah lebih pasti akhlaknya jauh lebih baik daripada kebanyakan orang.
Begitu pun dengan SQ. SQ ini dapat kita sebut dengan tingkat kesalehan atau tingkat keimanan. Semakin tinggi SQ seseorang, dapat kita asumsikan bahwa orang tersebut lebih dekat dengan Tuhannya.
Sedangkan IQ bagi kebanyakan orang ‘hanya sampai’ kepada tingkat kecerdasan, yang mana drive utamanya adalah otak.
Kebanyakan orang melihat bahwa orang yang berIQ tinggi itu pintar matematika, hafal berbagai macam teori, dan sebagainya.
Inilah yang kemudian orang lebih tertarik kepada EQ dan SQ karena banyak yang menganggap bahwa kebanyakan orang berIQ tinggi itu masih belum matang.
Mereka mengasumsikan bahwa banyak orang pintar yang jahat, yang sombong, yang jauh dari agama. Tidak heran mengapa banyak orang yang memusuhi IQ.
Benarkah IQ seburuk itu?
Pada akhirnya beberapa orang memilih untuk lebih mendalami EQ dan SQ dan tidak ingin bersentuhan dengan IQ.
Padahal, setidaknya bagi saya, IQ itu harus berjalan beriringan dengan EQ dan SQ.
Jika orang mendefinisikan IQ itu hanya ‘mentok’ kepada orang pintar, sebenarnya IQ itu lebih dari itu. IQ adalah orang yang otaknya sudah terlatih untuk memutuskan suatu perkara, yang mana itu bukanlah perkara mudah.
Hanya orang bijak saja yang dapat mengambil keputusan dengan cerdas. Dan IQ memegang kemudi utama di sini.
Orang yang berIQ tinggi memiliki peluang yang lebih tinggi untuk dapat lebih mudah mencerna informasi, lebih mudah mengolahnya, dan lebih mudah untuk menjadikannya hikmah atau pelajaran.
IQ yang tinggi, itu sudah memacu seseorang untuk melakukan banyak hal yang bermanfaat. Seperti meneliti dan menemukan sesuatu yang berguna bagi banyak orang. Apalagi jika kemudian IQ yang tinggi dibarengi dengan pendalaman EQ dan SQ.
Apakah Islam ini hanya mementingkan EQ dan SQ semata? Apakah Islam mengabaikan IQ?
Perlu kita ketahui, bahwa orang yang berIQ tinggi dapat kita sebut dengan “orang cerdas”.
Nabi Muhammad saw., Beliau memiliki sifat Fathanah, yang berarti “Cerdas”, atau “Bijaksana”.
Karena memang IQ ini memiliki drive utama di otak, maka kecerdasan akal menjadi kendali penting dalam pembentukan IQ ini.
Bahkan Allah Ta’ala secara terang-terangan di Al-Qur’an menekankan hamba-hambaNya untuk senantiasa mengasah akal mereka dengan berpikir.
Allah Ta’ala memotivasi para makhluknya yang bernama manusia agar selalu memikirkan ciptaanNya, dengan harapan mereka menjadi tunduk dan bijaksana.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
(QS. Ali Imran: 190)
Kemudian banyak sekali potongan-potongan ayat yang mengajak manusia untuk berpikir mengenai tindak-tanduk dan sebab akibat. Beberapa ayat tentang akal pikiran seringkali diakhiri dengan kalimat, “Mengapa tidak berpikir?” Atau “Itu merupakan tanda-tanda bagi orang yang berakal”.
Artinya, otak yang selalu kita asah dengan berpikir, tentu itu dapat mendongkrak kualitas IQ kita. Dalam kata lain, bisa kita sebut dengan “mengencerkan otak”.
Antara adab dan ilmu, memang sebaiknya berjalan beriringan.
Orang berilmu tanpa adab, sebenarnya bukanlah ilmu yang mereka dapat. Mereka hanya dapat hafal suatu subjek atau teori, dan mereka langsung berani mendebat orang lain. Dan itu sama sekali bukan sebuah ilmu yang mereka dapat.
Orang beradab tanpa ilmu, bagaimana mereka dapat beradab? Darimana ilmu tentang adabnya? Dari siapa mereka belajar adab jika mereka tidak memiliki ilmunya?
Adab dan ilmu, memang sebaiknya berjalan beriringan.
Orang-orang Jepang atau negara-negara maju pada umumnya, sudah terlatih sedari kecil bukan hanya IQ saja, melainkan juga EQ. Mereka tidak hanya berlatih ilmu eksak, namun juga akhlak seperti menjaga kebersihan, bersikap di tempat umum, berlatih menolong sesama, memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan yang sopan.
Jadi tetap IQ tidak mendapatkan pandangan sebelah mata jika kita bandingan dengan EQ atau SQ.
Bahkan Rasulullah saw., pernah mendengar langsung dari iblis bahwa iblis lebih takut kepada tidurnya orang berilmu daripada shalatnya orang bodoh (yang tidak memahami kaidah/rukut shalat).
Iblis berkata, βKarena orang yang sedang sembahyang itu adalah orang bodoh yang mudah sekali diganggu, sedang yang tidur adalah orang alim yang sekali waktu bila ia sadar dari tidurnya dapat menggagalkan usaha merusak dan mengacau usaha saya terhadap orang bodoh ituβ.
Bahkan Allah Ta’ala berfirman di surat yang saya yakin kita telah banyak tahu akan ayat ini.
“Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Al-Mujaadalah: 11)
Menyerap ilmu dari ahlinya, mengasah otak untuk berpikir segala sesuatu, tentu itu dapat meningkatkan IQ seseorang.
Teknologi yang kita pakai, yang memudahkan seluruh urusan dan aktivitas kita sehari-hari, adalah hasil karya dari orang yang berIQ tinggi.
Orang yang berIQ tinggi memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk menjadi bermanfaat daripada yang tidak.
Bukankan menjadi bermanfaat menurut sebuah hadits adalah ciri dari sebaik-baik manusia?
Adapun orang yang menganggap IQ tidak penting, itu kalau seseorang hanya mengasah IQnya semata, tidak ia barengi dengan EQ dan SQ.
Tidak ada salahnya dalam waktu senggang kita mengasah IQ kita dengan membaca artikel-artikel tentang merawat dan melestarikan ciptaan-ciptaan Allah Ta’ala.
Cobalah untuk mencari tahu bagaimana cara Allah menciptakan sesuatu, seperti bagaimana pohon dapat menghasilkan oksigen yang menyegarkan, membuat awan, menurunkan suhu kota, sampai menjaga air-air terjun agar tetap mengalir.
Saat kita kagum dengan itu semua, dengan EQ kita mencoba berbuat baik dengan alam, menanam pohon, dan bersyukur bahwa Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu yang tidak sia-sia.
Kita juga dapat mempelajari ilmu-ilmu dunia dan bereksperimen dengannya. Siapa tahu jika kita niatkan untuk ibadah, dapat menjadi pundi-pundi bekal tersendiri untuk nanti di akhirat.
Tentu hal itu lebih baik daripada orang yang hanya ingin memperdalam EQ namun mereka tidak tahu darimana mereka harus memulai, akibatnya mereka tidak melakukan apa-apa sama sekali selain mengganggu dan mendebat orang lain.
Wallahu A’lam Bishshaawaab