Saya ingat dulu sewaktu saya SMA, seorang teman saya menguji saya dengan sejumlah pertanyaan, seperti berikut:
“Apa warna papan tulis?” Saya jawab putih.
“Apa warna tulang?” Saya pun jawab putih.
“Apa warna yang melambangkan kesucian?” Saya jawab putih.
“Apa warna seragam sekolah kita?” Saya kembali menjawab putih.
“Sapi minum?”
Saya nyaris menjawab susu. Padahal sebenarnya jawabannya adalah air.
Hampir setiap orang pasti terkecoh dengan pertanyaan terakhir. Kemudian beberapa tahun kemudian saya berpikir untuk sedikit meneliti fenomena unik otak, yang mengapa dipilih jawaban “susu” atas “air” untuk pertanyaan terakhir hanya karena susu berhubungan dengan warna sebelumnya yang telah disuntikkan melalui banyak pertanyaan masuk. Yang pada kasusnya di sini adalah warna putih.
Pertanyaannya adalah, mengapa pertanyaan sesimpel “Sapi minum apa?” masih banyak yang salah dalam menjawab?
Ini adalah fakta yang menarik mengenai bagaimana cara otak kita bekerja. Balik lagi ke pertanyaan di atas, sebenarnya otak kita “tidak” terkecoh untuk menjawab susu. Itu adalah hal yang normal, otak sebenarnya sudah beradaptasi dengan cepat via asumsi-asumsi yang telah ditanamkan.
Di sinilah mengapa banyak orang yang sulit “move on” dari apa yang telah diyakininya selama bertahun-tahun, kecuali orang yang dapat memberanikan diri untuk membalikkan pikiran dari “susu” menjadi “air” sebagai minuman sehari-hari sapi. Well, sikap yang berani inilah yang disebut dengan “Berpikir kritis”.
Cara kerja otak yang unik ini sebenarnya menjadi jawaban mengapa banyak orang yang bertalenta tampil di hadapan kita semua. Mengapa pianis sangat piawai dalam memainkan tuts-tuts piano dengan kedua tangannya? Mengapa pelukis begitu ahli dalam mengayunkan kuasnya? Mengapa programmer yang sudah master begitu handal dalam menemukan pemecahan masalah algoritmanya?
Disuntikkan, itu salah satu kata kuncinya. Otak mereka disuntikkan ritme-ritme merdu dari aktivitas mereka sendiri. Tidaklah heran mengapa timbul sebuah peribahasa, “Ala bisa karena biasa” sebab itu memang kuncinya.
Tidak percaya? Baiklah, kalian dapat mencobanya sendiri saat ini di gadget yang sedang kalian tatap. Ada pesan masuk atau Email yang harus dibalas? Atau tugas kantor di komputer yang harus diselesaikan? Bagaimana cara kalian mengetik teks-teksnya? Apakah kalian masih terbata-bata dalam membaca letak huruf di keyboard kalian?
Saya melihat kebanyakan kita mengetik dengan begitu lancar, bahkan meski sedang berada di atas kendaraan yang melaju kencang sekalipun. Saya yakin kita sudah dapat mengetik dengan mata tertutup dengan kesalahan ketik yang sangat sedikit atau bahkan nihil, seperti halnya saya yang sama sekali tidak melihat papan ketik saat menulis artikel ini.
Ritme-ritme yang beraturan terus kita ulang setiap saat. “Diasah”, begitu ungkapannya. Itulah mengapa ketika kita mengetik di atas perangkat keras dan gadget kita, kita tidak lagi meraba-raba di mana letak huruf yang berada di keyboard QWERTY satu per satu. Otak kita telah menyimpan ritme-ritme ketikan kita secara rapi sehingga kita tidak lagi mengasah aktivitas tersebut melainkan kita sudah otomatis digerakkan oleh otak kita sendiri.
Begitu pun ketika kalian mengikat tali sepatu, mengendarai kendaraan kalian, mengoperasikan perangkat lunak, semua seakan mengalir begitu saja tanpa harus belajar mengenai materi yang sama setiap hari atau mengoperasikannya secara tersendat-sendat. Pada akhirnya, kita akan mahir dengan sendirinya selama kita rajin mengulang-ulang ritme ke otak kita.
“Tidak ada bakat tanpa kerja keras”. Begitu sebuah kata bijak berbunyi, dan itu memang benar adanya.
Para pianis dahulu mereka hanya bisa menekan tuts dengan satu jari, karena mereka terus menambah ritme-ritme setiap saat, terus berkembang seiring perjalanan waktu, maka hasilnya adalah kedua tangan yang bergerak sendiri dalam mengalunkan sebuah musik, kegiatan tersebut telah tersetel otomatis oleh otak mereka, membuat mereka menjadi seperti wayang di mana dalangnya adalah otak mereka sendiri.
Hal ini memang tidak pernah kita sadari, namun mulailah melakukan sesuatu dan merutinkannya setiap hari dengan hati yang gembira karena perasaan hati yang positif akan membantu kita dalam memberikan asupan ritme-ritme yang baik bagi otak.
Waktu menjadi terasa begitu cepat ketika kita telah beraktivitas dengan otak kita yang mengendalikan seluruh gerakan-gerakan kita sepanjang hari. Hal ini juga menjadi jawaban mengapa kita tidak dapat mengingat secara detail setiap aktivitas kita karena memang sebenarnya bukan kita yang melakukan aktivitas tersebut, melainkan otak kita. Jadi hal tersebut bisa menghemat memori otak bukan?
Namun perlu diketahui, tidak ada sistem “ahli dalam semalam” dalam menguasai suatu bidang. Karena otak kita perlu mengisi memorinya untuk beradaptasi dengan aktivitas-aktivitas rumit. Inilah mengapa seseorang perlu penjabaran-penjabaran mengenai apa saja langkah-langkah yang harus ia ambil agar menjadikannya ahli ketika semua langkah itu sudah otomatis berada “di luar kepalanya”.
“Rajin, kontinu (istiqamah), dan sabar”, polanya hanya berputar-putar di lingkaran itu saja.
Sekarang saya tanya, berapa kali kalian jatuh saat belajar naik sepeda? Apakah perasaan takut jatuh masih ada hingga saat ini? Mungkin sebagian kecil iya, dan itu pun sangat sedikit saya yakin, sedangkan sisanya bahkan sudah sangat mahir sehingga tidak takut lagi dengan adanya risiko kecelakaan. Betapa hebat asupan ritme yang kalian susupkan ke otak kalian bukan?
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menundukkan otak untuk setiap aktivitas-aktivitas manusia, makhluk ciptaanNya.
Jadi hari ini, mulailah bergerak, karena setiap orang punya hobi, karena setiap orang berhak maju dengan hobinya selama itu positif dan bermanfaat. Teruslah kembangkan ritme-ritme, ingat bahwa ada pepatah yang berkata, “Usaha takkan pernah khianati hasil.”
Bahkan hewan pun akan memiliki tingkah yang sama jika mereka dilatih untuk membiasakan sesuatu. Seperti halnya kucing yang kita arahkan ke toilet untuk membuang kotoran, maka kucing tersebut akan mencari toilet setiap kali mereka hendak membuang kotorannya. Begitu pun dengan hewan lain yang kita latih untuk melakukan ritme-ritme tertentu dengan rajin dan sabar.
Tapi ingat, sebagai manusia, kita haruslah tetap kritis karena kita tidak ingin ritme yang kita lakukan justru membuat kita menjadi beranggapan “sapi minum susu, bukan air” atas rutinitas yang salah. Berpikirlah mengenai setiap kejadian, sebab itu membuat kita menjadi cerdas dalam memilah mana ritme yang bermanfaat atau memiliki timbal balik yang positif untuk diri kita, dan mana ritme yang tidak.