Dari mulai awal tahun, muslim seantero dunia termasuk di Indonesia geger dengan peristiwa menghijaunya daerah Al-Makkah Al-Mukarramah setelah turunnya hujan lebat yang sangat jarang terjadi di daerah tandus namun mulia tersebut.
Huru-hara serempak terjadi dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, terutama dari jagad maya. Di saat media di Indonesia terbanjiri dengan kata kunci “Mekkah Menghijau”, pada waktu yang sama masyarakat Pakistan pun mendapatkan fair share akan kehebohan ini.
Apa yang membuat memicu perkara yang memacu kepanikan tersebut? Bukankah hal yang bagus jika lahan tandus menjadi hijau?
Pemicunya adalah, foto-foto Mekkah menghijau yang beredar itu memiliki deskripsi atau keterangan berupa sebuah hadits yang berbunyi,
βHari kiamat tidak berlaku sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai.β
(HR Muslim)
Pantas saja, kegegeran tidak terjadi karena Mekkah yang tiba-tiba menghijau, melainkan karena sebuah hadits yang mengiringi caption foto tersebut.
Apalagi yang namanya hadits, pasti bersumber dari yang mulia Baginda Rasulullah saw., yang mana kebenarannya sudah tidak perlu kita pertanyakan lagi.
Lalu bagaimana menyikapi tanda kiamat ini?
Saya ingat beberapa tahun lalu, Indonesia dikejutkan dengan suara misterius dari langit. Suara tersebut kemudian langsung mendapatkan persepsi dari masyarakat sebagai sesuatu yang mirip sangkakala.
Huru-hara yang terjadi juga mirip seperti ini, pada waktu itu.
Atau hitung waktu yang lebih mundur sedikit, ramalan kiamat 2012 juga ternyata sukses membuat kepanikan lebih heboh lagi, karena yang terdampak adalah seluruh dunia, agama apa pun.
Saya pernah sangat takut dengan terjadinya kiamat, apalagi jika menemukan tanda-tanda tersebut. Namun semakin ke sini, saya bahkan tidak lagi peduli dengan ‘tanda-tanda’ kiamat tersebut.
Namun bukan berarti saya menampik hadits-hadits tanda kiamat tersebut. Saya masih percaya seutuhnya tentang turunnya Nabi Isa as., Dajjal, Yajuj & Majuj, keutamaan 10 ayat pertama surat al-Kahfi, dst.
Saya hanya lebih berfokus kepada apa yang menjadi tugas saya di dunia ini. Jadi saya mencoba untuk tidak terdistraksi oleh rumor apa pun.
Setelah saya pikir kembali, rasa takut saya akan kiamat lumayan tidak berdasar. Di antara ketakutan saya tersebut adalah:
1. Cita-cita dunia saya di masa depan yang mungkin tidak akan tercapai.
2. Terbayang kengerian saat seluruh dunia yang gelap terguncang dan hilangnya fungsi seluruh barang elektronik.
3. Saya masih sangat nyaman dengan apa yang saya miliki saat ini dan belum siap untuk berpisah.
Jika berbicara kiamat, sebenarnya sudah banyak sekali terjadi di antara kita. Namun sayangnya banyak dari kita yang sepertinya tidak peduli dan harus menunggu tanda-tanda yang ‘besar’ terlebih dahulu.
Bukankah kita sudah tahu bahwa adanya perlombaan membangun gedung-gedung tinggi adalah salah satu tanda kiamat?
Atau usia-usia manusia yang bertambah panjang? Waktu yang semakin cepat? Jarak yang jauh dapat kita tempuh dalam sekejap?
Jika sumber haditsnya bukan termasuk hadits palsu, maka semua yang saya sebutkan di atas adalah telah sah menjadi tanda-tanda kiamat. Namun ke mana saja kita?
Rupanya mungkin sifat individualistis yang bertabur rasa ego yang tinggi telah menyumbat telinga dan menutupi mata sebagian (besar) orang dalam membaca itu semua.
Lagipula, banyak hal-hal kecil yang seharusnya lebih kita khawatirkan daripada memusingkan tanda-tanda kiamat tersebut.
Bisa saja besok terjadi gempa bumi dahsyat? Atau bisa saja besok terjadi tsunami, gunung meletus, banjir bandang, kebakaran besar, atau yang paling kecil berupa kecelakaan seperti terjatuh atau tertabrak kendaraan?
Jadi mengapa harus merisaukan sesuatu yang masih sangat jauh di seberang pulau dan mengabaikan segala sesuatu yang telah jelas tersinari matahari tepat di hadapan kita langsung?
“Digoreng dadakan”. Begitu kah kualitas ibadah orang-orang yang tiba-tiba takut kiamat?
Saya sendiri bukanlah orang yang ahli ibadah, dan saya sama sekali tidak menuduh orang yang takut kiamat adalah orang yang kurang beribadah.
Namun yang saya tekankan di sini adalah, mengapa sebagian dari kita harus menunggu tanda-tanda kiamat dahulu baru memboost kembali kualitas ibadahnya?
Kalau mereka ingin jujur, mungkin orang-orang yang mendadak taat saat mendengar tanda-tanda kiamat bukanlah orang-orang yang murni beribadah karena takut kepada Allah Ta’ala, melainkan karena takut dengan tanda-tanda kiamat tersebut.
Orang yang kualitas ibadahnya bagus, insyaAllah hatinya akan menjadi lebih lembut dan peka kepada ciptaan-ciptaan Allah yang lain.
Saya pernah membahas masalah perubahan iklim (climate change) beberapa saat lalu.
Mudahnya, saat pepohonan banyak yang hilang dan muslim sudah tidak peduli dengan itu, secara sunnatullah suhu bumi akan semakin panas karena sedikitnya penguapan air yang dapat mengikat panas. Dan penguapan tersebut salah satunya dilakukan oleh pepohonan yang kita kenal dengan evaporasi.
Akibat panas bumi yang menyebar, es di puncak gunung dan di kutub akan mencair. Mungkin kita sudah memahami bahwa dampaknya adalah naiknya permukaan laut.
Tetapi dampak lainnya yang tak kalah mengerikan adalah lebih seringnya terjadi hujan. Secara sunnatullah pula, saat Bumi semakin panas dan air laut menjadi berlimpah karena mencairnya es kutub, penguapan air oleh matahari semakin intens.
Uap air akan semakin sering berkumpul di langit yang mengakibatkan semakin tinggi peluang hujan untuk turun dan badai untuk terjadi.
Maka dari itu mungkin tidak heran jika peristiwa menghijaunya Mekkah karena salah satu faktor ini, membuat hujan lebih sering terjadi di tanah Arab.
Sekarang, bagi yang merasa takut akan tanda kiamat “Mekkah Menghijau”, kapan mulai memperbaiki kualitas ibadah yang bukan hanya “hablun minAllah” saja, tetapi juga “hablun minan-nas” dan “hablun minal-alam”nya?
Pastinya, bukan ranah kita untuk menilai apakah suatu kejadian merupakan tanda kiamat atau bukan.
Kita selalu tunduk dengan ilmuwan dunia, namun kenapa kita selalu berusaha mendahului ilmuwan agama yang kita sebut dengan “ulama” tersebut?
Biarlah mereka yang menentukan. Sebaiknya memang kita hargai jerih payah mereka dalam mendalami seluruh aspek keilmuwan agama di saat kita mungkin tengah bersantai.
Jika kalian lihat, tidak apa meski lewat Google selama sumber dan ulamanya terpercaya, berdasarkan keputusan beberapa ulama, peristiwa Mekkah menghijau bukanlah salah satu tanda kiamat besar, setidaknya belum.
Alasannya karena belum permanen dan belum satu tanah Arab. Baru sebagian kecil saja, itu pun hanya di Makkah Al-Mukarramah saja.
Sama seperti hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa tanda-tanda kiamat adalah semakin maraknya pembunuhan. Bukankah dari tahun seribuan masehi sudah sangat banyak terjadi pembantaian? Ingat tragedi Andalusia?
Jadi kembalikanlah kepada yang memiliki wewenang untuk mengolah hadits. Kita tidak memiliki hak selain menimba ilmunya saja.
Lagipula, dari sekian banyak hadits-hadits yang menyemangati kita untuk menyongsong kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik, mengapa justru hanya fokus kepada hadits tanda-tanda kiamat saja?
Wallahu A’lam Bishshawaab