Semenjak saya memposting artikel saya tentang shalat hajat, saya mendapatkan begitu banyak pertanyaan masuk yang temanya bermacam-macam yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan shalat hajat.
Saya mendengar beberapa keluhan orang lain mengenai masalah hidup mereka yang sangat sulit dan sepertinya sukar untuk mendapatkan jalan keluar, mulai dari masalah lilitan hutang, masalah kesehatan, sampai jodoh.
Intinya, seluruh masalah yang saya dengar tersebut berkaitan dengan rezeki. Sebagian besar mengalami masalah dengan materi, kemudian cinta, lalu kesehatan.
Orang yang mengalami masalah kekurangan rezeki tersebut banyak yang mencoba berbagai cara untuk keluar dari masalahnya, salah satunya via shalat hajat, shalat dhuha, dan bersedekah.
Saya memahami bahwa banyak orang yang begitu dalam kesulitan bahkan hingga hampir putus asa menghadapi masalah hidup, terutama masalah ekonomi yang mereka hadapi.
Saya sendiri pun dulu pernah mengalaminya. Dari mulai makan hanya dengan garam, ayah saya meninggal, saya luntang-lantung sendirian di Jakarta, tidak punya kendaraan, jadi tanggungan keluarga, cuti kuliah karena menunggak dua tahun, dan bahkan hampir tidak dapat membayar uang indekos yang paling murah.
Saya paham bahwa waktu itu solusi pertama yang saya dapat adalah shalat hajat, di mana saya berhasil melakukannya dan uang kuliah saya lunas. Pengalaman shalat hajat saya tersebut dapat dibaca dengan mengklik link berikut.
Kemudian solusi kedua adalah bersedekah, dimulai dari yang paling ringan, hanya bersedekah Rp2000 rupiah per hari jika memang ada. Setelah dari sana pun alhamdulillah taraf hidup saya meningkat dari hari ke hari meski tidak instan.
Saya berbagi pengalaman shalat hajat saya tersebut dan puluhan orang kemudian berdiskusi dan bertanya-tanya mengenai detail. Saya begitu senang menjawab mereka satu per satu.
Namun semakin ke sini saya menemukan sesuatu yang janggal.
Saya tidak tahu, saya hanya merasa orang-orang begitu memusingkan tatacara shalat hajat dan sedekah. Padahal sebenarnya, ada beberapa hal lain yang sebenarnya perlu diperhatikan di luar itu.
Begini, jika seseorang sudah tenang hatinya, seharusnya di saat ia merasa kekurangan ia tidak perlu memusingkan sesuatu seputar sedekah dan shalat hajat.
Maksudnya, ia bisa bangkit melakukan shalat sunah tersebut kapan pun yang ia mau selama diluar waktu yang tidak dianjurkan untuk shalat dan membaca sesuatu yang memudahkannya, tidak perlu memusingkan apakah harus dengan surat ini di rakaat pertama dan surat itu di rakaat kedua.
Saya hanya membaca Qulya (Al-Kaafirun) dan Qulhu (Al-Ikhlas) dan masing-masing saya baca sekali saja tiap rakaat. Kemudian saya bangkit lagi jika ingin, jika sedang tidak ingin ya saya langsung berdoa.
Kemudian sesorang akan paham kapan dan kemana ia harus sedekah tanpa harus diberitahu lagi bagaimana ‘tutorial’ bersedekah dengan baik dan benar. Padahal mungkin di sebelah rumahnya ada masjid, tinggal masukkan saja uangnya ke dalamnya.
Dan terlebih, ia sadar bahwa ada sesuatu yang harus ia lakukan di luar sebatas shalat hajat dan sedekah dengan harapan Allah Ta’ala ringankan masalahnya.
Bahkan mungkin, justru akar masalahnya belum dapat dituntaskan dengan sedekah atau shalat hajat. Apa maksudnya? Coba perhatikan cuplikan hadits berikut,
“…Rasulullah shallallahu βalaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, βWahai Rabbku, wahai Rabbku.β Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.”
(HR. Muslim, no. 1015)
Semoga kita dijauhkan dari harta haram. Aamin Ya Rabbal ‘Alamin.
Atau bisa jadi harta yang selama ini kita dapat, meski pun dengan cara yang halal, namun sebagian itu bukan bagian hak kita, atau dapat dikatakan ‘kelebihan’.
Banyak orang yang bergaji cukup namun selalu dirasa kurang. Bisa jadi apa yang ia dapat sebenarnya tidak seharusnya sebanyak itu.
Contoh, seorang petugas pelayanan diwajibkan untuk memberikan senyuman kepada pelanggannya selama jam kerja. Namun ternyata ia hanya tersenyum di jam-jam pertama kemudian mukanya masam kembali.
Akibatnya beberapa hak pelanggan untuk mendapatkan wajah berseri sebagai bentuk pelayanannya tidak diberikan.
Atau ada buruh pabrik yang mencuri-curi waktu untuk beristirahat dan mengobrol di waktu yang seharusnya ia bekerja, dan ia lakukan bersama teman-temannya dalam waktu yang lama.
Jam kerjanya yang harusnya 8 jam sehari, ia korupsi jadi 4 jam saja. Akibatnya, perusahaan yang telah membayarnya tidak mendapatkan timbal balik yang sesuai.
Dengan kinerja yang buruk tersebut, para pekerja itu ternyata masih mendapatkan gaji penuh yang seharusnya di mata Allah Ta’ala ia seharusnya mendapatkan berkah sebanyak itu.
Dampaknya, ia akan selalu mengeluh kurang karena kesalahannya yang ia tidak pernah sadari.
Saya memahami bahwa kerja itu lelah, namun bukan berarti kita harus beralasan dengan rasa lelah itu untuk mengurangi kewajiban kita.
Saya bekerja lebih dari delapan jam sehari, bertemu klien dan pelanggan saya, melakukan hal kesana-kemari, terkadang hari libur saya masih sering mendapatkan tugas dadakan dari klien saya. Namun saya masih tetap dapat mempertahankan pelayanan saya meski di akhir hari.
Percayalah bahwa Allah Ta’ala Maha Adil dan Maha Menilai. Jika kita ingin rezeki lebih, maka lebihkanlah ikhtiar kita. Menuntut hak yang lebih tanpa mengerjakan kewajiban lebih, itu hanya akan mendekatkan seseorang kepada sifat korup.
Jika kalian sudah sedekah dan shalat hajat secara istiqomah namun masalah kalian tetap ada atau bahkan tidak berkurang, coba pikirkan lagi mungkin ada hak orang lain yang belum kalian tunaikan, atau kewajiban kalian kepada sesama yang belum dituntaskan.
Banyak orang yang merasa kesulitan karena ketidaktahuan mereka dan keengganan mereka untuk mencari tahu.
Beberapa orang mengeluh kepada saya bahwa mereka dikejar-kejar penagih utang karena mereka dengan sengaja meminjam kepada rentenir dengan bunga yang mereka tahu mereka tidak akan dapat mereka bayar.
Kemudian, dengan alasan terdesak, mereka masih meminjam dengan nominal utang yang tidak ada perkiraan sebelumnya. Padahal mereka menyadari bahwa bunga pinjaman itu haram karena bagian dari riba, namun masih mereka lakukan.
Saat saya tanya di mana para teman atau solidaritasnya, mereka juga mengeluh bahwa teman-temannya justru menghilang saat susah.
Say, inilah mengapa penting untuk mencari teman yang tidak cuma dapat tertawa di saat kalian senang saja. Saya kasih tips, orang yang masih mau menasehati kalian saat kalian sedang bergembira biasanya itulah teman yang akan menemani kalian sewaktu susah.
Namun sayangnya banyak orang yang ketika ia sedang bahagia, ia hanya mau mencari teman yang hanya dapat diajak tertawa, maka jangan heran jika teman-temannya lari saat ia susah karena ia hanya menganggap bahwa teman itu harus tertawa bersamanya, bukan membantunya saat ia susah.
Terakhir, berteriak di media sosial pun akhirnya hanya membuat orang lain semakin menganggap dirinya tidak berarti apa-apa.
Jadi, jika kalian sudah rutin shalat hajat dan bersedekah, itu sudah sangat bagus. Namun seimbangkan juga dengan pemenuhan hak dan kewajiban.
Gampangnya, mengapa ada orang yang shalat hajat agar ia dapat lulus ujian namun ia sendiri malas belajar? Sunnatullah itu berlaku sebab akibat karena Allah Ta’ala Maha Adil.
Lihat? Mereka yang ‘kafir’ saja diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala karena kegigihan mereka, mengapa kalian yang ‘lebih beriman’ tidak memiliki ambisi lebih?
Lagipula, orang yang menginginkan rezeki lebih, mereka tidak hanya fokus beribadah hablumminallah saja, hablumminannas dan bahkan hablumminalalam mereka kerjakan.
Sayangnya, kita hanya baru ingin membantu orang saat mereka sudah dalam kondisi susah, itu pun jika kita dapat bantu, bukan hanya berkata, ” yang sabar ya…”.
Cobalah untuk peduli kepada orang lain tanpa harus menunggu mereka susah. Padahal sudah jelas hadits,
“Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”.
(HR Muslim)
Misalnya saat kita berkendara, mengapa tidak untuk mulai mencoba memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna lainnya dengan mematuhi rambu lalu lintas, atau misalnya selalu melaporkan fasilitas-fasilitas umum yang kurang lengkap, atau setidaknya selalu peka kepada orang lain yang dari raut wajahnya terlihat membutuhkan bantuan?
Masalah sedekah pun jika seseorang sudah ahli dalam bersedekah, ia tidak hanya bersedekah kepada masjid-masjid atau yayasan, melainkan mereka juga melakukan pengadaan fasilitas umum seperti membantu menambah biaya untuk membeton jalan, menambah peralatan rumah sakit, atau setidaknya melengkapi peralatan di lingkungan kerjanya sendiri.
Di negara maju bahkan akhlak warganya sudah sampai ke ranah peduli disabilitas, atau bahkan peduli lingkungan. Padahal, menanam pohon itu juga termasuk sedekah.
Tak heran jika banyak orang memilih untuk tinggal di negara maju karena kemungkinan untuk menjadi lebih sejahtera sangat tinggi sebab kepedulian masyarakatnya yang lebih.
Bahkan jika kita memberikan bantuan ekstra, insyaAllah kita juga akan mendapatkan rezeki ekstra yang kita sendiri tidak pernah menyangka akannya.
Misalnya, sebulan sekali kita berikan seperdelapan gaji kita untuk yatim piatu atau fakir miskin, dst. Atau misalnya kita sedang berwisata dan mampir di masjid pedesaan yang kotor dan tua, kita bisa sisihkan rezeki lebih untuk kotak amal atau setidaknya kita ikut bersihkan bagian yang kotornya.
InsyaAllah jika kita terus memudahkan urusan sesama manusia, Allah Ta’ala akan kembali memudahkan urusan-urusan kita. Aamiin.
Wallahu A’lam Bishshawaab