Pabrik Tempatku Bekerja Berhantu
urban legend by : anandastoon
Teman-temanku selalu memandangku dengan tatapan tidak percaya saat mereka tahu dimana aku bekerja.
Mereka bilang pabrik tempatku bekerja itu menyeramkan. Mereka bercerita bahwa dahulu memang pernah terjadi malfungsi salah satu mesin pabrik sehingga salah satu komponen meledak dan terjadilah kebakaran besar di pabrik tersebut.
Untungnya tidak ada korban jiwa, namun pabrik tersebut memang sudah disegel dalam waktu yang sangat lama. Teman-temanku tidak tahu jika pabrik tersebut telah kembali diaktifkan oleh seorang konglomerat dan kembali beroperasi.
Aku berkata, bahwa sudah sebulan aku bekerja di sana, tidak pernah kutemukan apa pun yang menggangguku, bahkan meski aku berada di dalam tempat yang agak redup seperti gudang atau bahkan di toilet. Ruangan sepertinya selalu dalam keadaan terang selama 24 jam.
Kuakui, sewaktu aku pertama kali mendapatkan panggilan bekerja dari lamaran yang kukirimkan berkat lowongan yang kutemukan di pagar pabrik tersebut, aku masih mencium bau lumut yang sepertinya masih banyak kutemukan menjalar di dinding.
Aku pikir karena itu adalah pabrik tua, jadi aku tidak terlalu peduli. Aku hanya ingin bekerja dan mendapatkan uang. Itu saja.
Pabrikku itu adalah pabrik barang-barang pecah belah. Aku bekerja di bagian pencatatan barang.
Lagipula di sini suasananya hangat. Rekan kerja yang begitu nyaman dan asyik diajak berbicara.
Omong-omong, aku selalu mendapatkan shift pagi. Jadi aku berandai-andai bagaimana rasanya jika aku mendapatkan shift malam.
Hingga suatu hari aku mendapatkan double shift karena rekan kerjaku yang mendadak tidak masuk jadi aku yang harus menggantikan pekerjaannya. Jadilah aku dua belas jam bekerja di hari itu.
Semuanya di pabrik itu begitu normal hingga waktu sore tiba.
Saat langit mulai gelap, kulihat mentari telah terbenam dari jendela, entah mengapa atmosfer kurasakan menjadi begitu tidak nyaman.
Aku tidak dapat jelaskan apa itu, jadi aku kembali ke meja kerjaku meneruskan produksi yang masih harus di selesaikan.
Sambil kususun beberapa kotak kemasan, aku mengutarakan kegelisahanku.
“Pada ngerasa gak sih? Hawanya gak enak banget?”
Saat kuharapkan jawaban dari rekan-rekan kerjaku, yang kurasakan adalah kekakuan yang begitu kuat. Tidak terdengar apa pun selain hanya suara barang-barang yang sedang dipindah-pindahkan.
Aku menoleh kepada salah satu rekan kerjaku yang duduk bersebelahan denganku, mencoba memecahkan suasana.
“Heh, pada serius amat…”
Rekan kerja di sebelahku masih sibuk dengan penyusunan barang-barang. Dia diam tak menggubrisku sama sekali.
Satu hal yang kuperhatikan, gerakannya benar-benar terlihat sama berulang-ulang. Begitu pun dengan rekan kerja yang lain. Semuanya seperti mesin yang melakukan gerakan sama berulang-ulang.
Aku bertanya-tanya apakah mereka sudah dilatih seperti itu? Aku tidak pernah melihat pegawai yang bekerja setelaten ini di waktu siang. Apakah orang-orang di shift malam lebih serius?
Aku kemudian menyadari sesuatu… tidak ada dari rekan kerjaku yang pulang dari shift pagi, tidak ada juga pegawai shift malam yang datang. Mereka semua tetap di tempatnya.
Aku sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Sejenak aku berpikir apakah ini hanya mimpi, namun aku yakin aku sedang bangun seratus persen.
Aku semakin tidak nyaman dan mulai mengemasi tas kerja.
“Mau kemana? Buru-buru amat?”
Terdengar rekan kerjaku yang di sebelah bertanya kepadaku saat aku berkemas. Tapi, suaranya tidak memiliki intonasi. Hanya datar dan… begitu dingin.
Aku semakin berkeringat, aku menjawab dengan agak kaku, “A… aku… tidak kemana-mana… h… hanya ber… kemas…”
Tidak ada jawaban lagi.
Aku menelan ludah, perlahan melihat ke arah rekan kerjaku.
Ternyata ia sedang memperhatikanku… dengan wajah pucat…
…tanpa bola mata. Hanya dua buah lingkaran hitam di tempat yang seharusnya menjadi matanya.
Rekan-rekan kerjaku, eh, bukan… sosok-sosok itu… mulai pelan-pelan menengok ke arahku, semuanya pucat tanpa bola mata.
“Kau sudah tahu…”
Sosok itu berucap lagi, masih dengan suara datar dan sangat pelan.
Langsung saja aku meraih tas kerjaku dan berteriak keras sambil berlari keluar ruangan, meninggalkan sosok-sosok yang masih menatapku dengan tatapan kosong.
Atmosfernya semakin menggelisahkan, semua bulu kudukku berdiri tanpa ampun!
Aku berlari sepanjang koridor, berteriak. Aku hanya ingin keluar dari tempat terkutuk ini!
Di tengah-tengah itu tanpa sengaja menatap ke ruangan lain, menjeda lariku.
Setiap pegawai yang ada di ruangan itu sedang memperhatikanku dengan tatapan kosong yang juga tanpa bola mata.
Aku semakin berteriak, kembali berlari sepanjang koridor.
Di mana pintu keluarnya? Koridornya kuyakin tidak sepanjang ini! Aku terus berlari, namun sepertinya tidak pernah sampai ke ujung koridornya.
Aku tidak tahu, tetapi rasanya aku selalu kembali ke koridor yang sama. Seakan-akan saat aku sampai di ujung akhir koridor, itu menjadi di ujung awal di koridor itu.
Kulihat para sosok pegawai itu perlahan bangun dan menuju pintu ruangan mereka, berdiam lebih dekat di sisi koridor, kembali memperhatikanku yang sedang berlari dengan putus asa.
“Kau mau kemana… belum waktunya pulaannggg…”
Mereka mengeluarkan suara tanpa intonasi itu bersama-sama, membuat gaung yang mengerikan terpantul di dinding-dinding koridor.
Pada akhirnya aku kelelahan berlari di koridor yang sama akhirnya berhenti dan menunduk lemas.
“Cuukuuppp…! Aku mau pulanggg…!!! Izinkan aku pulaanggg…!” Aku berteriak memohon kepada sesuatu yang bahkan tidak aku ketahui apa itu.
“Tidak kami iziinnkaaannn…”
Gaung yang dihasilkan oleh suara sosok-sosok itu kembali memecah ruangan. Kali ini mereka mendekat kepadaku semuanya dengan berjalan yang semakin lama semakin cepat. Aku sepertinya ingin dikeroyok…
Aku menutupi kepalaku dengan ransel kerja dan terus berteriak sekuat tenaga, meminta tolong.
Aku terus berteriak selama mungkin.
Sampai akhirnya, tak terasa suaraku telah habis karena begitu lama berteriak. Aku kembali dalam keheningan. Tidak ada suara apa pun terdengar selain dari suara jangkrik malam.
Perlahan, kuturunkan ranselku untuk mengintip sekeliling sambil gemetar ketakutan.
Gelap, aku tidak terlihat apa pun sejauh mata memandang. Bau lumut dan kayu-kayu lapuk tiba-tiba begitu menyengat hidung. Semilir angin dingin dari ruangan gelap itu menyambangiku. Aku kebingungan, berada di mana sekarang diriku.
Dari bawah, aku melihat seberkas cahaya, asalnya dari belakangku.
Aku berbalik melihat asal cahaya.
Kini tepat di belakangku adalah pintu masuk yang sudah tidak ada lagi gagang pintunya. Cahaya itu berasal dari lampu jalan yang hampir tertutupi pepohonan liar di gerbang pabrik. Aku berlari keluar.
Bersamaan dengan itu, aku melihat sebuah taksi yang lewat dan berteriak memberhentikannya. Taksi itu berhenti.
Aku buru-buru membuka pintu depan dan melemparkan diriku ke joknya. Aku hanya ingin pulang.
“B… bawa aku ke jalan Mangga 16.” Aku berkata sambil menggigil. Gigiku bergemeretak.
“Kau Diana?” Tanya sang supir. Pertanyaan itu membuatku menoleh ke arahnya.
Ia adalah kakak dari temanku, sewaktu aku masih sekolah, aku sering bermain ke rumahnya untuk bermain dengan temanku.
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya tadi.
“Sedang apa kau berada di sini? Kau sepertinya sangat ketakutan?” Dia bertanya.
Aku hanya menjawab sejujurnya jika aku bekerja di pabrik terbengkalai itu selama satu bulan.
“A… aku tidak tahu, tapi aku khawatir kau adalah korban yang keempat.” Perkataan supir membuatku tersentak.
“Maksudnya?!” Aku bertanya keheranan. Sang supir kemudian menjawab,
“Iya, sepertinya cerita tentang tiga orang yang mengaku bekerja di sana, yang beberapa hari kemudian mereka pada akhirnya menjadi trauma bahkan ada yang sampai menjadi gila karena mengalami hal yang mengerikan itu, ternyata bukanlah cerita legenda semata.”
Aku tertegun.
Sang supir melanjutkan, “Sekarang coba buka tasmu. Apa itu isinya dokumen pabrik?”
Aku membuka tas kerjaku dengan cepat. Saat kulihat isinya, aku langsung melemparkan tas itu ke jok belakang. Aku dan supir taksi berteriak.
Tas itu isinya adalah kain kafan kusam.
Taksi langsung melaju segera meninggalkan jalanan depan pabrik itu.
Aku sempat menoleh ke arah pabrik gelap tersebut, lalu aku melihat sesuatu.
Ada satu ruangan pabrik yang masih terang, terlihat dari sebuah jendela. Seharusnya sudah tidak ada lagi daya listrik yang terpasang di pabrik itu.
Aku tiba-tiba menyadari sesuatu. Kulihat sepertinya banyak orang yang berada di balik jendela itu.
Mereka semua sedang menatapku, dengan tatapan kosong tanpa bola mata.