Ibadah Di Luar Angkasa

Saya dulu sempat melihat memenya orang Singapura (yang buat memenya muslimah) yang bingung bagaimana cara beribadah seperti shalat di stasiun luar angkasa. Memenya sama sekali tidak merendahkan Islam, hanya berisikan rasa ingin tahu saja.

Karena negara maju, jadi meski yang komentar banyak yang kafir-non muslim, namun tidak ada mengejek keyakinan satu sama lain. Bahkan ada non muslim yang membantu mencarikan jawaban dari seorang syaikh akan permasalahan ini.

Saya sendiri terketuk dan penasaran juga tentang bagaimana para astronaut menyelesaikan permasalahan syariat ini.

Secara, stasiun luar angkasa ISS itu mengorbit belasan kali setiap hari. Artinya, dalam satu hari, pegawai yang sedang ada di ISS melihat matahari terbit dan terbenam lebih dari sepuluh kali.

Bagaimana shalat astronaut tersebut? Apakah jadi sepuluh kali lima waktu?

Atau apakah puasa Ramadhannya dalam sehari menjadi lebih dari sepuluh kali sahur dan berbuka?


Pengaturan default

Allah Ta’ala men-default-kan bumi sebagai tempat bermukimnya manusia.

Logika dasarnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu dan tempat, patokannya selalu ada di bumi.

Misalnya, planet Merkurius mengitari matahari enam kali lebih cepat daripada bumi. Yang artinya, satu tahun bumi adalah enam tahun merkurius.

Ketika ada astronaut yang berhasil mendarat di planet Merkurius dalam waktu satu tahun, apakah usianya akan bertambah enam saat mendarat kembali di bumi?

Misalnya, usia astronaut tersebut adalah 40 tahun. Apabila ia menghabiskan satu tahun di Merkurius, apakah saat kembali ke bumi ia akan menjadi 46 tahun?

Jawabannya tentu saja tidak, ia akan tetap 41 tahun. Tidak akan menjadi lebih tua atau lebih muda.

Begitu pun dengan astronaut di stasiun luar angkasa, usia mereka tetap mengikuti hitungan waktu bumi.

Karena tentu saja, waktu itu hanyalah sesuatu yang relatif. Artinya bisa berubah tergantung di mana kita tinggal. Bahkan di bumi sekali pun, antar daerah memiliki waktu yang berbeda-beda.

Ada yang siangnya lebih cepat, ada yang malamnya lebih cepat, dan ada yang hampir seimbang.

Kembali ke pertanyaan. Karena waktu shalat itu sudah Allah tentukan berdasarkan waktu bumi, bagaimana shalatnya seorang astronaut. Bahkan bagaimana puasanya?


Uji coba kasus nyata

Beberapa ulama mendukung misi dari astronaut muslim karena merupakan pengamalan sebuah ayat alQuran.

Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
QS. Ar Rahman: 33

Meski ada sebagian mufassir yang menyebutkan bahwa ayat tersebut tidak sedang berbicara tentang misi luar angkasa melainkan tentang ketidakmampuan jin dan manusia menghindari takdir Allah Ta’ala meski keluar dari area langit dan bumi, namun kita harus menghormati ulama kredibel yang menafsirkan ayat tersebut sebagai kuasa Allah atas ilmu pengetahuanNya (sulthan) yang Dia berikan kepada jin dan manusia agar mereka dapat menjelajahi luar angkasa yang isinya adalah keindahan ciptaan Allah juga.

Beruntung, ada muslim dari Malaysia yang mendapatkan kesempatan mencicipi suasana di stasiun luar angkasa ini. Karena hal inilah Agensi Luar Angkasa Malaysia mengadakan studi tentang masalah syariat astronaut yang melibatkan 150 ulama dan sarjana Islami.

Perembungan itu menghasilkan sebuah fatwa, yang berisikan tuntunan bagaimana cara beribadah di luar angkasa.

Dirilis dalam bentuk Ms. Word, kalian dapat mengunduh lampirannya di sini.

Karena dokumennya berbahasa Inggris, saya coba akan berikan intisarinya di bagian berikutnya.


Ikhtisar syariat

Seperti yang telah saya tuliskan di bagian pertama, bagaimana pun manusia memiliki planet Bumi sebagai pengaturan default mereka. Dan tentu saja itu telah menjadi salah satu dari ketetapan Allah Ta’ala.

Alhasil, ketentuan waktu shalat astronaut adalah berdasarkarkan waktu bumi tempat ia berangkat.

Jika memang roketnya berangkat dari Jakarta, maka waktu shalatnya harus sesuai waktu shalat Jakarta.

Lalu bagaimana dengan kiblatnya? Kita memahami bahwa agama Islam ini mudah, maka beberapa lapisan kemudahan akan kita ambil selama itu memungkinkan.

Di antara lapisan kemudahan (dari yang paling default hingga yang paling mudah) itu adalah:

  1. Tetap menghadap kiblat, ka’bah di Mekah. Atau setidaknya, menghadap ke arah ka’bah dengan perkiraan.
  2. Jika tidak memungkinkan karena orbitnya terlalu cepat, maka bisa menghadap bumi saja.
  3. Jika masih tidak memungkinkan juga sebab stasiunnya bisa saja berputar ke berbagai arah, maka tidak mengapa menghadap mana pun.

Shalatnya bisa di jamak dan/atau qashar karena menurut dokumen tersebut, astronaut termasuk kategori musafir. Tidak perlu qadha (kompensasi/mengganti shalat) saat tiba di bumi.

Masalah gerakan, jika terhalang oleh rendahnya gravitasi, bisa mengikuti cara shalat orang sakit.

Ada pun puasa, bisa dua pilihan. Bisa lanjut puasa dengan mengikuti ketentuan waktu tempat si astronaut lepas landas sewaktu di bumi. Yang lainnya bisa dengan qadha.

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan keringanan syariat dan memudahkan agamaNya sebagai bentuk kasih sayangNya kepada hamba-hambaNya.


Wallahu A’lam Bishshawaab

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tanya Jawab Seputar TOA Masjid Berisik

    Berikutnya
    Sudah Shalat, Sedekah, Tapi Kok Masih Begini Aja?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas