Beberapa non-muslim akan merasa risih jika disebut “Kafir” oleh muslim. Dan sangat disesalkan jika perselisihan semacam ini terus terjadi antara muslim dan non-muslim.
Tetapi jika ditanyakan, apakah non muslim itu kafir? Sebagai muslim tentu saja dengan mantap saya menjawab iya.
Intinya, dalam Islam, non muslim itu sudah pasti kafir. Dan itu sudah menjadi titik yang tidak bisa diganggu-gugat lagi.
Namun jika jawabannya hanya sebatas itu, saya tidak perlu repot-repot membuat artikel ini bukan?
Memangnya apa yang ingin saya bahas di sini? Yang ingin saya bahas di sini justru dari aspek sosial tentu saja. Sebab, matematika saja tidak semudah satu tambah satu, apalagi masalah sosial, antar kehidupan beragama.
Saya hanya ingin membuat artikel ini pendek dan manis.
Dear, kita sepertinya tidak sekali dua kali mendengar bahwa setiap agama pasti memiliki sebutan masing-masing untuk pemeluk lain di luar agama mereka, dan Islam memiliki sebutan “Kafir” untuk itu.
Kafir itu sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi “cover” yang artinya menutup, atau tutupan. Tertutup dari apa? Islam tentu saja.
Lalu tadi sempat saya singgung masalah sosial, apa itu? Apa hubungan “kafir” dengan masalah sosial?
Sebenarnya yang saya benar-benar tekankan di sini adalah lebih ke masalah stigma dibandingkan dengan istilah itu sendiri.
Sama halnya saat kita mendengar sebutan “anjing”, mungkin kebanyakan yang terlintas adalah itu sebutan yang ditujukan untuk menghina. Berbeda dengan Yunani, sebutan “anjing” justru untuk memuji, sebab anjing adalah hewan yang cerdas.
Jadi kembali lagi ke masalah stigma. Sekarang, perhatikan dua kalimat berikut,
1. “Non-muslim adalah kafir.”
2. “Non-muslim adalah kafir!”
Apakah pikiran kita dalam membaca kedua kalimat di atas ada perbedaan intonasi? Orang yang memahami bahasa Indonesia dengan baik pastinya menjawab “iya”.
Kalimat pertama berisikan pernyataan biasa, sedangkan kalimat kedua seakan berisikan seruan atau penekanan. Dan yang telah tertanam di benak kebanyakan orang, setiap seruan atau penekanan yang berisikan kata “kafir” di dalamnya seringkali bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Saya tidak sedang membahas Surat Al-Kaafirun, saya sedang membahas bagaimana penyebutan “kafir” yang telah tertanam di benak kebanyakan orang.
Padahal, “kafir” itu sendiri tidak lebih dari sekedar status, seperti turis asing yang kita sebut dengan “bule”.
Namun sayangnya, “bule” mendapatkan tempat positif di hati kebanyakan orang, sedangkan “kafir” adalah sebaliknya.
Bahkan ada sebagian orang yang menjadi waswas saat mendengar istilah kafir karena dalam pikiran mereka, “kafir” sudah dipadankan dengan istilah “harus diperangi”, “halal darahnya”, dan ungkapan negatif lainnya.
Betul bahwa dalam Islam ada kafir dzimmi yang artinya kafir yang dilindungi, namun sekarang pertanyaannya adalah, apakah sebagai muslim kita mampu untuk menghilangkan stigma kafir di mata masyarakat itu sendiri?
Bahkan menyebut kafir dengan tujuan untuk mengejek kepada orang non-muslim yang tidak boleh diperangi, itu dapat dikategorikan sebagai menzalimi orang kafir.
Rasulullah saw., saja memberikan perhatian untuk masalah ini, ingat hadits Beliau,
βIngatlah, siapa yang mendzalimi seorang kafir muβahad (kafir yang tidak memerangi muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka aku adalah lawannya pada hari kiamat.β
(HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami)
Masalahnya, banyak dari kita yang meremehkan kesehatan mental yang dialami orang lain, padahal saya pernah menjelaskannya di artikel saya mengenai bahayanya krisis kepercayaan.
Muslim yang sering mengejek non-muslim dengan sebutan “kafir”, akan mendapatkan balasan sosial berupa tumbuhnya stigma kafir di mata masyarakat.
Kafir, adalah suatu istilah yang seharusnya hanya sebatas status bagi non-muslim, sudah berubah sebuah maknanya menjadi sangat negatif hanya karena sebagian muslim sering menyalahgunakannya.
Bukankah tidak memberikan rasa aman kepada orang lain adalah sesuatu yang sangat melanggar syariat?
Jangan khawatir, saya insyaAllah muslim yang berusaha untuk taat, bahkan saya tidak menyentuh wanita yang bukan mahram saya. Namun untuk masalah kafir ini, saya mencoba untuk melihat dari berbagai aspek.
Di zaman Rasulullah saw., itu sendiri, Beliau saw., juga bertetangga dengan orang-orang non-muslim alias kafir. Namun apakah Beliau kemudian ‘gemar’ menunjuk-nunjuk mereka dan meneriaki mereka dengan sebutan “kafir”? Saya pribadi belum pernah mendengar itu selama saya mendalami ilmu agama dan kisah Beliau.
Jika ada seseorang yang lebih pantas untuk ditiru oleh muslim itu sendiri, pastilah seseorang itu Baginda Nabi Muhammad saw.
Saya tidak tahu siapa yang diikuti oleh muslim yang senang menunjuk-nunjuk non-muslim dan menyebut mereka “kafir” dengan lantang untuk merendahkan mereka di ranah sosial secara sengaja.
om, kira” apa tanggapan om soal kaum yahudi yang tidak tahu apa-apa tapi dibenci sama semua orang?
Halo, anonim.
Sebenarnya pertanyaanmu masih di luar jangkauan saya untuk saya berikan tanggapan.
Namun perihal “dibenci semua orang” sepertinya masih sebatas asumsi saja sebab saya terkadang masih melihat tayangan-tayangan Amerika yang sepertinya akrab dengan Yahudi.
Bahkan Israel sendiri masih banyak menjalin hubungan baik dengan berbagai negara.
Terima kasih.