Dari beberapa tahun lalu saya benar-benar ingin mengunjungi sebuah daerah mungil yang masih masuk dalam lingkup DKI Jakarta. Benar lho, selain walikota, Jakarta juga punya bupati. Pulau Seribu adalah satu-satunya kabupaten di DKI Jakarta.
Kembali ke pernyataan awal, mengapa saya mau ke Pulau Seribu? Liburan tentu saja, mau apa lagi? Eh, lihat sunset! Berburu siluet! Suka iri sama orang yang berfoto dengan bergaya menangkap matahari padahal gayanya sama sekali nggak pas. Dan dengan berlibur ke Kepulauan Riau… *batuk Kepulauan Seribu ini, berarti ini adalah kali pertama saya jadi Popeye…
Baidwei, mengingat saya senang travel sendirian, benar-benar mimpi buruk waktu itu mencari-cari celah agar bisa travelling sendirian ke Kepulauan Seribu karena kebanyakan memakai paket tur. Ya sudah, harapan ke Pulau Seribu sirna, digantikan dengan jalan-jalan lain yang lebih ciamik hahah…
Eh, tapi tetap saya ingin ke Pulau Seribu…
“Nda, mau ke Pulau Tidung?” Rekan kerja saya tiba-tiba bertanya.
“Maukkk!” Alarm liburan di kepala saya tiba-tiba berbunyi.
Suami rekan saya itu kantornya mengadakan Open Trip, jadi saya ikut. Waktu itu masing-masing harus ‘patungan’ Rp400.000 termasuk saya. Saya kemudian diberitahu bahwa paling lambat berkumpul pukul 06.30 di Pelabuhan Muara Angke supaya tidak tertinggal kereta… *batuk(lagi) maksudnya kapal laut.
Saya tinggal dekat halte busway Warung Jati, jadi saya setidaknya harus bangun pukul 4.15 pagi. Oke, alarm saya set.
Jam 4 hari H saya berhasil bangun dan terjun langsung ke kamar mandi! Namun, di kamar mandi entah darimana ada laba-laba jumbo size (kata orang jenis Huntsman ya?), yang langsung kabur ke belakang pintu kamar mandi dan hilang. Jadilah saya terpaku selama 15 menit dekat pintu kamar mandi. Ke mana laba-labanya? Mampus deh gueh. Saya menggerak-gerakkan kamar mandi dengan sandal dan sapu untuk benar-benar mengusir laba-labanya.
Setelah 15 menit berjuang dengan fobia dan memastikan area tersebut bebas arakhnid, saya bisa mandi dan cuss ke halte busway yang beroperasi 24 jam… pukul 04.32. AH! Dasar laba-laba kurang ajar, bikin telat!
Alhamdulillah saya hanya menunggu 7 menit untuk mendapatkan bus Transjakarta dan saya turun di halte Monas untuk shalat shubuh. Di dalam halte ada mushalla, sayangnya airnya tewas. Saya ingat saya masih punya wudu jadi saya tinggal shalat saja. Oh, sudah pukul 05.30, saya memilih turun di Glodok lanjut yang ijo-ijo.
Ojol tentu saja, apa lagi?
Sebenarnya saya bisa transit Transjakarta di halte Kota jurusan Pelabuhan Kali Adem, itu bus langsung turun di depan gedung pelabuhannya persis! Sayangnya karena saya takut telat jadi pakai ojeg online.
Oh, pastikan jika pakai ojol atau pribadi, tujuannya ke Pelabuhan Kali Adem, bukan Muara Angke. Karena mapsnya sering ditujukan ke tempat yang meleset sedikit, tapi muternya fatal. Walaupun ya memang tergantung trip masing-masing ingin bertemu di pelabuhan yang mana.
Ingat, pelabuhannya ada dua. Pilih yang kiri alias Kali Adem. Rute Transjakartanya 12A.
Sampai pukul 06.00, saya bertemu salah satu rekan kerja saya dan sarapan di sebuah warung pelabuhan. Murah-murah harganya. Nasi uduk dengan telur dan orek tempe saja hanya Rp12 hingga Rp15 ribu.
Setelah tiket dibelikan penanggungjawab, ternyata kami baru berangkat ke pelabuhannya pukul 08.00, dan lihat bangunan pelabuhannya sudah keropos begini,Akses ke pelabuhan memakai tangga, dengan ramp curam yang saya tidak tahu untuk siapa. Pengguna kursi roda pun ‘ogah’ lewat landasan curam seperti ini.
Serius, ada yang sampai jatuh saya lihat karena mencoba jalan di turunan itu. Ya sudah, yang penting sudah tiba di pelabuhannya.
Kami memakai Kapal Bahari Ekspress, yang kita sudah paham jika ada embel-embel ‘ekspress’ pasti cepatnya bukan main. Harga kapalnya pun jauh lebih mahal, Rp85.000.
Yay, dapat nomor kursi yang dekat jendela. Kapal pun diberangkatkan pukul 09.00. Wew, 3 jam kemudian dari saya datang ke pelabuhan. Tapi tidak apa, kapalnya memang beneran cepat. Cukup 45 menit saya sudah sampai di dermaga. Jika pakai kapal tradisional, katanya hampir 2 jam.
Tiba di dermaga, saya dan rombongan langsung diarahkan ke penyewaan sepeda terdekat. Di sana ada becak bermotor yang disingkat jontor… *hatchiim… bentor, jadi ada pilihan. Saya memilih sewa sepeda yang… aduh yang ini tidak dapat digowes, yang ini remnya tidak ada, yang ini keropos…
Akhirnya saya pakai sepeda yang remnya masih ada, sedikit. Yaampun, sudah stangnya tidak stabil, saya ngerem dibantu kaki pun masih hampir menabrak! Tapi persetan, penginapan hanya 800 meter dari penyewaan sepeda dan viewnya langsung laut! ‘Reee!
Datang langsung makan siang dan setelah shalat Zhuhur langsung snorkeling. Yang bagian ini tidak ada yang bisa dibahas. Yang pasti, Gunung Salak dan Gunung Karang terlihat jelas dari sini. Saya tidak foto karena di kapal motor warga ombaknya begitu tinggi. Ya sudah, saya langsung nyebur, dan jam tangan anti air saya hilang begitu saja. Sumpah, bete abis.
Hilangnya jam tangan saya jadi gosip seantero rombongan. Nais.
Setelah pulang, dan ganti baju serta Shalat Ashar, kami mengendarai sepeda lagi ke Jembatan Cinta. Saya menyebutnya jembatan sunset karena nanti di sanalah saya berburu sunset. Lagi, setir tidak stabil dan rem yang sangat tidak pakem, saya berakhir menabrak gerobak, padahal sudah pakai bantuan seretan kaki.
Teman saya juga menabrak sepeda motor, ya ampun.
Sampai di sana ada banana boat, sebuah perahu karet berbentuk pisang yang ditarik oleh kapal motor kemudian dibelokkan hingga terjungkir dan menewaskan seluruh penumpangnya… *bersin-bersin maksud saya, melempar seluruh penumpangnya ke air. Sepertinya sangat menyenangkan, tapi saya baru ganti baju jadinya malas ikut. Itu pun ditagih lagi Rp35.000 sekali pakai banana boatnya. Saya hanya melihat dari jauh sambil seruput air kelapa dan menikmati musik pantai dari HP saya.
Oh, di samping saya persis, ada kegiatan fenomenal di Pulau Tidung. Yaitu tentu saja, terjun dari Jembatan Cinta. Sepertinya memang tidak didesain untuk melakukan bunuh diri… *eh.
Menelusuri jembatan pinky tersebut bersama rekan kerja saya dan suaminya (sepertinya bisa jadi bulan madu kedua hehe) ternyata saya menemukan banyak spot untuk foto. Oh, suami rekan saya ternyata juga fotografer. Jadi masing-masing sama-sama photo fighting.
Ini, saat-saat romantis mereka… (saya jadi yang foto saja… hiks)
Hingga akhirnya saya sama-sama ikut difoto, namun bukan untuk suasana romantis, tapi suasana menangis…
Ya ampun. Belum puas, siluet-siluet saya yang lain mulai bergentayangan.
Kami asyik menjelajahi Pulau Tidung Kecil di ujung jembatan. Di sana tidak ada apa pun karena memang hanya ditujukan untuk konservasi alam.
Semakin sore, kami pulang. Ternyata kami ditinggal rombongan yang jadwalnya berburu sunset di tempat lain. Ya sudah, saya sudah puas kok, tidak perlu pindah ke lain hati… *ehem pindah ke lain tempat lagi dan memutuskan untuk benar-benar pulang bersama si sepeda bahlul. Bhahahah.
Setelah makan malam, ada acara bakar-bakar. Hanya ikan dan cumi-cumi yang dilumuri saus kecap. Sehabis itu, saya ingat ada lahan penginapan kosong di sebelah. Saya langsung ke sana untuk berburu bintang karena memang suasanaya gelap.
Tidak terlalu mengecewakan… setidaknya.
Paginya sebenarnya ada agenda ke Pulau Tidung Kecil, tapi kami waktu sore kemarin sudah, jadi saya melanjutkan bobok cantiQ saya. Saya tidak melihat sunrise karena mendung.
Pukul 09.00 saya bangun, rekan kerja saya langsung merekomendasikan saya ke tengah pantai karena dangkal. Benar, hanya sepaha orang dewasa saja tingginya, beradu bersama ikan-ikan dan rumput laut yang tiba-tiba putus pas saya sentuh. Waduh!
Hari mulai panas, saya melihat sepeda dari saung. Pikiran nakal, saya seret sepeda panas-panas ke tengah pasir, dan cekrek…
Alhamdulillah, saya berasa jadi fotografer prewedding hahah.
Tidak ada makan siang karena langsung pulang setelah shalat Zhuhur. Di depan ada warung jadi saya bisa makan mi goreng. Pulangnya pun kami berjalan kaki karena memang sudah malas dengan sepedanya. Rombongan lain saya tidak tahu, namun kami mencapai pelabuhan lebih dahulu.
Di jalan, saya bertemu dengan Rainbow Fire… mungkin akibat awan yang terlalu tinggi sehingga menjadi butiran es dan membiaskan cahaya matahari. MasyaAllah.
Sudah, kami pulang ke Jakarta, memakai kapal yang sama dan dilanjutkan dengan Transjakarta rute 12A yang dari Kali Adem itu. Saya bisa merasakan kamera saya bersendawa karena kenyang dengan hasil tangkapannya.
Pulau-pulau mungil di Kepulauan Seribu ini berada di utara Tangerang, itulah kenapa warga lebih sering berbelanja ke Tangerang daripada di Jakarta. Oh, kirim barang dari toko online bisa sampai tepat waktu lho, termasuk jika memilih opsi yang esoknya sampai. Kargo laut dikerahkan total di sini.
Mungkin lain kali saya bisa coba cari paket trip ke Pulau Pari, Pramuka, Kelapa, dan Harapan. Namun saya harus menyiapkan uang minimal Rp500.000, dan waktu ekstra tentu saja.
Ya Allah jarang-jarang saya bisa mampir ke pantai yang jernih di Pulau Jawa…
Saya berharap jadwal kapal laut ke Kepulauan Seribu bisa ditambah jadi saya bisa trip sendirian dan cukup sehari saja hehe…
Sayang, terumbu karangnya banyak yang sudah mati. 🙁