Well, selama ini saya bikin artikel jalan-jalan sebanyak gambreng, tidak ada satu pun dari artikel-artikel saya itu yang menggunakan kendaraan pribadi. Kalau nggak ngangkot, ya… manfaatin temen hehe (bensin makan plus tip dari saya kok hahah). Bukan hanya tidak punya kendaraan meski hanya sepeda motor, saya bahkan nggak bisa naik motor. Ehm, aib ya? Tapi kenyataannya demikian kok.
Apa alasannya saya sampai seblangkotan itu tidak bisa mengendarai sepeda motor? Satu, karena indekos saya tidak ada garasi, mau parkir di mana kendaraan saya? Genteng rumah orang? Ya kali ya bagi ya tambah ya kurang…
Dua, saya males kredat-kredit. Apalagi bunganya tuh lebih parah dari bunga bangke. Bayangin, harga asli sepeda motornya cuma 15 jeti, tapi total cicilan bisa sampe lebih dari 20 jeti. Ih sayang beud, riba lagi. Kalo dituker buat beli tahu bulat dapet berapa tuh selisihnya? Serius, selama ini saya nggak punya tuh yang namanya utang sama orang hahah. Sebaliknya, tabungan saya justru ludes gegara pintu indekos saya keseringan diketuk orang. Nda, ada 2 juta nggak? Butuh nih… ๐ฅบ
Saya: ๐
InsyaAllah saya meminjamkan mereka ikhlas kok, lagipula alhamdulillah saya masih bisa berbagi sama orang lain.
Tapi kira-kira, utang mereka yang sudah balik ke kamu, sudah berapa Nan?
Saya: Kurang dari 5%. ๐๐ญ
Dan yang terakhir, ketiga, hidup di Jakarta itu alhamdulillah nikmat. Meski macet, tapi kemana-mana gampang dan murah. Ada bus Transjakarta dan KRL gitu loh? Dan tetangga-tetangga indekos saya pun banyak yang tidak memiliki sepeda motor. Jadilah bertahun-tahun saya happy tinggal di indekos itu.
Sampai pertengahan usia 25 pun saya masih naik ojeg online, padahal di samping indekos saya ada halte baswey gede banget. Huuu… belagu. Bahkan sampai saya punya tiga orang karyawan, setiap pergi kerja saya dijemput karyawan dan pulangnya pun diantar sama karyawan pula. Gimana? Lebih berkelas dari Jelangkung kan?
“Berkelas” ๐๐ญ *maluIhBosDiboncengKaryawan
Tapi kok nggak pindah kosan sih Nda? Yang ada garasinya gitu?
Mau dikata apa? Udah terlalu betah, lokasi indekos yang lama super strategis sih, kemana-mana bener-bener gampang. Apalagi seberang langsung masjid, minimarket, kafe, halte busway, ATM, de es te. Mau ke stasiun KRL, deket, mau ke terminal mana pun, bisa pake bus Transjakarta, posisi tengah-tengah lagi. Ke Sudirman, Kuningan, Lebak Bulus, Kalibata, tinggal kepleset semua.
Karena itulah saya bener-bener keras kepala nggak mau pindah. Nunggu takdir aja saya bisa punya sepeda motor. Meskipun iri sumpah sih sama orang-orang, sampe kebawa mimpi berapa kali gituh saya naik sepeda motor keliling kota, keliling desa.
Sampai akhirnya saya di indekos lama terlalu sering sakit dan mencret-mencret yang saya sendiri bahkan nggak paham sebab juntrungannya apa… (ada yang neluh kah? Maklum ‘rang ganteng ๐คฎ), akhirnya partner bisnis saya kasihan dan langsung mencarikan indekos bagus serta berAC untuk saya pada hari itu juga, pada saat itu juga, plus disubsidi oleh partner saya yang lain. Waahamdulillah.
Jadilah saya pindah dari tempat yang saya sudah tempati selama 6 tahun lebih itu. Aduh mup-onnya susah jeng… Selama pindahan yang harusnya saya hepi karena kosan yang baru jauh lebih baik dari yang lama, tapi justru sepanjang perjalanan saya hanya memutar lagu sedih.
Padahal, saya hanya tinggal duduk manis, yang mengepak barang dan mengantar semuanya adalah teman dan seluruh karyawan saya. Tanpa biaya tambahan, tanpa ribet, tanpa cingcay, tanpa capcay, eh tiba-tiba saya sudah ada di tempat baru deh. Dan padahal barang-barang yang saya punya kayaknya udah hampir muat sekontener, tapi teman dan karyawan-karyawan saya begitu ikhlas dan tanpa beban dalam melakukan pengepakan barang ke atas sepeda motor mereka masing-masing. Aduh terharu ogut. Nanti bonus dan THRnya saya pertimbangkan untuk ditambah ya nak hahah.
Jadilah kami konvoi pindahan kosan, yang sebenarnya hanya untuk satu orang saja. Iya, yang nggak bisa naik motor itu. Yaampun.
Tapi alhamdulillah indekos yang baru pun sampingnya masjid, halte busway pun tinggal kepleset, dan… ada garasi. Yes!
Saya langsung meminta teman dan karyawan saya untuk mencarikan sepeda motor bekas yang masih bagus untuk saya beli. Budget 10 jeti. Langsung lah pada hari itu memori hape saya berkurang sebagian karena whatsapp saya langsung dihajar oleh gambar-gambar sepeda motor yang mau say gutbai sama pemiliknya, dikirim langsung oleh teman dan karyawan saya.
Nan, ini aja Nan! Bisa sekaligus balik nama!
Kak, ini bagus lho. Pajak hidup semua!
Aduh ucing ala Bambang milihnya! Saya sendiri sih inginnya membeli yang kopling alias moge (motor gede), namun kemudian saya diamuk oleh teman saya. Ente kagak bisa naik motor pengen langsung yang kopling? Matik aja dulu! Oiasud. Jadilah saya memilih rekomendasi teman saya dan menyuruhnya untuk test drive sekaligus konfirmasi.
Begitu oke, saya mentransfer hampir 10 juta langsung ke teman saya pada saat itu juga dan cuss ijab kabul secara sah dilakukan. Tentu saja ijab kabul yang ini nggak pake KUA, bekos saya tuh jombles bahagia lho. ๐๐ญ
Besoknya, tin tiiinn… Kendaraan matik saya terpatri di depan garasi, (masih diluar lho ya, belum masuk garasi) dengan teman saya yang sudah mejeng di atasnya. Eh, ada anggota keluarga baru. Alhamdulillah, buruan daftarin di KK. Hahah. Aduh ogut pada saat itu antara kagok, norak, sama salting.
Maklum, 8 tahun lebih saya tidak punya kendaraan, bahkan saya tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor apa pun. Selama itu juga saya dihinakan oleh orang-orang. Payah! Gak bisa naik motor luh! Kalah sama anak SD! Payah! Yaampun, sudah jombles, sudah masalah pribadi bertumpuk, masalah dengan pekerjaan danย customer, ditambah pula penderitaan karena dicaci sebagian besar orang gara-gara sebuah benda beroda dua itu. Ibu peri mana ibu peri?
Kembali ke pangkuan jok sepeda motor, nah kemana sekarang kita akan pergi untuk belajar mengendarai sepeda motor? *tatapanAlaDoraTheExplorer *ceklik! Ya benar, Sentul!
What?! Sentul di Bogor itu? Nggak bisa gituh kalo semisal di pekarangan komplek samping masjid di RW sebelah aja?!