Curug Cigumawang

Bermula dari kebosanan saya setelah jam pulang kerja di lantai 20 di sebuah gedung di Jakarta. Membuka Google Maps dan mengobok-oboknya adalah termasuk kegiatan favorit saya saat jam-jam bete kantor. Pemandangan gedung-gedung yang menggugah ternyata tidak dapat menyelamatkan hasrat gunung yang bersemayam di lubuk jantung saya.

OH IYYAA…! Banten kan punya gunung, kalo nggak salah ada dua biji. Di mana-mana jika ada gunung di sana ada orang bingung, aduh, maksudnya air terjun. Daannn… dugaan saya benar. Muncul jerawat-jerawat di Google Maps yang bertuliskan curug ini dan itu di sekitar Gunung Karang dan Pulosari.

Tapi… saya adalah anggota dari perkumpulan ATM yang merupakan kependekan Automatic Teller Machine… eh salah, maksudnya komunitas Angkot Traveller Mania (komunitas macam apa itu) yang anggotanya -hanya- saya sendiri. *tepukTangan

Saya tidak melihat bahwa curug-curug tersebut ramah angkot. Sayang sekali. Atau… ya sudah saya coba cari salah satu di Google dengan kata kunci yang lebih spesifik di mana kemudian saya melihat rekomendasi dari warga Net berupa wana wisata Curug Cigumawang yang angkottable. YoY!!!


Apa? Ramalan Cuaca?

Biasanya saya hanya mau berpetualang jika hari cerah, maka dari itu saya selalu cek ramalan cuaca setiap saya ingin membolang. Namun kali ini saya pasrah mengenai cuaca karena tiga alasan: ini memang sudah musim penghujan, ini adalah wilayah air terjun yang bertebing (mungkin tidak ada pemandangan langit), dan saya karena memang pasrah.

Saya bertekad Sabtu itu, pukul 08.24 akhirnya terbang sekuat tenaga ke tempat tujuan. Hujan deras? Tak apa, saya sudah pasrah. Lagipula saya baru beli jaket parasut mahal! Mhuahahahaha! Sesampainya di Pasar Rebo, saya langsung bertemu bus Primajasa jurusan Merak. Oh tengkyu… harganya jika turun di Serang adalah Rp30.000,-.

Tentu saja, saya turun di terminal Pakupatan dalam kondisi hujan-hujanan, tetapi semua airnya mental dengan jaket anti air dan payung saya. Saya mencari seorang gadis untuk saya pinang… bukan, untuk saya tanya kemana arah ke Padarincang. (Maaf ya, yang nulis ini jomblo jadinya kalimatnya sering aneh)

Eh ternyata yang jawab malah tukang ojek. Yah, ‘nembak’ si enengnya gagal deh. Oh please, ini bukan sinetron. Saya akhirnya diberi tahu bahwa saya harus naik angkot biru ke Kebon Jahe/Rau. Sebenarnya angkot jurusan Kebon Jahe atau Rau adalah angkot yang sama, namun supir angkot bisa saja mengubah jalur sesuai moodnya. Wait, what?

Jadilah saya naik yang ke Kebon Jahe namun justru si abang supir bertukar pikiran sehingga jurusannya berubah menjadi jurusan Rau. Alasannya karena kampus UIN sedang ada acara wisuda jadi bikin macet. Yaampun.

Dari Pasar Rau saya diturunkan serta di-booking-kan angkot hijau ke Padarincang oleh orang-orang. Wah baik sekali… Oh, tadiΒ tarif angkotnya Rp5.000,- dari Pakupatan ke Rau (padahal sepertinya dekat jaraknya). Di dalam angkot Padarincang saya dikelilingi oleh ibu-ibu yang baru pulang dari Pasar Rau sehingga angkot penuh belanjaan. Kebetulan di sebelah saya ada si eneng yang cantik, memandu saya mengenai Padarincang ini.

Si eneng yang jadi kamus berjalan justru malah tidak tahu di mana lokasi Curug Cigumawangnya.

Namun saya dapat info bahwa tarif angkot ke Padarincang ini adalah Rp20.000,- jika dari Rau, dan Rp15.000,- jika dari Kebon Jahe. Saya hanya menarik nafas panjang, agak sebal mengingat sang supir angkot barusan mengubah rute yang tadinya ke Kebon Jahe malah jadi ke Rau gara-gara penumpang lebih banyak yang ke Rau. Yasudadeh selisih goceng ini…


Dibackup keramahan

Sepanjang perjalanan di angkot menuju Padarincang saya melebur dengan para ibu dan nenek yang baru pulang di pasar. Semua membantu saya dalam mengarahkan rute ini dan itu, daerah-daerah yang rawan begal, suku-suku badui di Banten selatan, dan terakhir berbicara mengenai bahwa daerah Banten sini memiliki sangat banyak pesantren dan kiyahi. Selanjutnya sudah saya buktikan sendiri begitu banyak santri yang lalu lalang di jalan.

Tempat pemberhentian terakhir angkot ini ternyata bukan tepat di Pasar Padarincang, melainkan 100 meter sebelumnya. Kebetulan perut saya sudah mengamuk dan di seberang ada yang jual bakso dan mi ayam, jadinya ya sudah saya menyerang balik lambung saya dengan hantaman bakso-bakso murah yang harganya bahkan tidak sampai sepuluh ribu. Setelah itu saya lanjutkan dengan Shalat Zhuhur di masjid pas beberapa meter setelah rumah makan baksonya.

Perjalanan angkot ke Padarincang menghabiskan waktu 1 jam.

Terus lurus jalan ke arah pasar, nanti di kiri atau selatan kalian ada gang yang nggak sempit-sempit amat mengarah ke desa Curug Dahu. Atau jika kalian menggunakan GPS dan Google Maps, dapat melihat ke gambar berikut.

Curug Cigumawang

Saya kembali lagi masuk ke daerah antah-berantah yang mengingatkan saya sewaktu perjalanan ke Curug Putri Pelangi. Jalan terus sampe bosen sampai bertemu dengan plang parkir sepeda motor Curug Cigumawang kemudian kalian belok kiri dan jangan sekali-kali lurus. Dari sana memang agak komplikatif mengikuti gangnya.

Seingat saya adalah ke kanan, ke kiri, ada jembatan sungai, ke kanan, ada mushalla, ke kiri lagi, kemudian jika kalian menemukan jalan beraspal yang agak besar, wajib ke kanan karena jika ke kiri artinya kalian balik lagi ke jalan besar. Yah begitulah, tidak ada petunjuk khusus.

Tetapi jangan khawatir, masyarakatnya super ramah kok. Banyak santri juga di sepanjang jalan.

Oh sebelumnya, saya sempat diberitahu seorang pemuda sewaktu saya mencoba berjalan lurus dari lokasi tempat parkir dan saya justru dapat tumpangan gratis meskipun mungkin hanya 300 meter dan dia menolak sama sekali diberikan upah. Alhamdulillah, rezeki anak sholeh.

Kemudian 700 meter sebelum curug, kalian akan menemui jalanan menanjak yang cukup menguji ketahanan jantung kalian. Saya cukup ngos-ngosan menanjaknya. Beruntung meskipun curam, tanjakannya mungkin hanya 200 meter dan di akhir tanjakan ada saung untuk duduk, namun saya tidak duduk. Hehe…

Dari sana sudah dekat dengan curug dan ada parkiran sepeda motor Curug Cigumawang (hah, lagi?). Tapi bagi kalian yang membawa kendaraan pribadi, di sinilah tempat parkir yang sebenarnya, bukan yang sebelumnya, karena jaraknya masih sangat jauh dari tempat parkiran pertama (sekitar 2/3 lagi jika dari gang Pasar Padarincang).

Eh, ada plang arah ke Curug Cigumawang! YoY!


Sebentar, pelan-pelan…

Eh, saya harus melewati turunan tanah merah yang sangat licin ya? Licinnya karena basah habis hujan. Jadi saya harus mencari celah untuk dapat memijak aman sebab sepatu saya sepertinya tidak mau kompromi.

Begitu baru saja melangkah…

ehh… ehhHHH…! GEDEBRUG!

Sial! Saya kepleset. Celana jins saya yang bagus ini terpoles noda coklat kemerah-merahan yang sangat alami membentang dari ujung kaki hingga ke bagian bokong. ZBL! ZBL!

Curug CigumawangLihat! Bagaimana jalan seperti ini dapat dilewati?!

Dan saya benar-benar sendirian pada saat itu. Saya tidak tahu apakah itu hal baik atau buruk. Yang pasti, pertama-tama saya harus melewati jalanan semisal ini. Bagaimana caranya? Akhirnya saya punya inisiatif untuk menginjak rerumputan dan… berhasil! Maaf ya rumput…

Sampai bawah saya bertemu warung yang ternyata sebagai gerbang tiket juga. Belum sempat saya berkata apapun, si akang perobek tiket menagih Rp5.000,- dan menyerahkan sebuah kertas tiket kepada saya sembari berkata,

“Nanti di depan ada tiket lagi seharga Rp5.000,- juga jadi biar tidak komplain.”

I’m sorry, but what?! Kok kayak ketakutan amat ya dikomplain? Ya sudah saya kemudian lurus terus tanpa dipandu lewat jalan mana, atau setidaknya diberi petunjuk. Jadi terpaksa saya menemukannya sendiri hingga akhirnya saya menyebrang dan jalanan tiba-tiba menjadi…

Curug Cigumawang

Oh no. Please don’t! Saya harus berhati-hati melewatinya. Eh, tapi cukup lebar sih, jadi saya berjalan sambil nari topeng monyet pun tidak terlalu bermasalah… sepertinya. Kemudian setelah ada jalan yang mulai dibeton… meskipun secuil doang sih. Saya menemukan…

Curug Cigumawang

Gerbang tiket lagi, seperti dugaan saya.

Ya sudah akhirnya saya bertemu gerbang tiket ke-dua yang di mana Rp5.000,- saya berpindah manis ke tangan sang perobek tiket. Bye, saya tidak akan merindukanmu wahai goceng. Yang pasti tinggal beringsut sedikit dari gerbang tiket, saya mendengar ada bunyi-bunyian merdu dari alam memanggil-manggil saya yang sendirian ini dari kejauhan.

Sendirian. *adaSuaraEfekTangisan

Curug Cigumawang

Ahh… oke… Betewe curugnya ‘kotor’ banget ya? Mungkin karena habis hujan membawa tanah merah atau bagaimana? Tapi banyak gubuk yang telah disediakan masyarakat baik di sini sehingga saya bisa buru-buru melepas penat di… wait, saungnya kotor. Banyak bekas mie dan nasi. Yaampun.

Saya akhirnya hanya duduk di bagian pojok gubuk demi selamat dari ceceran mie dan nasi yang menghiasi gubuk. Ini manusia pada jorok amat ya?! Tempat sampah pun saya tidak melihat satu. Sayang tidak saya foto ‘kejorokan’ tersebut.

Setelah duduk apa lagi? Saya hanya menikmati suara-suara alam dan pemandangan gerombolan partikel air yang ‘bunuh diri’ dari atas tebing menimbulkan kepulan percik air di mana kemudian sekeliling terlihat ngebul.

Curug Cigumawang

Serius. Saya benar-benar sendirian di sini.


Suara biola lembut dari alam

Saya lepas tas, lepas headset, lepas jaket, dan lepas baju… eh baju tidak saya lepas, jaket pun tidak sepertinya, karena serangan kepulan uap air tersebut sedikit agak brutal, ditambah lagi angin yang sepertinya bersekongkol menyebarkan para tentara uap air tersebut.

Di satu sisi kamera saya meronta-ronta ingin digunakan, namun saya tetap tidak bisa ke depan. Tunggu sampai anginnya anteng sedikit ya…

Saya melihat sekeliling barangkali ada objek yang bisa meredakan sedikit teriakan dari kamera saya yang sepertinya sudah lapar ingin menjepret sesuatu. Eh, ada curug ‘mini’ :

Curug Cigumawang

Gimana kamera? Puas?!

Sebentar, saya lupa jaket saya anti air. Jadi saya tanggalkan tas saya dan saya pelan-pelan menuju curug yang debit airnya sedang tidak main-main.

Saya pun tidak bisa melaju jauh ke depan karena pijakan semennya juga terendam aliran sungai yang meluap. Jadi bagaimana mumpung masih sepi, saya taruh kamera saya di sebuah gubuk yang saya ganjal dengan sebuah batu sehingga saya bisa pasang timer dan candid?

Ide bagus! Dan sepertinya hasil fotonya tidak sejelek yang saya kira,

Curug Cigumawang

Oh iya, saya pengen foto payung saya ah.

Tetapi tak lama kemudian saya melihat beberapa pedagang ingin membuka lapaknya dan para pengunjung, anak-anak remaja, yang datang dari sisi seberang. Mereka memenuhi pemandangan air terjun, begitu juga para pengunjung muda yang berfoto dengan gaya yang seperti di film Titanic di depan air terjun. Semoga tidak ikut tenggelam juga seperti di film itu. Bhahahah.

Akhirnya saya mundur agar saya bisa memotret candid payung saya. Namun angin sepertinya tidak membiarkan saya tenang. Payungnya selalu tertiup angin! Karena tidak bisa diam, saya kesal lalu saya tinju payung saya itu dengan keras. Yang pada akhirnya payung yang telah menemani saya selama setahun lebih itu… rusak. NOOO!!!!!

Ya sudah saya pulang. Di jalan setidaknya saya menemukan kambing yang sedang bercinta tepat di depan saya yang sendirian ini. Ya Allah, kenapa hari ini alam kayak seneng banget ya ngeledek diriqquh yang rapuh ini…

Curug Cigumawang


Bai Bai…

Menunggu angkotnya hanya 15 menit. Kosong lagi. Ya sudah saya naik. Sebenarnya di sekeliling banyak tempat wisata, namun kebanyakan hanya pemandian air panas saja. Di jalan pun saya melihat Gunung Karang sedang berbangga diri di depan pemandangan. Subhanallah!

Saya ngantuk. Ya sudah saya bobok di samping pak kusir, eh supir.

Di Kebon Jahe, saya kembali menyambung angkot biru ke Terminal Pakupatan. Namun acara wisuda UIN masih berlangsung sehingga macetnya masih membara. Supir angkot mengeluh, penumpang yang di sebelahnya juga. Mereka sepertinya belum kenal jalanan di Jakarta huahahahaha!

Angkot akhirnya putar jalan (lagi?) menuju celah yang tidak macet, yang mana pada akhirnya kena macet juga. Mesin angkot tiba-tiba panas dan supir meminta maaf pada penumpang agar bermigrasi ke angkot lain dan tidak perlu bayar. Oh ya ampun, setidaknya sang supir meminta maaf dan bertanggung jawab. Terima kasih.

Eh saya belum shalat ashar, jam sudah menunjukkan pukul 17.12. Untung angkot mogoknya pas dekat pertingaan tol jakarta. Dan sebelum itu ada plang masjid di rumah sakit Sari Asih. Jadi saya bisa masuk melalui jalan yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit menuju masjid.

Di lorong area rumah sakit menuju masjid, saya menemukan bunga-bunga beserta kupu-kupunya. Tak ada orang, saya mengeluarkan kamera dengan cepat dan leluasa bergaya demi mendapatkan si cantik berikut.

Curug Cigumawang

Setelah itu saya jalan menuju pertigaan dan melompati pembatas karena jalannya ditutup. Sumpah, repot bener. Eh ada bus Primajasa yang ke arah… Tunggu, itu arah Rambutan apa Merak?! Para kru bus dibantu dengan seseorang yang tidak berseragam (siapa itu? Temannya?) menunjuk ke arah kirinya. Saya hampiri dan berkata, “Rambutan?”

“Meraakk! Kalo sono Merak! Sono…”

Ya ampun, ngasih taunya kok begitu sih. Mana saya tahu sana sono sana sono. Tinggal ngomong Merak dengan sopan saja apa susahnya sih, nggak pernah dididik atau bagaimana? Untung si doi tidak berseragam. Jadi saya tidak berasumsi bahwa itu kru bus.

Bus yang lewat ternyata banyak ya… ada bus jurusan Labuan – Kalideres juga.

Akhirnya ada bus… apa namanya? Murni Prima? Laju Prima? Laju Murni? Maaf saya lupa. Pokoknya Jurusan Kampung Rambutan. Kabar baiknya? Para kru menunjuk ke arah kanan! YaY. Begitu saya tanya, “Rambutan?” Pintu pun terbuka dengan lebar.

Mungkin karena pola kursinya 2-2, saya dikenakan tarif Rp40.000,-. Sepanjang perjalanan ternyata banyak bus yang menaikturunkan penumpang di tol ya. Begitu pun sewaktu saya naik bus lewat tol Cipali dan Purbaleunyi. Tapi ya sudahlah, ini serba salah jadinya. Saya pun tidak membiarkan dan tidak melarang juga.

Saya sudah me’register’ jamak ta’khir saya kepada Allah. Jadi saya tidak perlu khawatir tertinggal shalat Maghrib. Alhamdulillah.

Baidwey, para penumpang disuruh migrasi bus lagi karena alasannya AC bus mati. Padahal penuh lho itu. Kali ini tanpa tanggung jawab dan permohonan maaf. Payah! Masa kalah sama supir angkot! Pada akhirnya,Β  saya diteruskan ke bus Primajasa juga, yang jika saya lebih sabar sedikit menunggu di Serang, saya pasti dapat. Tapi ya mau bagaimana lagi…

Dan besoknya ketika saya menulis ini, langit cerahhhh…!!!! Mau maki-maki… sepertinya. Tapi tidak tahu kepada siapa.


Galeri

Curug Cigumawang Curug Cigumawang Curug Cigumawang Curug Cigumawang Curug Cigumawang Curug Cigumawang

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    3 in 1 + Puas Pol: Bogor, Curug Jatake

    Berikutnya
    Dramatis Sekebon: Garut, Curug Orok


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas