Oke, meski judulnya “di Usia Lanjut”, tapi usia saya waktu belajar sepeda motor itu ‘baru’ 25 tahun. Tapi biasanya memang orang Indonesia sudah mahir mengendarai sepeda motor bahkan di usia mereka yang masih ‘dini’.
Maka dari itu saya pilihkan padanan kata seperti itu di judulnya.
Dan bisa jadi artikel ini adalah sekuel dari artikel lalu yang berbicara tentang hikmah tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi saya jamin poin-poin yang saya bahas kali ini akan jauh berbeda.
Sejujurnya ini yang saya rasakan sendiri beberapa hal positif ketika saya dapat mengendarai sepeda motor di usia ‘lanjut’ jika saya bandingkan dengan -seandainya- saya sudah bisa mengendarainya dari semasa sekolah dulu.
Lima hikmah yang langsung berdampak pada diri saya adalah,
Saya sudah lebih dari tiga tahun bisa mengendarai sepeda motor per tanggal artikel ini. Juga faktanya, saya bahkan sudah banyak melanglangbuana dengan sepeda motor yang saya beri nama Pirikidil ini hingga ke Majalengka dan Lampung.
Total sudah lebih dari 30 ribu kilometer saya habiskan dengan si Kidil, apabila saya hitung dari kunjungan terakhir ke Curug Dengdeng.
Itu hanya sebatas info, yang bisa kita tarik kesimpulan bahwa kebanyakan orang sudah menganggap saya mahir mengendarai sepeda motor.
Namun secara psikologis, manusia terkadang teringat masa lalunya secara tiba-tiba, tak kenal waktu dan tempat.
Sebagian dari kita sesekali teringat kejadian masa lalu kita, seringnya yang tidak menyenangkan, tepat sebelum kita tidur malam. Kejadian seperti itu bahkan bisa jadi pernah membuat kita sulit tidur hingga depresi.
Atau saat di jalan, entah saat mengemudi atau menumpang, pikiran tersebut tak segan untuk mampir dan ‘menghantui’ kita sepanjang perjalanan.
Saya pun sama, beberapa kali saat saya sedang menyetir, terbayang saat-saat di mana saya masih tidak dapat mengendarai sepeda motor. Hingga saat ini, saya masih menganggap dapat mengendarai sepeda motor seakan seperti mimpi.
Setiap saya sadar hal itu bukan mimpi, setiap itu juga saya berucap syukur, walaupun sudah lebih dari tiga tahun dan lebih dari 30 ribu kilometer saya berkeliling dengan sepeda motor.
Sensasi rasa syukur itulah yang mungkin tidak akan saya dapat seandainya saya sudah mahir mengendarai sepeda motor saat masih sekolah dulu.
Waktu itu memang saya menginginkan sepeda motor besar atau kita sebut dengan moge (motor gede). Namun teman saya yang mengajari saya tidak setuju karena lebih baik belajar yang matik agar lebih mudah.
Hingga kini, sepeda motor saya masih berjenis matik. Saya terkadang masih ingin merasakan moge tetapi saya tidak menuntut itu.
Saya juga tidak menuntut orang lain yang tidak dapat mengendarai sepeda motor agar cepat-cepat belajar, apalagi sampai meremehkannya. Untungnya, saya pernah dalam posisi itu dulu.
Sebab pernah mengalami suatu hal, seseorang jadi mengerti bagaimana rasanya di posisi tersebut.
Di luar itu, sempat terlintas saya menginginkan untuk bertemu orang-orang yang di usia ‘lanjut’nya, terutama pria, yang tidak dapat mengendarai sepeda motor juga, terkhusus mereka yang mendapatkan cibiran dari orang sekitarnya seakan tidak dapat mengendarai sepeda motor itu adalah sebuah aib, supaya dapat menghibur mereka.
Masalah ini hanya kita temukan di negara berkembang, tentu saja karena negara maju sudah memiliki transportasi publik yang bukan hanya memadai, namun juga dapat diandalkan. Jadi di negara maju, tidak memiliki kendaraan pribadi pun tidak begitu masalah.
Saya masih ingat bagaimana pertama kali merasakan berkendara di jalan raya ibukota yang bermacam kondisinya.
Karena masih baru, jadi saya masih belum ‘berani’ melanggar peraturan lalu lintas, terutama menerobos lampu merah.
Terkadang, saya menjadi satu-satunya pengendara sepeda motor yang berhenti di lampu merah, saat pengendara lain menerobos. Hanya ada saya sebagai pengendara roda dua, sisanya kendaraan roda empat di belakang saya.
Tidak ada manusia yang terbiasa melakukan suatu hal jika tidak ia mulai sekali dan menjadi terus-menerus.
Tidak ada koruptor yang langsung korupsi besar-besaran. Pun tidak ada pengendara yang langsung dengan santainya melanggar aturan lalu lintas semaunya secara tiba-tiba.
Semuanya pasti ada faktor awal mula dan faktor berkesinambungannya terlebih dahulu.
Saya akui, akhir-akhir ini kualitas saya mematuhi peraturan lalu lintas agak sedikit merosot jika saya bandingkan dengan awal-awal saya berkendara di jalan raya.
Beberapa lampu merah sudah saya terobos, kebanyakan lampu merah pelican crossing saat sedang tidak ada orang menyebrang. Sedangkan untuk lampu merah persimpangan dan putar balik, saya akui melanggarnya sekali dua kali, namun dengan frekuensi yang jauh lebih jarang.
Semoga kualitas mematuhi peraturan saya tidak lebih merosot lagi. Tetapi saya masih sering menjadi pengendara sepeda motor satu-satunya yang berhenti di lampu merah saat yang lain melanggar, terutama saat malam hari.
Hanya ada saya, dengan sisanya kendaraan roda empat yang berhenti.
Saya belajar sepeda motor di tahun 2020. Dan tak lama dari sana saya langsung ‘membalas dendam’ hasrat saya bersepeda motor yang ingin saya lampiaskan dari lama.
Saya berpikir, mengapa saya harus bisa mengendarai sepeda motor jika jarak yang saya tempuh hanya sebatas rumah dan kantor? Banyak rute angkutan umum yang dapat menggantikan akomodasi perjalanan saya.
Selang beberapa hari saya belajar sepeda motor, saya langsung ke Puncak Bogor dari Pulogadung Jakarta. Beberapa minggu kemudian saya ke Majalengka, ke Pantai Sawarna, bahkan hingga ke Lampung.
Selang beberapa bulan, saya menjadi pimpinan touring kantor dengan para karyawan.
Saya terkadang bertanya, mengapa saya senekat itu?
Air yang sudah tertahan lama akan tertumpah ruah saat sumbat terbuka, sebelum akhirnya mengalir tenang kembali.
Mungkin saya akan berpikir dua kali jika saya akan kembali ke Majalengka dengan sepeda motor. Saya bukan ‘anak motor’ jadi besar peluang saya akan menggunakan bus.
Ambisi saya dalam berkunjung ke tempat yang jauh dengan sepeda motor sudah berkurang frekuensinya, tetapi bagi saya itu masih jauh lebih baik daripada andaikata saya sudah dapat mengendarai sepeda motor semenjak jauh-jauh hari.
Di Indonesia, pria yang tidak dapat mengendarai sepeda motor terhitung minoritas, tetapi mereka bagaimana pun berwujud dan hidup di tengah-tengah kita.
Kita jarang mengetahui keberadaan mereka karena untuk apa juga tujuan mereka berkoar-koar tidak dapat mengendarai sepeda motor? Beberapa dari mereka mungkin sudah cukup ‘tersiksa’ dengan gosip orang-orang di sekeliling mereka.
Di antara mereka juga ada yang ingin mencoba belajar mengendarai sepeda motor, namun lagi-lagi secara psikologi mereka malu dan khawatir dengan itu.
Bayangan mereka, adalah belajar di lapangan dengan anak-anak kecil yang belajar hal serupa. Rasa malu saat mereka terjatuh mungkin akan lebih menempel apalagi jika menjadi tontonan warga satu kampung.
Dan sekali lagi, untungnya karena saya pernah berada di posisi itu, saya memiliki kuasa untuk berbagi bagaimana masa-masa saya awal mula mengendarai sepeda motor.
Harapannya, semoga tulisan dari pengalaman saya itu dapat menekan rasa khawatir tersebut. Manusia biasanya lebih berani saat ia tahu bahwa ia tidak sendiri.
Tips dari saya jika ingin belajar sepeda motor, tidak perlu khawatir dengan keahlian ini itu, seperti keahlian menyeimbangkan, mengalkulasi, dst. Jangan khawatir, no skill required. Sepeda motor kalian dengan pintarnya akan seimbang sendiri meski kecepatan rendah.
Belajar sepeda motor bukanlah belajar sebuah keahlian, melainkan belajar untuk mengatasi rasa gugup.
Mengapa banyak orang yang menganggap saat seseorang jatuh ketika belajar sepeda motor adalah tanda sudah akan mahir?
Mudah, karena rasa gugup mereka sudah berganti dengan rasa kesal ingin cepat bisa saat mereka terkena rasa kejut dari pengalaman terjatuh mereka sewaktu belajar.