Krisis Privasi
Suatu malam saya dikejutkan dengan beberapa notifikasi dari Facebook yang masuk. Alhamdulillah akhirnya ada yang peduli juga dengan saya, hix…

Baiklah, saya dengan segera membuka notifikasinya dipenuhi rasa suka cita.

“Surminah menandai anda dalam sebuah postingan BERITA HEBOH.”

“Tukijo menandai anda dalam postingan VIDEO PANAS 18+”

Cuma itu saja?! Nyesss… ekspektasi saya dikelilingi banyak fans sirna seketika. Kepedean sih. Terlebih saya harus menghapus seluruh tanda postingan yang super tidak jelas tersebut dan terpaksa melaporkan sang penanda dengan tuduhan spam karena memang mengotori beranda saya.

Maaf ya, saya kejam. Tapi serius say, hal ini sebenarnya dapat dengan mudah dihindari. Mengapa masih banyak orang yang terjebak?


Kewalahan menyambut hal baik

Saat transisi milenium mulai dibanjiri dengan barang-barang elektronik, setiap orang sepertinya memiliki nafsu untuk menjadi bagian dari kepemilikan barang-barang berteknologi tersebut.

Saya yakin sebagian besar kita sudah memiliki HP atauΒ smartphone dan kendaraan bermotor. Namun yang jadi pertanyaan kemudian adalah, siapkah kita dalam menghadapi berbagai kecanggihan ini?

Beberapa orang tua bangga jika anaknya sudah dapat mengendarai sepeda motor, atau mengoperasikan komputer. Padahal mereka tidak tahu apa yang dilakukan anaknya dengan barang-barang elektronik tersebut.

Bahkan, beberapa orang tua seakan tidak peduli jika anaknya ternyata ugal-ugalan di jalanan dan melanggar rambu lalu lintas dengan kendaraannya, atau ternyata anaknya mengakses konten-konten di internet yang belum sesuai dengan usianya.

Sangat disayangkan, kecanggihan teknologi yang seharusnya membawa perubahan dan perbaikan, ternyata justru membuat beberapa penggunanya menjadi amoral dan brutal.

Mungkin inilah akibat kita tidak pernah diberikan wawasan mengenai bagaimana mempersiapkan diri menghadapi berbagai kemudahan ini.


Benteng yang ternyata rapuh

Beberapa orang tua mendidik anaknya agar mendapatkan gengsi lebih di hadapan orang lain. Siapa yang tidak ingin menjadi orang terpandang?

Sayangnya, beberapa motivasi orang tua untuk menjadikan anak menjadi seseorang yang memiliki taring justru membuatnya keras kepala dan tidak ingin mendengarkan orang lain karena di matanya hanya ia dan ‘panutan’nya saja yang memiliki kelas.

Begitu pun dengan orang-orang yang dipaksa ‘bertaring’ untuk menutupi kelas sosialnya yang memang masih rendah, mereka merasa paling superior menyembunyikan realita dan kebodohannya.

Orang-orang itu berpikir mereka akan mendapatkan keagungan dengan membuat nyali orang lain ciut dengan melakukan hal apa pun yang mereka mampu, seperti yang paling sering kita saksikan banyak orang berbangga jika mereka berhasil menggertak mundur orang lain.

Bagaimana orang-orang seperti itu dapat diselamatkan?

Saya beberapa kali melihat orang-orang yang memiliki ego tinggi pada akhirnya dibuli dengan orang-orang serupa saat ia memang sedang ‘terpeleset’ dalam melakukan suatu hal. Jika sudah seperti ini, mental orang-orang tersebut biasanya akan terjun bebas ke dalam jurang depresi.

Saya agak iba melihat seseorang yang tadinya ingin menunjukkan taringnya, berakhir dengan akun media sosialnya sudah tidak dapat diakses lagi karena ia depresi setelah dibuli orang-orang yang sifatnya sama sepertinya, ia tidak dimaafkan bahkan hingga diteror.

Tapi ya itulah pembelajaran hidup.


Sang krisis

Banyak dari kita yang seharusnya dibekali etika yang kuat sejak awal sehingga telinga kita dapat mudah mencerna petuah-petuah orang lain, tidak mengapa mungkin agak keras kepala pada awalnya, namun semoga akhirnya kita dapat menerima berbagai masukan positif sebelum terlambat.

Masalah yang paling besar di sini adalah, seseorang begitu sembrono mengisi biodatanya dengan begitu lengkap di media sosial hingga nomor telepon dan alamat rumahnya. Padahal itu sangat berbahaya dan rawan penyalahgunaan.

Kita mungkin tidak tahu jika nomor kita dikoleksi agar dapat dipakai untuk melakukan pendaftaran atau registrasi yang tidak-tidak. Para peretas mungkin akan melakukan sesuatu yang mengganggu atau bahkan berbahaya untuk kita di saat kita mungkin sedang bahagia di tengah aktivitas harian kita.


Persiapan itu adalah edukasi

Berapa orang dari kita yang tidak dilatih untuk menghadapi rawannya dunia maya? Seseorang yang memiliki niat yang buruk, entah itu mereka yang berniat membobol atau mengganggu kita selalu mencari celah untuk mendapatkan data pribadi kita, tanpa kecuali.

Bahkan yang paling tidak dapat ditolerir, seseorang dengan polosnya memberikan pin ATM kita kepada orang yang tidak dikenal yang mengaku-aku sebagai orang yang dapat dipercaya atau pejabat setempat.

Saat sudah terbobol, barulah penyesalan datang menggunung hingga tidak lagi memiliki tempat di sanubari orang-orang malang tersebut.

Terkadang kita sudah diwanti-wanti secara ketat agar selalu menyembunyikan kode apa pun yang telah menjadi milik kita. Termasuk di dalamnya adalah berbagai macam password hingga kode OTP yang sering dikirimkan via SMS.

Bahkan tidak jarang saat kita menerima kode-kode tersebut sang penyedia layanan sudah memperingatkan secara keras agar kita merahasiakan kode tersebut dari siapa pun termasuk saudara dan kerabat yang kita paling percaya sekali pun.

Namun nyatanya, berapa banyak dari kita yang lebih memilih untuk enggan dan mencoba masuk ke dalam jurang jebakan tersebut?

Termasuk kepada yang saya telah sebutkan di awal, banyak link-link berita dengan judul fantastis di media sosial yang ketika diklik akan mengalihkan ke situs lain dengan tampilan login yang mirip dan kita dengan polosnya memasukkan username dan password kita di situs tersebut.

Pada akhirnya BAM! Akun kita diblokir oleh pihak penyedia laporan karena banyaknya laporan masuk akibat kecerobohan kita sendiri.

Maka dari itu, saya tidak pernah menuliskan nomor telepon dan alamat di ranah publik yang dapat diakses banyak orang. Jika ada orang yang meminta kontak saya, saya alihkan kepada pesan pribadi atau direct/personal message demi menghormati privasi saya.

Bukannya saya sok artis atau bagaimana, namun saya hanya meminimalisir akibat yang akan terjadi seperti sembarang orang yang dapat menyimpan nomor kita karena kecerobohan kita dan mengganggu kita dengan pesan-pesan yang kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi.

Tidak lucu jika tidak ada hujan dan tidak ada angin saya tiba-tiba dikirimi pesan dari orang yang terlilit hutang, memohon saya agar membantunya padahal saya tidak tahu siapa sang pengirim dan apakah ia benar-benar terlibat hutang atau justru menipu.


Lubang yang menganga di tengah euforia

Saya pernah dikirimi foto oleh seseorang yang menggambarkan seorang pedagang menggunakan fotokopi kartu keluarga sebagai bungkus gorengan. Padahal di dalamnya terdapat nomor KTP lengkap berikut alamat rumah sang korban.

Seseorang mungkin akan mengeluh saat tiba-tiba ada tagihan pinjaman online karena sang penipu menggunakan NIKnya untuk mendaftar dan meminjam uang atas namanya itu.

Privasi benar-benar begitu genting di negara ini karena begitu dianggap remeh oleh sebagian masyarakatnya.

Di situs jual beli online beberapa pedagang atau bahkan pembelinya masih dengan polosnya memberikan tangkapan layar berupa data barang yang akan dikirim lengkap dengan alamat rumah dan nomor teleponnya.

Di saat beberapa dari korban menderita, berapa orang yang mendapatkan keuntungan berlimpah karena data pribadi itu memang sangat mahal. Orang rela membayar berjuta-juta demi beberapa puluh baris data pribadi yang bocor di dunia maya.


Penutup

Sebelum kita berbangga-bangga dengan kecanggihan teknologi, alangkah penting bagi kita untuk mencari tahu apa saja yang harus diantisipasi. Karena seberapapun mewah suatu barang berteknologi tinggi, tidak akan ada artinya jika pada akhirnya sang pemilik dirugikan oleh dirinya sendiri karena kurangnya pengetahuan untuk menggunakan barang canggih tersebut.

Tidak ada kata terlambat untuk mencoba melakukan penyuluhan untuk mereka yang masih buta akan pentingnya menjaga data-data privasi yang sangat pribadi dan sensitif. Warga negara maju bahkan begitu tertutup mengenai identitas dirinya karena khawatir ia akan tidak sengaja bertindak ceroboh.

Bahkan, jika kalian lihat di Google Maps, hampir tidak ditemukan Street View di Jerman karena kekhawatiran yang sangat tinggi dengan privasi masyarakat meski sebenarnya hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan.

Bagaimana dengan kita, sudahkah kita menjunjung tinggi data pribadi kita sendiri? Adakalanya data-data yang bersifat privasi memang lebih mahal daripada sebuah harga diri. Semoga sedikit sekali orang yang mengakhiri hidupnya karena lalainya ia menjaga data sensitif miliknya sendiri.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Apa Poin dari Bahasa Halus dan Bahasa Kasar?

    Berikutnya
    Blogger atau Youtuber? Atau Keduanya?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas