Saya acapkali menyaksikan seseorang yang sedang curhat, namun lawan bicaranya dengan entengnya menanggapi, “Ah, kurang bersyukur aja kali…“
Benar, kejadian itu bukan hanya sekali atau dua kali saja saya saksikan di sekeliling saya. Saya sendiri mungkin belum pernah menerima tanggapan seperti itu dari lawan bicara saya saat saya curhat kepadanya. Namun bukan berarti saya tidak peduli masalah ini.
Beberapa hari lalu, saya melihat sebagian pengunjung yang menemukan situs Anandastoon ini lewat kata kunci yang berhubungan dengan kesehatan mental.
Saya tidak ingat saya memiliki artikel yang membahas khusus masalah ini, kecuali dari kumpulan tips-tips bahagia ala Anandastoon.
Sayangnya, masih banyak dari kalangan masyarakat kita yang sepertinya meremehkan masalah kesehatan mental ini.
Kita sudah mengetahui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia ini adalah muslim. Tetapi justru tidak jarang saat kita berbicara masalah kesehatan mental, mereka balas dengan tameng syariah.
Seperti, “sudah sabarin aja”, atau, “banyak-banyak bersyukur aja”, atau “kurang ibadah kali.”, atau bahkan, “curhat tuh ke Allah aja!”.
Meskipun memang yang mereka katakan tidak ada yang salah, namun yang menjadi perhatian di sini adalah tidak tepatnya penyampaiannya.
Hal ini membuat sebagian orang, terutama dari kalangan rekan saya yang non-muslim seakan bertanya, “Apakah Islam mempedulikan kesehatan mental?”
Syariah itu sendiri dapat berarti “jalan” (syara’a – yasyra’u), atau bisa memiliki arti lain seperti “undang-undang” atau “peraturan”.
Untuk siapa syariat ini? Tentu untuk seluruh manusia tentunya.
Intinya, manusia itu ibarat sebuah ‘produk’ ciptaan dengan berbagai macam fitur yang tiada tara. Syariat ini Allah Ta’ala turunkan sebagai bentuk ‘maintenance’ bagi manusia itu sendiri.
Manusia yang ingin terpelihara jasmani dan rohaninya memang wajib mengikuti syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan.
Apakah termasuk kesehatan mental? Ya, tentu saja.
Allah Ta’ala itu sendiri, sang pemilik hati, di mana perasaan adalah sebuah hasil ‘karya seni’ dari Tuhan yang Maha Agung. Tidak ada yang bisa menciptakan sebuah perasaan atau yang serupa dengan itu selainNya.
Maka memelihara sebuah perasaan itu juga merupakan bagian dari syariat. Bahkan Allah Ta’ala sendiri memberi jaminan bahwa hanya dengan mengingatNya saja dapat membuat hati tenang.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Rad: 28)
Ketenangan hati memiliki hubungan erat dengan kesehatan mental. Jika mental kita sudah sehat, maka ketenangan hati akan lebih mudah kita raih.
Muslim yang baik, terlebih yang mengaku memahami syariat juga harus menjadi bagian dari barisan di garda depan dalam menjaga suasana hati manusia lainnya.
Saya pernah menjelaskan mengapa suasana hati itu menjadi sesuatu yang begitu mahal pada sebuah artikel.
Singkatnya, suasana hati adalah kulit terluar dari kesehatan mental. Jika suasana hati seseorang telah terganggu, kesehatan mentalnya pun juga akan ikut terdampak.
Jika saya tanya, apa fungsi tentara? Benar, menjaga keamanan negara.
Harap kita garisbawahi kata “keamanan” di sini. Maka dari itu apabila seorang tentara bertindak arogan dan semena-mena terhadap orang lain, ia secara langsung dan terang-terangan melanggar etika profesi sebagai sang pemberi rasa aman.
Maka dari itu, muslim yang merasa diri mereka sebagai tentara Allah, wajib memberikan rasa aman kepada manusia lainnya.
Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah saw., Beliau secara terang-terangan menyebutkan rasa aman ini menjadi kewajiban umat Islam untuk menyediakannya. Baik kepada sesama muslim itu sendiri, mau pun kepada non-muslim/kafir yang hidup secara damai.
“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya.”
(HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40)
“Seorang mu’min (yang sempurna) yaitu orang yang manusia merasa aman darah mereka dan harta mereka dari gangguannya.” (HR. An-Nasa’i)
Memberikan rasa aman di sini bukan berarti wajib menjaga manusia dari para penjahat, seperti maling, begal, atau perampok selama 24 jam.
Well, menjaga manusia dari kejahatan besar itu juga termasuk bagian dari rasa aman. Tetapi hal itu sudah menjadi bagian dari tugas penjaga keamanan, dari mulai satpam, polisi, hingga tentara.
Perlu kita catat bahwa rasa nyaman juga merupakan bagian dari rasa aman.
Inilah mengapa banyak perusahaan, baik penyedia layanan barang atau jasa, yang begitu keras kepada para pegawainya untuk memberikan pelayanan terbaik, mulai dari senyum, tanggap, dan mahir menanggapi komplain para pelanggannya.
Seorang pelanggan yang merasa aman dengan pelayanan di sebuah perusahaan, maka kesan positifnya akan tumbuh dan ia berpeluang besar menjadi pelanggan tetap.
Bukan hanya menjadi sekedar pelanggan tetap, pelanggan yang sudah nyaman akan memberitahu rekannya agar ikut menjadi pelanggan juga bagi perusahaan tersebut.
Intinya, pelanggan yang sudah nyaman dengan sebuah layanan, dapat menjadi seorang marketer gratis bagi sebuah perusahaan.
Apa termasuk situs Anandastoon ini? Pastinya. Saya berusaha untuk menyediakan fitur dan artikel terbaik serta berusaha untuk selalu menanggapi setiap komplain pembaca.
Bahkan saya mendorong para pembaca untuk mengirimkan saran dan komplain dengan mengisinya di formulir berikut.
Kecemasan (anxiety) dan ketidakamanan (insecurity) dalam bersosial sepertinya semakin marak semakin hari saya menelusuri internet.
Banyak sekali konten masalah kesehatan mental yang saya saksikan via jejaring sosial.
Konten masalah sosial tersebut tersaji secara halus via meme atau secara terang-terangan via artikel seperti di Quora atau Medium.
Muslim yang baik harus memanfaatkan momentum ini sebagai ladang ibadah. Hati yang sedang terganggu dapat menjadi lahan basah untuk panen pahala, insyaAllah.
Rasulullah saw., sendiri yang menyemangati para muslim untuk menjadi obat bagi hati yang sedang terluka.
“Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah SWT setelah melaksanakan berbagai hal yang wajib adalah menggembirakan muslim yang lain.”
(HR. Ibnu Abbas)
Atau dalam hadits Beliau saw., yang lain.
“Sebaik-baik amal shalih adalah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.
(HR.Ibnu Abi Dunya, Jamiush Shaghir no. 1096)
Maka dari itu sangat kita sayangkan jika ada muslim yang katanya cinta Baginda Rasulullah Muhammad saw., namun enggan mendengarkan keluh kesah orang lain. Belum lagi dengan teganya menuduh orang yang berkeluh kesah tersebut sebagai orang yang kurang bersyukur dan kurang beribadah.
Setiap orang memiliki masalah dan terkadang datang masalahnya dengan tiba-tiba yang dapat membuat motivasinya hilang. Jika motivasi sudah hilang, kebanyakan orang akan menjadi malas untuk berbuat segala sesuatu, termasuk ibadah.
Allah Ta’ala sendiri, yang mana dengan keMahaperkasaanNya tidak membutuhkan ibadah dari hamba-hambaNya, namun Dia masih tetap menyemangati hambanya dengan iming-iming (seperti pahala, ampunan, balasan yang baik, atau surga) agar hambaNya senantiasa beribadah kepadaNya.
Lalu mengapa masih banyak dari muslim itu sendiri yang abai dalam menyemangati dan memotivasi orang lain?
Di satu sisi, banyak orang-orang kafir yang justru seakan lebih meneladani Rasulullah saw., daripada para muslim itu sendiri.
Di negara yang sebagian besar non-muslim seperti Jepang dan sebagian besar negara-negara Eropa, masyarakatnya senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan.
Mereka berlomba menciptakan teknologi untuk membantu kebanyakan manusia, bahkan sebagian dari teknologi tersebut gratis.
Padahal, para muslim itu sendiri yang digembleng oleh Nabi saw., dengan hadits yang sudah sangat terkenal.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)
Tetapi apa yang muslim itu sendiri perbuat agar mereka bermanfaat bagi sesamanya? Apakah harus menunggu bencana atau kesusahan dahulu baru kita tergerak untuk membantu sesama?
Di samping itu, negara-negara maju yang kebanyakan penduduknya kafir tersebut memiliki psikolog-psikolog yang ahli dalam masalah kesehatan mental. Para psikolog tersebut bahkan berkampanye untuk terus berbuat dan saling menjaga kesehatan mental sesama.
Apakah muslim boleh mencerna ilmu tentang kesehatan mental dari psikolog kafir? Tentu.
“Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi)
Jika sebuah ilmu memiliki potensi manfaat yang tinggi, maka sebenarnya muslim lebih berhak untuk mengamalkannya.
Misalnya, di luar negeri ada layanan khusus pencegahan bunuh diri (suicide hotline) yang bersedia untuk mengurangi kasus bunuh diri.
Bunuh diri terjadi karena seseorang sudah putus asa dan tidak lagi ia temukan seseorang yang setidaknya dapat ia ajak berbicara masalah kesehatan mentalnya.
Bahkan sewaktu saya berselancar di Tumblr, ada bot khusus yang berpatroli, memantau postingan yang bertagar #anxiety. Jika bot tersebut menemukan salah satu yang demikian, ada relawan yang siap memberi tanggapan masalah kesehatan mentalnya.
Mengapa hal yang baik ini tidak kita ikuti?
Jika sebuah hati sudah terinfeksi sebab luka yang telah menganga terlalu lama, bisa jadi lama-kelamaan dapat membunuh ‘saraf perasaan’ si empunya hati.
Jika seseorang hanya menanggapi dengan datar masalah seseorang tanpa adanya empati, bisa jadi perasaannya memang sudah ‘mati’.
Contohnya, apabila seseorang selalu dikucilkan oleh masyarakatnya sedari kecil, maka hatinya akan membuat itu menjadi hal biasa. Maka tidak heran jika ada orang yang curhat kepadanya, ia selalu bilang, “Ah, gua lebih parah…”
Padahal, sesuatu yang enteng bagi kita belum tentu enteng bagi orang lain. Dan orang yang selalu mengentengkan masalah orang lain perlu kita pertanyakan juga kualitas kesehatan mentalnya.
Orang yang terbiasa abai dengan kesehatan mental orang lain, bisa jadi dulunya orang lain selalu mengabaikan kesehatan mentalnya.
Tentu saja hal ini berbahaya, sebab ia akan membuat orang lain di sekelilingnya menjadi tidak aman. Kepekaan sosial yang telah hilang akan membuat seseorang senang mengganggu orang lain, entah dengan tangan atau lisannya.
Dahulu sewaktu saya belum bisa mengendarai sepeda motor, banyak orang yang mengejek saya. Apalagi saya adalah seorang pria, yang langsung di-cap ‘payah’ oleh beberapa orang.
Setelah saya terbuka, saya menyadari bahwa yang mengejek saya semuanya berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan teman-teman saya yang berasal dari kalangan mampu justru menyemangati saya untuk menggunakan angkutan umum.
Wajar jika masyarakat menengah ke bawah tersebut mengejek saya hanya karena tidak dapat mengendarai sepeda motor. Mengapa mereka melakukan hal demikian? Sebab mereka tidak lagi memiliki sesuatu yang dapat mereka banggakan selain dari kemampuan mereka mengendarai sepeda motor.
Atau bisa jadi karena masyarakat menengah ke bawah kebanyakan sudah bosan mendapatkan pandangan sebelah mata karena status sosial mereka. Jadi mereka merasa, mengejek orang dapat menghibur mereka dan membuat mereka seolah-olah superior.
Saya pun pernah menjadi masyarakat menengah ke bawah. Namun alhamdulillah Allah Ta’ala telah melindungi saya dari perihal merendahkan orang lain.
Namun inilah pentingnya menjaga kesehatan mental. Banyak orang yang meremehkan kesehatan mental karena keegoisan mereka yang sudah terlampau tinggi.
Mereka berkata, “Ah, ngapain ngurusin begituan, gua aja lagi susah.”
Padahal, bisa jadi seseorang mendapatkan kesulitan hidup yang seperti tanpa akhir disebabkan ulah mereka sendiri yang abai dalam mempedulikan kesehatan mental orang lain.
Ingat, Rasulullah saw., sudah menegaskan hal ini dalam hadits beliau.
“Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya selama hamba itu menolong orang lain.”
(Hadits Muslim, Abu Daud Dan Tirmidzi)
Wallaahu A’lam Bishsawaab.