Semenjak ada Instagram, atau setidaknya, media-media sosial yang mulai giat mempromosikan setiap tempat-tempat wisata antimainstream di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sektor pariwisata di negeri ini sepertinya mulai menguat dan dapat mendomplang ekonomi daerah bersangkutan dari pendapatan tiket masuk. Terlebih lagi, banyak swadaya kreatif yang mulai membuat platform-platform selfie di mana wahana rekreasi sekarang juga merambah ke dunia fotografi.
Saya cukup mengapresiasi wahana-wahana rekreasi seperti itu semenjak saya mendatangi Puncak Mustika Manik yang berada di kawasan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak) atau Kawasan Wisata Gunung Salak Endah. Semenjak itu, saya terus mencari rekreasi yang menawarkan fitur serupa. Saya mengira pijakan-pijakan selfie itu bermula dari wisata Kalibiru yang berada di Yogyakarta.
Hampir semuanya ternyata dikelola oleh swadaya masyarakat sekitar, tanpa ada campur tangan pemerintah. Namun sayangnya, indahnya tempat-tempat tersebut tidak dibarengi dengan indahnya manajemen pengelolaan. You know, swadaya.
Melihat lonjakan pendapatan yang tak terkira dari para wisatawan yang sengaja ingin melepas penat setelah seminggu bekerja di tempat rekreasi kreatif yang sekaligus menyajikan pengabadian momen, maka banyak pengelola lokal alias swadaya masyarakat sekitar mengarahkan setiap pemuda atau siapapun yang memiliki kapabilitas untuk membangun hal serupa.
Tidak hanya seputar pijakan selfie, banyak akhirnya yang mencoba mengembangkan hal lain seperti rumah terbalik, rumah hobbit, sepeda layang, transportasi air, hammock bertingkat, dan lain sebagainya agar semakin menarik para pengunjung. Ditambah lagi, sesi marketing meng-endorse semuanya via jejaring sosial terutama Instagram dengan foto-foto terbaik yang dapat membuat rahang seseorang terlepas melihatnya.
Hingga kini, sudah sangat banyak tempat-tempat wisata di dataran tinggi yang begitu mengandalkan fitur-fitur tersebut. Tak mau kalah, di dataran rendah para pegiat dari swadaya masyarakat lokal juga berbondong-bondong menghias tempat-tempat potensial yang berupa pantai.
Semua itu demi siapa? Demi pengunjung kata mereka. Untuk apa pengunjung datang? Pendapatan, tentu saja.
Sampai terakhir saya berkunjung ke Curug Citambur, yang juga ternyata memiliki sebuah fitur serupa seperti rumah terbalik dan pijakan selfie, ternyata saya sudah tidak tertarik lagi untuk berfoto di sana mungkin karena sudah terlalu bosan dengan pijakan-pijakan selfie begitu, kecuali di rumah terbaliknya, yang dikenakan biaya lebih sebesar Rp5.000,-. Sebenarnya masih dalam lingkup wajar karena tiketnya memang ada.
Yang lebih parah, sekarang banyak wahana selfie yang justru ditarik biaya lebih di luar tiket utama. Seperti yang telah saya ungkap di artikel ini, hampir setiap fitur selfie dikenakan biaya lebih di luar biaya utama, menjadikan tempat wisata tersebut tidak dapat lagi dikatakan sebagai tempat untuk melepas penat karena banyaknya antrian yang ingin jua berfoto.
Kita sekarang berbicara masalah yang lain. Saya pernah berkunjung ke Small World di Purwokerto, di mana banyak miniatur-miniatur dunia yang dapat digunakan untuk berfoto ria. Tempat tersebut hanya memerlukan sekali pembayaran tiket untuk semuanya. Namun ketika saya ke sana, sepertinya tempat tersebut agak lumayan sepi, padahal hari Minggu. Ada apa?
Ternyata setelah diskusi dengan teman saya, kelemahan tempat wisata yang dimaksudkan hanya untuk berfoto saja tidaklah begitu dapat bertahan lama. Kenapa, karena memang tempat wisata dimaksudkan untuk melepas penat, sementara foto-foto adalah hal yang lain. Apalagi ketika kita menyadari, jarang ada orang yang ingin berfoto di tempat yang sama dua kali dalam waktu dekat, ditambah lagi, saingan-saingan yang menawarkan fitur serupa mulai menjamur.
Pertanyaan saya, apakah wahana-wahana wisata yang memiliki tipe seperti itu dapat bertahan? Jawabannya bisa saja. Ambillah contoh Little Venice Kota Bunga yang masih selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan. Alasannya praktisnya, karena Little Venice dikelola perusahaan swasta yang mengerti manajemen. Meskipun banyak biaya tambahan di dalamnya, tetapi itu semuanya transparan dan tanpa ingin dikenakan biaya tambahan pun, pengunjung masih dapat menikmati banyak aspek di Little Venice dengan sangat puas. Begitu juga dengan Curug Bidadari yang sama-sama dikelola oleh perusahaan swasta.
Setiap orang pastinya lebih menyukai konsep “All in One Ticket” atau semua fitur dalam satu pembayaran. Sekalipun memang karena pihak pengelola tidak memerlukan pembayaran lebih, maka biaya tambahan dapat disebutkan dengan transparan tanpa mengganggu rencana para pengunjung yang notabene merupakan sumber pendapatan tempat wisata. Lagipula, jika dikelola oleh ahlinya, maka uang yang diterima pun lebih difokuskan untuk perbaikan pelayanan demi kenyamanan pelanggan agar para pengunjung tetap menjadikan wahana wisata tersebut menjadi favorit mereka.
Dapat kita lihat juga Taman Bunga Nusantara di Puncak, Cianjur yang mana kita dapat menikmati semuanya tanpa dikenakan biaya terpisah. Cukup dengan tiket mahal di awal, namun kita puas. Biaya lainnya pun sangat transparan tetapi itu semua hanya pilihan, tidak wajib dan tidak dipaksa. Contohnya, ada fitur tram yang jika kita tidak naik dan memilih berjalan kaki pun, tidak mengapa.
Sekarang bagaimana kebanyakan pengelola lokal dalam mengurus tempat yang menjadi maskot mereka?
Sekarang saya bahas masalah utama yang menjadi perhatian artikel ini. Pungli. Benar, pungli. Saya menjuluki orang-orang yang melakukan pungli dengan istilah Punglers. Saya terpikir menulis ini setelah kemarin saya ke Pulomerak Kecil ditagih Rp100.000,- oleh warga sekitar yang katanya sebenarnya bisa hanya dengan seperempatnya. Merenung panjang di Polsek Merak, saya memutuskan untuk membahas ini.
Pungli atau Pungutan liar, di mana sekarang hal ini menjadi patokan kita dalam menentukan apakah sebuah tempat wisata layak dikunjungi atau tidak. Beruntung sekarang ada Google Maps, yang menyediakan review dan rating untuk setiap tempat-tempat yang ingin kita jamahi. Saya biasanya membaca dulu apakah tempat tersebut ramah wisatawan atau tidak, termasuk pungli.
Bukan hal aneh jika saya menemukan review sebuah tempat wisata yang menyebutkan bahwa banyaknya tiket terpisah dan pungli bertebaran di area wisata. Yang paling sering adalah tiba-tiba munculnya guide dadakan yang kita bahkan tidak mengharapkan kehadirannya, kemudian tiba-tiba menagih sejumlah uang dari kantong kita tanpa diiringi oleh pelayanan yang berarti.
Salah satu dari celah yang dimanfaatkan para punglers tersebut adalah lahan parkir. Seringkali teman saya parkir dengan kendaraannya di tempat parkir dalam area wisata, namun ada orang yang tidak dikenal tiba-tiba menagih sejumlah uang yang alasannya sebagai biaya parkir. Bahkan saya sendiri curiga apakah orang-orang tersebut legal atau tidak.
Belum lagi tiket terpisah yang membuat kita kaget setengah mati. Berapa kali tempat wisata yang saya pikir sudah aman setelah bayar tiket masuk namun di tengah-tengah masih saja ada loket dadakan. Begitu juga dengan kasus kemarin ketika saya mampir ke Curug Cikaso, di mana tiket pemerintah dan tiket swadaya benar-benar dipisah, dan kita diwajibkan untuk membayar keduanya.
Saya tidak mengerti akan bagaimana pola pikir para pengelola kawasan wisata seperti itu. Mereka ingin pendapatan mereka melonjak tajam sementara mereka sendiri justru ‘mengusir’ orang-orang yang menjadi sumber pendapatan mereka dengan sistem yang mereka buat itu.
Customer adalah raja, sedangkan pengunjung adalah customer, bagaimanapun sifat pengunjung, pengelola harus tetap menghormatinya jika ingin tempatnya tetap dikunjungi. Pengelola yang membutuhkan uang pengunjung, sedangkan pengunjung akan dengan mudah mencari alternatif wisata lain jika pelayanannya tidak menyenangkan.
Belajarlah kepada pengelola-pengelola swasta yang telah sukses mempertahankan pengunjung mereka, karena beberapa tempat wisata yang telah saya kunjungi pun terlihat sepi meski weekend, di mana pernah saya tanya seorang penjual makanan yang biasanya laku 3 kardus, namun pada saat itu 1 kardus saja masih belum habis, padahal hari itu adalah hari libur kerja. Ada apa?
Perlu dicatat baik-baik, Customer memiliki sifat tidak mau tahu, jika memang ada yang merasa tidak nyaman dengan manajemen sebuah usaha, maka pastinya dia tidak akan kembali lagi atau bahkan mengajak setiap orang yang ia kenal agar mereka tidak mendatangi usaha tersebut.
Pastinya para punglers akan menolak disebut pungli, namun tetap saja alasan mereka tidak masuk akal. Uang pengunjung akan dibagi-bagi kepada rekannya tanpa ada alasan yang sah didengar telinga, menunjukkan mereka hanya dapat berpikir untuk sementara.
Seorang bapak pengelola tempat wisata yang masih dipegang oleh swadaya pernah berdiskusi dengan saya mengenai manajemen tempat wisata. Saya sarankan agar memasang loket kasir agar harganya terpampang jelas dan wisatawan akan senang. Tidak apa menembak harga tinggi asal transparan selama tidak keterlaluan.
Si Bapak menolak dengan alasan takut dibilang memainkan harga. Namun saya kembali katakan padanya bahwa justru lebih parah jika bapak tiba-tiba mendatangkan orang sekitar kemudian dipungut harga tanpa standar harga yang jelas. Alih-alih swadaya sejahtera, bisa-bisa jadi lebih terpuruk karena ditinggalkan wisatawan.
Inilah minus manajemen kepariwisataan di negeri ini, semua dibiarkan untuk memungut untung berdasarkan hasrat mereka sendiri tanpa adanya manajemen yang jelas. Sedangkan pemerintah pun terlihat lepas tangan meskipun pendapatan daerah dapat didongkrak dari sektor pariwisata yang mana jika memang ternyata surplus, maka hal itu dapat berpotensi menambah APBD atau bahkan meningkatkan UMR daerah tersebut.
Namun sayangnya kita terlalu cuek demi keuntungan yang hanya bersifat sebentar. Seakan persetan dengan fluktuasi customer di masa mendatang, tanpa mempedulikan apa itu manajemen. Apa yang terjadi jika hal ini ternyata akan jadi review negatif bagi orang-orang luar negeri yang menjadi wisatawan?
Sebenarnya tak sulit mengatur manajemen khususnya di bidang pariwisata ini. Swadaya masyarakat itu sendiri sudah memiliki banyak orang kreatif yang dapat membangun fitur-fitur menarik di daerah piknik tersebut, maka sepertinya bukanlah hal yang sulit untuk mengatur manajemen kreatif yang sederhana dan cukup membuat para pengunjung nyaman serta membuat pengunjung-pengunjung tersebut tetap ingin balik lagi lain waktu.