Air terjun Saderi, sebuah air terjun yang sudah begitu lama masuk ke dalam wishlist saya bahkan sedari saya belum memiliki sepeda motor. Inginnya sih memanfaatkan teman saya seperti waktu dulu-dulu itu hehe, tapi pas saya lihat di produk Street Viewnya simbah, saya urung. Apalagi waktu itu saya masih ‘trauma’ dengan ‘tragedi’ Curug Hordeng dan Curug Ngebul.
Sebenarnya Sabtu itu saya ingin mampir ke rumah teman, namun mendadak dikensel, yaudah persetan dengan jam yang udah pukul sebelas siang, pokoknya saya cuss.
Curug Saderi, tunggulah di sana wahai air terjun, dengan ‘berdarah-darah’ akan saya sambangi cepat atau lambat diriyow!
Biasanya selama saya punya si Pirikidil selalu ke Bogor via jalan Raya Bogor, namun kali ini saya akan memberi pengalaman baru kepada si Pirikidil ini lewat jalan yang tidak biasa. Yep, lewat rute yang sudah sering saya lalui itu waktu saya masih nggak bisa naik motor. Selalu banget minta tolong temen buat nganterin ke wisata yang ada di Bogor Barat via jalan Ciputat Raya. Terkhusus seluruh rute air terjun yang tidak dilewati oleh angkot.
Overall, rute baru ini terkesan sedikit lebih melelahkan karena mungkin saya baru pertama kali mengendarai lewat sini. Saya benar-benar berpikir kok ya Pamulang sama Parungnya nggak habis-habis. Saya lalu melihat ada spanduk yang terpampang wajah walikota Depok yang di-zoom habis-habisan, nggak tau maksudnya apa. Oh, ini sudah di Depok kah?
Saya ingat kalau saya harus belok di pertigaan perumahan Telaga Kahuripan. Saya nggak pakai mapsnya simbah, jadi saya hanya mengandalkan penunjuk jalan saja jika saya sudah harus belok. Nah masalahnya saya sendiri nggak tahu kalau nanti ‘itu’ bakalan menjadi tempat saya belok.
Tapi alhamdulillahnya gerbang perumahannya punya menara yang cukup tinggi warna kuning krem (catnya udah luntur kah?) lalu saya kenal betul bahwa di sanalah saya harus berbelok.
Ckiiitttt… Saya memanuver Pirikidil ke jalan perumahan.
Aduh! Adah! Uduh! Aduh! Udah! Aduh! Dahduh! Ini aspalnya kok nggak rata banget ya? Terguncang-guncang dirikuh yang rapuh ini. Si Pirikidil juga nggak seneng sama jalannya. Yaampun jalan perumahan kok begini ya? Mana banyak lubang lagi yang ngagetin, polisi tidurnya jumbo-jumbo, sebegitunyakah supaya tidak ada yang ngebut-ngebut dan balap liar?
Keluar dari perumahan menuju jalan Cibeuteung Haji Miing itu juga sama, jalannya ada seksi berlubangnya, tapi alhamdulillah kesana-kesananya lumayan mulus kok aspalnya. Yah, meski banyak polisi-polisi tidur kawakan yang betul-betul saru dengan aspal.
Wah Pasar Ciampeanya nggak begitu macet. Terima kasih Covid hahah! Eh, tapi kalau pasar lokal biasanya warganya pada bandel-bandel nggak nerapin protokol kesehatan ya? Tapi terserah, saya yakin wabah ini ada peran tersendiri untuk mengurai kemacetan langganan di pasar ini. Terima kasih Covid (lagi), hahah!
Asik, sudah sampai Jalan Raya Leuwiliang, langsung belok kiri ah ke Cikampak. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Wah ada masjid besar, shalat zhuhur dulu deh.
Dari sini saya memasang maps, karena tujuan saya bukan ke wanawisata Gunung Bundernya, melainkan di’sebelah’nya. Jadi akan ada belokan yang saya nggak tahu kapan dan di mana saya harus belok. Yasudah, saya manut full dengan sarannya simbah, moga-moga nggak ngeluarin suara ‘blendang’ ‘blendung’ pertanda kalau saya salah jalan karena jalannya kemungkinan sempit, bercabang, atau ada jalan yang tidak saya sadari.
Akhirnya saya sampai di pertigaan yang kalau lurus saya akan mampir ke wisata Gunung Salak Endah, dan kalau ke kanan, saya… semoga benar-benar jalan menuju air terjunnya. Semoga jalannya sudah di aspal ya.
Saya terus melaju di turunan curam sebelum akhirnya saya dikagetkan dengan sebuah jalanan rusak di ujung turunan, bersamaan dengan gapura selamat datang di desa Ciasihan. Jalanan rusaknya sebentar sih, di sekitar jembatan sungai saja. Mungkin itu adalah foreshadowing dari apa yang akan saya temukan berikutnya.
Saya benar-benar berbahagia ketika saya lihat seluruh jalanan aspal mulus, saya benar-benar menikmati semua pemandangannya yang dipenuhi oleh bukit-bukit manis hingga saya harus mengeluarkan kamera saya di tengah perjalanan.
Saya menikmati segala sesuatunya pada saat itu sampai mbah Gugel mengagetkan saya di tengah jalan, katanya saya harus belok kanan. Okka deh QaqaQ!
Daaannn… yup disaster dimulai. Saya diarahkan menuju jembatan kecil perumahan penduduk di mana jalannya ampun-ampunan. Ini saya mau ke air terjun atau mau masuk dimensi mana sih? Belum lagi setiap penduduk yang saya tanya benar-benar mengarahkan saya ke jalan yang ditunjukkan simbah.
Bahkan semakin ke sini, saya semakin dapat mendengar si Pirikidil jerit-jerit, “Ka elah ka udah ka ampun ka sakit ka sakit banget kak!”
Ya gimana nggak teriak-teriak, selama tiga kilometer, yang dilalui si Pirikidil adalah kondisi jalan yang seperti ini:
Β
Bahkan saya sudah beberapa kali berbahagia melihat gerbang selamat datang yang itu sama sekali bukan gerbang selamat datang ke air terjunnya.
Pertama, gerbang selamat datang di desa Ciasihan di samping sebuah rumah dengan dinding ditempel tulisan “Curug Saderi, Cikawah, dan Kembar”, saya ditagih Rp10.000,-, di atas jalan rusak itu. Nggak ada tanda bukti atau karcisnya.
Kemudian di atasnya saya ditagih seikhlasnya (ew, kata yang paling saya benci) kemudian receh yang saya punya cuma Rp10.000 juga. Moga-moga bener dipake buat bagusin jalannya.
Kemudian beberapa ratus meter kemudian saya bertemu dengan gerbang kedua yang ada spanduk bertuliskan Bumi Perkemahan dan juga termuat tulisan “Curug Saderi Indah”. Saya parkir, zonk.
Hampir-hampir saya ditagih, namun itu hanyalah tempat kemping, air terjunnya masih sekitar 30 menit lagi dari situ. Ahelah.
Dan saya bertemu jembatan lagi di bawah yang harus saya lewati dan kini saya berada di jalan-jalan kecil di sebuah tempat yang saya tidak tahu yang bahkan saya tidak tahu. Jangan tanya riwayat mbah Gugel, beliau sudah saya hancurkan pada saat itu juga dan memilih ke mode GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) sebagai arah ke air terjun.
Struktur jalannya masih beton yang tidak berbentuk dan menanjak tajam. Maaf ya Pirikidil, saya terpaksa harus memutar gas lebih dahsyat lagi. Saya harus siapin budget perawatan si Pirikidil nih di bengkel dekat rumah.
Mana itu yang suka nanya, “Padahal Indonesia itu indah, tapi kok orang-orangnya lebih senang liburan ke luar negeri?” Tanya nih ke Pirikidil. Saya yakin jawabannya akan komprehensif dan mendetail hahah.
Oh, saya mendapat kabar gembira dari si Pirikidil pada saat itu, katanya saya harus menengok ke arah dasbornya dan saya temukan indikator bensinnya ada di huruf ‘E’! Betul-betul kabar yang ‘menggembirakan’. Waaaaaa!!! Nggak ada Pertamene de seneeee!
Yah setidaknya saya menemui turunan terakhir yang di sana kini terbaring gerbang masuk sungguhan ke air terjunnya. *nangisBahagia
Saya ditagih Rp5000 sebagai biaya masuk, yang ini ada bukti bayarnya. Di dompet saya duitnya Rp50.000 semua, udah abis buat ngasih yang di bawah tadi. Mana si penjaga nggak ada kembaliannya lagi, akhirnya saya ke warung di atas gerbang dan pesan mi instan serta air mineral.
Okeh, abis parkir saya tinggal menuju air terjunnya deh. Kata pengelola cuma 10 menit kok. Tapi kenapa saya mencium aroma ketidakberesan dari pernyataan “cuma 10 menit” ya? Dan dengan tambahan, ada sesi menyebrang sungainya ‘sedikit’. Semoga benar sesi menyebrang sungainya cuma ‘sedikit’.
Oh iya di sini sebenernya ada 3 air terjun. Curug Saderinya itu sendiri, Curug Kembar Tiga dan Curug Hordeng. Ini Curug Hordeng yang lain, bukan yang waktu itu. Tapi kata pengelola kalau udah sore begini mending ke Curug Saderi aja, okai. Saya nurut karena memang tujuan saya cuma ke Saderi doang, bukan kayak waktu ke Curug Cileat kemaren.
Kenapa sih dinamain Curug Saderi? Dulu ada orang namanya Saderi yang pertama kali menemukan ini air terjun begitu?
Pukul 3 sore. Saya mulai berjalan sendirian di sini, menanjak tiga kali dan sudah 10 menit lebih saya berada di tempat yang saya masih tidak yakin air terjunnya berada di sekitar sini, bahkan saya belum sampai ke sesi menyebrang sungainya.
Tambahan 5 menit lagi, saya akhirnya benar-benar harus menyebrang sungai. Alhamdulillah cuma ‘sedikit’. Hati-hati ya, batu yang tidak muncul ke permukaan licin karena banyak lumutnya.
Sepatu saya yang masih baru dan lumayan mehong ini tentu saja wajib saya copot, bahkan kalau bisa saya haramkanΒ sepatu saya yang pamerable ini kena tanah-tanah merah.
Tambahan 5 menit lagi, saya menemukan sesuatu dari kejauhan, saya bergegas ke sana karena saya benar-benar sendirian di sini.
Apa yang saya temukan?
Monster? Genderuwo? Atau kanibal?
Bukan! Emangnya saya lagi suting pelem Holiwut. Tentu saja ini yang saya temukan:
Asikk…! Tinggi juga air terjunnya. Di lingkungan air terjun yang debit airnya duacchat ini hanya saya sendiri yang berupa manusia. Artinya? Yusss, dunia cuma milik kita berdua, eh saya sendiri, yang lain ngekos! Hahah.
Di sini nggak ada warung, jangan berharap ada musalla dan tempat ganti.
Tapi mau tahu apa yang mengagumkan? Ada pelangi di matamu! Eh, ada pelangi di air terjunnya! Kebetulan hari itu cerah dan matahari ada di belakang saya, ditambah kepulan titik-titik air yang begitu masif karena debit air terjunnya nggak kira-kira itu benar-benar pas untuk menghasilkan pelangi.
Saya buru-buru mengeluarkan hape untuk konten Instagram. Tapi begitu shoot pelanginya hilang. Yaaah, kenaWHY?
Saya menengok ke belakang, ada awan-awan yang menggerogoti matahari. Ahelah, ya Allah usir dulu kek awannya. Saya sampai melambai-lambai ke langit seperti orang idiot untuk memberi kode kepada awan agar menjauh. Hasilnya? Awannya makin banyak, makin item.
Semakin ditunggu, semakin mendung. Yaudeh belum jodoh kali saya sama pelanginya. Tapi nunggu begini bikin waktu saya habis, saya ubah rencana dulu deh, mumpung mendung saya bisa menjauh dari air terjunnya untuk mengambil gambar dengan eksposur yang ‘agak’ panjang supaya air terjunnya lembut.
Iyes, dapet. Alhamdulillah. Pelajaran ke depannya kalau memang hari-hari cerah saya diganggu oleh awan di tempat wisata saya harus memutar cara memprioritaskan sesuatu yang lain hahah. Daaannnn… alhamdulillah cerah lagi jadi saya bisa kembali ke depan dan menghancurkan story Instagram saya yes!
Oh iya, kalau ke air terjun yang lainnya lewat jalan mana ya? Saya tidak menemukan jalan lain. Pengelolaannya masih begitu minim, saya juga nggak pengen penasaran juga.
Sudah jam 4 lewat, saya pulang, ditemani mentari sore yang kembali cerah.
Dan setelah kembali menyapa si Pirikidil yang saya telantarkan di parkiran, artinya saya harus kembali melewati jalanan monster lagi selama tiga kilometer ke depan. Mamakkk! Kata warga satu-satunya akses ya cuma lewat sini. Mana si Pirikidil udah teriak-teriak haus lagi. Bertahan ya Pirikidil, soalnya di bawah cuma ada bensin eceran premium doang, si Pirikidil maunya Pertamax hehe.
Saya benar-benar kembali menjamah jalan-jalan berbatu begitu. Mana treknya turun naik lagi. Eh tapi ketika di atas, maksud saya di atas jalanan yang paling menanjak itu saya melihat beberapa anak muda bermain gitar di tengah pelataran yang subhanallah. Tentu saja saya parkir dan mengeluarkan kamera.
Tidak, saya tidak ingin memotret anak-anak muda yang bergitar dan merokok itu, tapi saya ingin memotret ini.
Dan tak lama saya kembali ke gerbang pertama lalu saya kemudian kembali ke jalan perumahan penduduk. Wah benar-benar tidak selama waktu saya datang perjalanannya. Tapi kemudian saya nyasar meskipun saya yakin betul saya tadi lewat jalan itu. Ketika saya menanjak di jalan sempit, di depan saya hanya ada jalan buntu perumahan.
Seorang warga bertanya ingin ke mana, saya ingin ke jalanan aspal. Katanya suruh putar balik. Bahkan kata seorang ibu yang tidak dapat berbicara, maksud saya, berbicaranya tidak berbahasa apa pun hanya dapat “a-a u-u” (itu sindrom apa ya, saya agak kasihan), memberi tahu saya lewat bahasa isyaratnya katanya ada orang yang naik sepeda motor lewat sini dan menerka-nerka terobosan jalan hingga jatuh dan kepalanya terbelah.
Hiii… angker! Akhirnya setelah ditujukan jalan saya benar-benar kembali ke aspal yang ternyata tidak jauh dari sana dan saya kembali di sapa angin sore.
Pulangnya, sekitar bada maghrib, saya teriak “Aw-Aw” di jalan yang kadang rusak di area perumahan Telaga Kahuripan. Kemudian di depan saya adalah seorang pengendara sepeda motor berplat merah saya agak balap dia, dan dia balap balik. Saya nggak niat balapan, cuma dia kayak ngajak ribut gituloh.
Bahkan setelah keluar dari area perumahan, balap-balapan masih terus terjadi. Bahkan saya kaget saat saya menyadari di jalan raya Parung yang ramai lancar itu saya memacu kecepatan hingga 80km/jam. Benar-benar kebalikan dari kisah Bebbet kemarin.
Sampai-sampai di satu poin saya membetulkan spion, kacanya persis mengenai wajah orang itu dan dia tiba-tiba tersenyum tepat ke arah muka saya. Saya terika “AAAAA” sambil menggeleng-gelengkan kepala hahahah. Yup, proses balap-balapan terus terjadi hingga tidak terasa sudah berada di flyover Pamulang dan dia menghilang.
Alhamdulillah berkat orang aneh berplat merah itu perjalanan saya benar-benar ‘menghemat’ waktu hahah. Saya kaget dari perumahan Telaga Kahuripan hingga flyover Pamulang cuma memakan waktu 30 menit lebih dari yang biasanya 1 jam lewat.
Berbakatkah saya menjadi pembalap?