Sempat terpikir cara nakal untuk membawa si Pirikidil jalan-jalan. Sebenarnya sudah dari dulu sih semenjak saya masih sering ngangkot untuk liburan. Bisa nggak ya saya ke Lampung sendirian naik angkot? Busnya sih ada, ferinya ada, tempat wisatanya ada, nyalinya doang yang nggak ada. Bhahahah.
Lagipula, waktu kosong saya kebanyakan cuma pas Weekend doang. Alamak, misalnya Jumat malem berangkat naik Feri, bisa nggak ya Minggunya balik? Nginep di mana? Makan di mana? Buang hajat di mana? Daku dilema.
Sampai akhirnya si Pirikidil ini diutus ke atas muka bumi ini, tepat di pangkuan saya (berat babeh…), saya akhirnya dengan membaca basmalah saya mencoba me-refill health bar hormon adrenalin saya to the max.
Oh iya, saya baru dapat kabar kalau jasa angkutan feri tidak terima pembayaran cash jadi harus via aplikasi di pelabuhan Merak. Mana saya harus menentukan jam keberangkatan dan wajib tiba minimal dua jam sebelum keberangkatan lagi. Mampus deh gueh. Mau melancong di negeri sendiri aja kok kayaknya berat banget yak…
Asumsi saya karena jarak perjalanan sekitar 130km dan kecepatan rata-rata 40km per jam, mungkin hampir empat jam waktu yang akan saya konsumsi selama perjalanan.
Saya download aplikasi ASDP Ferizy dan melakukan pembayaran via app dan internet banking. Saya pilih keberangkatan jam 15.15 untuk moda eksekutif dengan tarif Rp95000 untuk golongan II alias pengendara sepeda motor plus admin Rp3000 dan berdoa semoga besok nggak kesiangan.
Besoknya, jam 8 saya benar-benar sudah senam bersama si Pirikidil, meninggalkan kampung halaman tercinta (elah) demi sebuah perantauan yang belum jelas juntrungannya hahah. Saya menempuh jalur Mauk via Kronjo dan Banten Lama karena di situ lumayan sepi jadi saya bisa ngebut-but-but…
Alamak. Ternyata di tengah jalan ada perbaikan jalan. Hiks.
Pukul 10, sudah berada di Kronjo. Alhamdulillah. Pukul 11 nya di kawasan Banten Lama. Pas Zhuhur, saya tiba di pelabuhan. SEKARANG DI MANA KAPAL GUEH!!! HAHAHAH!
Kata penjaga loket, “Oh ini kan jam 3 ya abang pesen, nanti baru bisa cek-in jam 1.”
Oalaaah, jadi maksudnya datangnya tuh maksimal 2 jam sebelum keberangkatan ya… bukan minimal. Alhamdulillah deh kalau begitu. Oh iya, di area pelabuhan ada mall, jadi sambil nunggu bisa ngemall dulu. Parkir deh ~
Eh, nggak jadi ngemall, makan nasi padang aja biar sekalian shalat zhuhur di musala yang bersebelahan sama toilet umum itu. Sepanjang jalan menuju tempat nasi padang dan musala banyak yang nawarin diri jadi calo tiket. Mungkin si calo menemukan celah peraturan yang dirasa memberatkan jadi mereka bisa ubah jadi ladang bisnis. As always.
Saya nggak berpikir itu buruk. Sama sekali nggak. Pilihan kembali ke individu.
Pukul 13, saya masuk loket, scan barcode app via smartphone saya, dan ngikutin mobil-mobil ke kapalnya. Mungkin karena saya pesen yang eksekutif, bukan reguler (beda tarif mulai dari 30rb, lebih cepat eksekutif 30 menit), pengendara sepeda motor sangat jarang di lajur ini.
Eh itu kapalnya saya disuruh masuk sama petugasnya setelah robek tiket saya dari loket.
Di dalam saya kebingungan parkir di mana. Masalahnya yang pakai sepeda motor tuh saya doang… sejauh ini. Kata petugasnya boleh parkir di mana aja kok. Yawees saya parkir pas di bawah tangga kapal jadi begitu parkir saya bisa langsung terbang ke atas, lewat tangga itu.
Duh si Pirikidil saya tinggal lagi sendirian. Maaf ya Dil, tuanmu mau liat laut di atas hahah.
Sampai di atas saya…
WAH, DEK PENUMPANGNYA MEVVAH hahah! Saya jadi kebelet nih! Toilet mana toilet? Lho kok toilet? Iya, mules mau buang hajat soalnya biasanya saya bok*r kan pagi-pagi. Jam biologis perut saya udah nggak mau tahu. Jadi saya ke toilet dan toiletnya bagus!
Cuma sensasi lepas hajat di atas kapal yang tiba-tiba berangkat tuh beda sendiri. What? Tiba-tiba berangkat? Ini kan masih pukul 13.15? Saya pesen yang 15.15 kok! Tapi ya sudahlah bagus. Saya pikir saya bakal ditenggelamkan rasa bosan karena menunggu.
Balik lagi ke sensasi buang hajat di atas laut. Eh, maksudnya di atas kapal yang mengapung-apung di atas permukaan laut. Goyang sana… eh eh, goyang sini… eh eh…
Yaudah saya siram kelar. Hahah!
Sekarang kembali ke dek penumpang yang sudah seperti kursi di pesawat terbang. Saya tidak ingat ada nomor kursi di tiketnya jadi mungkin saya bisa duduk di mana saja. Dan karena sedang ada wabah, jadi kursinya menerapkan distansi sosial alias jaga jarak. Baguslah, saya sekarang memiliki kursi khusus untuk tas saya dan tektekbengeknya.
Di kapal ada warung dan minimarket kecil, ruang bermain anak, dan fasilitas lainnya. Saya tidak ingat. Nah, sambil menunggu kapal tiba, saya mau main Candy Crush dulu. Asik.
EH KOK MALAH MAIN KENDIKRAS SEH! KITA LAGI ADA DI ATAS KAPAL BOO!
Oh iya! LAUUUTTT! MAU LIAT LAUTTT! BHAHAHAH. Pantai Ancol aja nggak cukup tauk buat liat laut! Ta ambil kamera dan saya bawa tas saya ke dek luar dan ternyata sudah bejibun manusia-manusia selfie. Apakah saya ikutan? Tentu dong! Instagram saya pun sudah siap saya mutilasi. Bhuahahahah!
Tapi ya pemandangan laut cuma begitu doang sih. Keliatan feri-feri yang lalu-lalang dan pulau-pulau kecil di sekeliling. Pulau Sumateranya pun sudah kelihatan, tapi masih agak jauh. Ya sudah saya masuk lagi dan kembali main kendikras.
Kapal berlabuh, pengumuman agar para penumpang bersiap-siap sudah terdengar dimana-mana. Saya kembali ke pangkuan si Pirikidil. Sekitar 15 menit menunggu sampai mobil-mobil masing-masing menyala mesinnya.
Saya keluar deh. Hai menara Siger Lampung! Halo Sumatera! Halo Bakauheni! Halo bega… eh, pokoknya halo semuanya!
Sekarang saya sendiri bingung saya ada di mana. Yang pasti tujuan saya mau ke Pantai Sebalang dulu. Sekitar 70km dari pelabuhan, dan sekarang baru pukul 14.45. Saya diberitahu mbah Gugel via produk mapsnya kalau saya harus lewat jalan raya Lintas Sumatra, petunjuk arah Bandar Lampung dan Palembang. Siap!
Sepanjang jalan selepas Bakauheni ternyata jalan sepi dan begitu lurus. Selama ini yang tertanam di benak sebagian masyarakat di pulau Jawa adalah provinsi Lampung yang sarat begal. Mungkin banyak orang Lampung yang akan tersinggung dengan kalimat saya di atas. Namun Lampung itu luas, mungkin hanya ada satu atau dua desa yang memang menjadi kampung begal, satu provinsi terkena imbasnya.
Nyatanya, beberapa orang Tangerang dan teman-teman saya di Jakarta bilang, yang sering begal sepeda motor mereka malam-malam itu ternyata orang Lampung. Pernah saya lihat via rekaman CCTV bahwa komplotan begal benar-benar menggasak hingga sembilan sepeda motor.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena mungkin hanya satu atau dua desa yang memang kebetulan dari sana kebanyakan begal berasal dan luas desa tersebut mungkin tidak sampai satu persen dari provinsi Lampung, justru satu provinsi yang jadi mendapatkan predikat buruk. Dan predikat tersebut menjadi semakin buruk jika masyarakat Lampung hanya memberikan pernyataan balik yang sifatnya seperti cuci tangan, “Nggak semuanya orang Lampung begitu kok!”
Ya memang tidak semuanya, kita semua paham kok. Tapi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana upaya untuk membersihkan ‘nama baik’ provinsi Lampung di mana orang di luar Lampung? Could you not provide any better statement? Please, just please.
Saya pun secara deg-degan plat B sendirian melenggang di ruas jalan yang nampaknya tak berujung ini. Bahkan seakan-akan kecepatan 80km/jam sudah menjadi kewajiban, itu pun masih dapat dibalap kendaraan-kendaraan lain dari mulai sesama sepeda motor hingga bus lintas Sumatera.
Saya akhirnya shalat Ashar di masjid yang saya temui di kiri jalan. Duh, bau wewangian masjidnya sama dengan wewangian pakaian salah satu karyawan saya. Jadi inget rumah hiks. Beginilah mungkin perasaan perantau yang jauh dari rumah ya?
Pukul 16, tinggal 20km lagi. Alhamdulillah. Semoga sempat lihat pertunjukan matahari kecebur di ujung pantai.
Itu Sebalang! Lihat! Pantai Sebalang! Aaaakkk! Mirip Ciletuh! Masih jam setengah 5 sore. Cepetan cari pantainya! Saya menuruni jalan curam.
Saya cari, terus mencari. Tapi ini kok sudah lebih dari 5km tidak bertemu pintu masuknya ya? Eh, kok di depan saya ada gerbang selamat datang di Bandar Lampung sih? Alamak kelewatan jauh kayaknya!
Tapi… waw, saya tidak komplain. Saya bahkan merasa jika saya sedang mimpi, apakah benar-benar sedang berada di daerah orang tepat sekarang saya di sini? Subhanallaahi wa bihamdih.
Saya putar balik, hingga akhirnya saya menemukan penginapan merah tingkat yang bagus bertuliskan Frida homestay. Nama homestaynya seperti salah satu nama vokalis ABBA yang lagunya sedang saya dengar hehe… Coba saya check in, semoga tidak sampai Rp300ribu semalam.
Alhamdulillah, hanya Rp150rb saya sudah mendapatkan ruangan dengan televisi, kipas angin, dan kamar mandi dalam. Ruangannya bersih, stafnya cukup ramah dan…
Oh iya, pantai Sebalangnya, matahari kelelepnya…
“Jangan lama-lama ya bang…” Staf hotel tiba-tiba bernada khawatir. Kenapa? Ada apa?
“Insya Allah maghrib saya kembali.” Saya menegaskan. Mereka sedikit tenang. Katanya kalau mau ke pantai Sebalang ikutin maps si mbah saja. Dan ternyata pantainya ada di dalam jalan yang menurun tadi! Dan coba tebak? Aksesnya nggak bagus. Saya tidak tahu apakah pasir atau beton rusak yang pasti saya tidak bisa memacu si Pirikidil di atas 10km per jam karena itu.
Ini versi mulusnya.
Tapi Pantai Sebalang ini hanya kurang lebih 1km dari jalanan utama sih. Saya tebak ini angkotable.
Eh, itu mataharinya sudah siap-siap dari jauh. Saya ditunjukkan pantai yang ada pohon setengah tenggelam. Parkirnya Rp10000, dan ada penumpang duduk di atas kursi pantai juga tiba-tiba ditagih Rp10000 (what?).
Pengunjung sudah ramai, masih masyarakat sana juga. Tapi memang pertunjukkan matahari tercelup di atas lautan memang jarang mengecewakan sih, atau bahkan tidak pernah mengecewakan?
Oh iya, sudah mau maghrib! Duh, baliknya harus lewat jalan tadi ya? Malesin… hehe…
Sesampainya di hotel, staf hotel langsung mengamankan si Pirikidil di dalam ruangan khusus dan gerbangnya langsung digembok. Wedew, semenyeramkan itu kah malam hari di Lampung? Mungkin isu begal sudah lengket di benak orang Lampung itu sendiri, bukan cuma orang-orang di luar Lampung saja. Saya tidak tahu.
Tapi alhamdulillah homestaynya dekat minimarket, tapi harus nyebrang dulu.
Mana jalannya serem lagi kendaraan pada brutal semua ngebutnya. Untung saya ikut emak-emak nyebrang hehe… Setelah dari minimarket saya beli bakso urat Rp12rebu doang. Penjual baksonya badannya gede bertato, tapi nggak masalah kok yang penting saya tidak merasa terintimidasi olehnya hehe. Rasa baksonya juga lumayan.
Okai, bersiap untuk menjelajah esok harinya! Saya mau istirahat dulu.
Next stop! Pantai Bagus! Sebenarnya saya mau ke Pantai Bagus, tapi karena satu arah sama Pantai Tapak Kera dan saya nemu plangnya duluan, jadi saya ke sana.
Saya cek-ot dan staf homestay bertanya apa saya dari Jakarta sewaktu melihat plat si Pirikidil dan saya mengangguk. Sendirian? Ia tanya kembali, saya mengangguk lagi. Setelah itu, saya meninggalkannya dalam kondisi yang masih terbengong-bengong hahah.
Kembali lagi ke jalanan yang dimana pengendara sepertinya dituntut untuk memacu kendaraannya hingga 80km per jam, namun kali ini dengan pemandangan Gunung Rajabasa.
Kemudian 40km dari homestay atau sekitar satu jam kurang, saya disuruh belok kanan oleh simbah Gugel. Dari sanalah saya bertemu plang Pantai Bagus tidak jauh dari jalan utama. Saya tebak itu angkotable juga. Jadi saya masuk dan ditagih Rp15000 oleh petugas yang tidak begitu ramah dan saya tidak menerima tiket masuknya. Yasudalah. Yang penting pantainya sudah terlihat jelas.
Buset pantainya bening! Subhanallaahi wa bihamdih. Belum lagi Gunung Rajabasa dengan gagahnya mejeng dari kejauhan. Matahari dengan ramah memberi saya ucapan selamat pagi, semua bersahabat di sini, kecuali mungkin ya… petugas yang tadi hahah.
Ada ayunan juga, dan sepeda motor dapat langsung parkir di pantainya. AK YES! Akan saya jadikan momen bersejarah bagi si Pirikidil!
Saya tidak akan cap-cip-cup lagi, saya hanya bisa menyediakan foto-foto untuk menggantikan saya bercerita tentang bagaimana panorama si Pantai Bagus yang benar-benar bagus ini. Apalagi yang berada di pantai ini cuma bisa dihitung jari. Sumringah saya semakin melebar.