Hari buruh baru saja dilalui, setiap pekerja memiliki problematika masing-masing yang sepertinya terus peristen dari tahun ke tahun. Tuntutan yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda, “Kesejahteraan”, begitulah yang mereka elu-elukan. Alasan demi alasan terus bersahutan tanpa henti, dari mulai upah minimum yang tidak mencukupi hingga pendominasian tenaga asing.
Upah minimum berfungsi sebagai batas finansial antara pendukung kesejahteraan dengan yang tidak. Orang yang memiliki gaji di bawah UMR (Upah Minimum Regional), kemungkinan besar hidup dalam serba kekurangan, namun tidak sedikit orang-orang yang berpenghasilan di atas atau setidaknya tidak kurang dari UMR justru masih mengeluarkan nada-nada keluhan yang sepertinya tidak memiliki batas.
Ada apa? Apakah berkah kerja mereka berkurang?
Yang penting jadi, sepertinya menjadi ‘lagu kebangsaan’ tersendiri di kalangan masyarakat kita dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Well, ini juga termasuk saya sejujurnya. Namun, tidak tuntas di sini sebenarnya lebih mengarah kepada pemenuhan syarat selesai atau tidaknya sebuah pekerjaan. Seringkali, istilah ini disebut dengan kutil (kurang teliti), kudis (kurang disiplin), dan kurap (kurang rapi).
Misalnya, target yang seharusnya seorang karyawan selesaikan adalah 80, namun dia hanya menyelesaikan 60, 50, atau bahkan 30 karena sudah terburu-buru ingin beristirahat atau pulang. Atau bagi para supir angkutan umum, trayek sudah diselesaikan sebelum benar-benar mencapai tujuan akhir. Ojeg pun demikian, terkadang pelanggan ‘disuruh’ menyebrang karena malas berputar balik, contohnya.
Namun untuk perihal pemenuhan hak, mereka justru ingin dilebihkan. Bagaimana ceritanya?
Setiap perusahaan pastinya merekrut karyawan untuk membantunya dalam memenuhi visi misinya. Perusahaan membayar karyawan tersebut untuk menyelesaikan setiap tugasnya dengan baik agar perusahaan tersebut mendapat lebih banyak keuntungan. Pastinya, perusahaan tidak ingin mendengar masalah pribadi apapun dari para karyawan karena perusahaan tidak menggaji mereka untuk itu.
Banyak kasus di mana kinerja seorang karyawan menurun drastis hanya karena mereka baru saja diputuskan oleh kekasihnya, atau mereka baru saja bertengkar dengan keluarganya, dan sebagainya. Perlu diketahui, setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Orang yang ingin bahagia dalam kerjanya, seharusnya berpikir bahwa pekerjaannya dapat membantunya sedikit tenang karena dia telah menyelesaikan pekerjaannya dengan maksimal.
Orang yang tidak semangat kerja, kinerjanya menurun, perusahaan kecewa, pada akhirnya gajinya turun atau bahkan diberi sanksi, membuatnya harus menderita dua kali.
Cukup ingat kebahagiaan saat menerima gaji bulanan, karena masalah pribadi tidak dapat menaikkan penghasilan sedikit pun, selain dari menurunkannya.
Mungkin ketika kita mendengar istilah ini, yang ada di kepala kita kebanyakan korupsi yang menargetkan uang. Tidak, banyak korupsi-korupsi lain yang tak kalah berbahaya dengan korupsi uang.
Memakai fasilitas kantor dan pelanggan tanpa izin, dapat dikatakan dengan korupsi. Bahkan bagi karyawan perusahaan transportasi dan restoran, menduduki kursi pelanggan juga termasuk korupsi. Bagi karyawan perusahaan mall, ikut menggunakan lift pengunjung yang sudah jelas ada peringatannya, jelas korupsi. Bahkan di Jepang, memakai listrik kantor dapat dihukumi korupsi. Saya bahas lebih jauh di artikel ini.
Contoh lain, para pegawai yang diam-diam pulang sebelum tiba waktunya, termasuk tindakan korupsi waktu. Atau yang paling sepele, supir bus yang mendapatkan giliran jalan pada pukul 6 misalnya, pada pukul tersebut justru sang supir baru menghabiskan rokoknya, dan mungkin belum menghabiskan kopinya.
Pada kelas-kelas yang lebih ekstrim, klien saya sering menangkap basah para karyawannya yang berbondong-bondong menggelapkan ATK dan bahan baku kantor. Memark-up harga inventori, hingga benar-benar mengorupsi keuangan perusahaan.
Solidaritas, perserikatan, komunitas, atau apapun sebutannya dapat membelokkan yang lurus, atau meluruskan yang belok. Pada kenyataannya, solidaritas hari ini kebanyakan menyimpang dari yang seharusnya. Banyak yang membantu teman agar mogok kerja, agar dapat mencuri waktu, atau bahkan mengancam perusahaan.
Banyak juga para karyawan yang senyum kepada temannya namun kepada pelanggan dan customernya justru tidak. Mereka membela kesalahan satu sama lain, dan merusak visi misi perusahaan. Tak heran, ketidaksejahteraan yang dialami oleh karyawan pada perusahaan tersebut tersebar merata.
Ini kerap saya bahas di postingan–postingan sebelumnya. Istilah ‘Customer Adalah Raja’ kebanyakan hanya digaung-gaungkan sebatas teori. Padahal customer adalah perantara rezeki yang langsung diberikan oleh Allah, namun diperlakukan oleh para karyawan dengan tidak maksimal.
Bagaimana ingin naik kelas jika mengerjakan sulit saja tidak mau?
Bagaimana ingin sejahtera jika menghadapi pelanggan menyebalkan saja tidak mau?
Perlu diketahui, semakin tinggi penghasilan seseorang, maka resiko yang ditimbulkan pelanggan mereka akan jauh lebih parah. Berbeda dengan para karyawan yang baru dibayar murah oleh pelanggan, namun mereka sudah menganggap resiko pekerjaannya paling tinggi.
Kesalahan fatal para karyawan pemula yang hari ini sering terlihat adalah mereka menjelek-jelekkan atau mengumbar aib perusahaannya di jejaring sosial. Lebih jahat lagi, mereka membully para pelanggan yang komplain di jejaring sosial mereka. Padahal jika perusahaannya tahu, mereka sudah pasti langsung dikeluarkan dan perusahaan lain pun sejatinya menolak mereka dengan mentah-mentah.
Siapa di sini yang ingin memiliki karyawan seperti itu? Tidak akan ada.
Saya pernah dinasehati oleh dosen saya, bahwa karyawan sejatinya haruslah seperti pohon bambu. Meskipun angin meniupnya ke segala arah, pangkalnya tetap tidak bergeser. Jadi sedahsyat apapun karyawan mendapatkan masalah dengan kantor dan customernya, tetap ia berpaku pada nama baik perusahaannya karena dari sanalah mereka diberi upah.
Ada pramugari yang tidak suka disuruh senyum oleh seorang penumpang dan mengeluh kepada rekannya dengan alasan “Kan capek!”.
Ini merupakan alasan yang paling saya benci dari para karyawan amatir. Mungkin dia tidak merasa dibayar oleh pelanggan dan perusahaannya. Saya jelaskan,
Datang ke sekolah dan belajar pun capek, namun itu bukan menjadikan alasan seseorang untuk tidak mengerjakan soal-soal bukan?
Bekerja itu sudah capek, namun bukan berarti itu dijadikan alasan untuk bekerja tidak profesional bukan? Apalagi di saat mereka sudah dibayar.
Jika dari sekolah sudah terbiasa bekerja keras, belajar dengan giat, dan jarang mencontek, maka seharusnya alasan-alasan kekanak-kanakkan seperti itu tidak pernah keluar.
Perlu diketahui, yang memiliki perusahaan juga memiliki tanggungan, anak dan istri, dan kebutuhan hidup. Maka jika seseorang bekerja dengan tidak maksimal, ingat, banyak orang yang lebih baik darinya sedang mengincar pekerjaannya, sedangkan perusahaannya dapat memberhentikan dia kapanpun dan mencari karyawan lain yang lebih baik, serta perusahaan lain kemungkinan besar tidak membutuhkan karyawan seperti dia.
Bahkan saya mendengar, perusahaan swasta dalam negeri banyak yang lebih memilih karyawan outsource bahkan karyawan asing untuk ikut bekerja di dalamnya dengan sebab mereka sudah terbukti profesional dan jarang mengeluh seperti kebanyakan karyawan dalam negeri.
Akankah kita terus menerus jadi kacung/jongos di negeri sendiri disebabkan oleh kelakuan kita sendiri?
Profesionalkan diri sendiri, ubah paradigma perusahaan bahwa kita pun dapat lebih baik dari para tenaga asing tersebut.