Sosial Media

Sebenarnya judul lengkapnya adalah “Algoritma Sosial Media Itu Bodoh, Kreator Kontennya Jadi Ikut Terbawa Bodoh”.

Judulnya ekstrem. Apakah saya sedang mengamuk? Tidak juga. Saya hanya tidak memikirkan judul yang lebih pas dari ini.

Sebenarnya saya sudah menyadari hal ini dari 2019, semenjak salah satu akun meme favorit saya di Instagram tiba-tiba menjadi terlalu sering memosting gambar memenya dalam bentuk video.

Kemudian semakin lama, akun-akun favorit saya yang lain di Instagram juga memosting hal serupa, yakni gambar dalam bentuk video, seakan sudah jadi tren.

Beberapa komentar di Instagram juga seakan berunjuk rasa menentang kegiatan memposting foto dalam format video tersebut. Selain karena ‘boros’ bandwith atau kuota internet, beberapa orang mengeluhkan video statis tersebut mengganggu musik yang juga sedang mereka dengarkan di ponsel yang sama.

Kemudian sang pemilik akun dengan jujur berkata bahwa alasan mereka memosting gambar dalam format video, karena semenjak ada Reels, Instagram mengubah algortimanya, menjadikan fitur Reels sebagai prioritas.

Apakah ini hanya berlaku di Instagram?


Mencari tersangka

Sebenarnya kalau kita ingin teliti dan perhatikan, terutama bagi sebagian kita yang memang masih belum paham apa yang terjadi, ada pola yang sebenarnya sangat mudah kita tebak.

Dan itu manusiawi, maka dari itu dapat kita prediksikan.

Kita ambil contoh, Youtube. Mari kita rincikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak SD.

Saat Youtube pertama kali lahir ke dunia, tujuan founder/pendirinya adalah murni jejaring sosial. Maka dari itu mereka menggratiskan Youtube agar seluruh dunia dapat menggunakannya.

Tetapi Youtube punya server untuk menyimpan video dan melakukan proses pemutaran video, yang mana servernya memerlukan biaya.

Kemudian, seiring berjalan waktu, video yang masuk semakin banyak, memenuhi server, bergiga-giga, bertera-tera byte. Biaya server meledak bengkak, sedangkan Youtube masih tetap menggratiskan layanannya.

Dari mana Youtube akan dapat uang untuk membayar servernya? Apa Youtube akan tutup?

Benar, iklan menjadi salah satu alternatif terbaik sebagai sarana pemasukan. Bukan hanya untuk membayar ledakan tagihan server, tetapi juga untuk menggaji teknisi-teknisi yang membuat Youtube selalu dapat kita akses dan memiliki banyak fitur baru setiap beberapa periode sekali.

Tetapi, video yang terus terupload menjadi semakin banyak dan besar semakin hari, terus menindih penyimpanan dan memperberat beban pemrosesan video. Artinya, Youtube (yang sekarang sudah jadi milik Google) perlu pemasukan yang lebih ekstra.

Muncullah kemudian Youtube Premium yang saya sudah dapat tebak sebelumnya, sebuah layanan berbayar langganan demi bebas iklan. Sedangkan iklannya itu sendiri sudah semakin membabibuta jumlahnya, hampir menutupi seluruh durasi video.

Tidak lucu ada iklan selama 30 detik (2 x 15 detik) untuk video pendek yang hanya berdurasi tiga detik, dan tanpa ada celah untuk skip Ad.

Apakah ini berlaku untuk medsos gratis lain selain Youtube? Tentu.


Saat semuanya menjadi menyempit

Akhirnya, petinggi-petinggi perusahaan sosial media terus mencari cara agar bukan hanya mempertahankan produk jejaring sosial gratisnya, mereka juga mencari cara untuk terus mendapatkan keuntungan.

Berbagai algoritma mereka rombak demi mendapatkan hasil sesuai kemauan petingginya.

Yang jika kita kerucutkan, niat pengusaha media sosial telah berubah dari sarana berbagi menjadi sarana mencari untung. Bahkan tidak heran jika beberapa dari para pengusaha media sosial menerapkan algoritma ‘sikut-sikut’an.

Sebagai contoh, kembali ke Instagram. Mengapa sekarang Instagram memprioritaskan Reels? Berikut lansiran dari socialmediatoday.com:

Instagram will continue to prioritize Reels content, using the algorithm to serve up more videos to a larger audience – which can mean massive reach and engagement for brands.

(Instagram akan terus memprioritaskan konten Reels, menggunakan algoritma yang menyajikan video kepada target pemirsa yang lebih banyak, yang sudah barang pasti dapat meraih cakupan lebih besar untuk mengiklankan sebuah produk.)

Singkatnya, algoritma yang mereka pakai sudah murni bertujuan untuk uang.

Youtube pun sama. Mereka lebih memprioritaskan video yang kreatornya memang sudah besar (tak peduli kontennya berkualitas atau tidak) atau video yang memiliki durasi di atas sepuluh menit.

Ini tentu membuat beberapa kreator konten yang berkarya murni dari hati, terpecah menjadi dua bagian. Mereka yang menyerah atau mereka yang terseret.

Kreator konten yang menyerah karena semakin hari konten yang mereka buat sepenuh hati, semakin terkubur dengan video-video yang hanya memiliki tujuan untuk industri.

Kreator konten yang masih bertahan, secara terpaksa dan dengan pasrahnya terseret arus algoritma media sosial. Mereka mau tidak mau menambahkan konten-konten filler yang tidak jelas demi menyenangkan algoritma yang telah ditetapkan oleh pengusaha media sosial.

Google pun ‘katanya’ juga sama. Google sekarang lebih memprioritaskan konten blog yang lebih panjang daripada yang lebih berkualitas.

Maka dari ini tidak heran saat ada orang berkata bahwa, algoritma media sosial itu bodoh sebab tidak dapat membedakan kualitas sebuah konten.


Bodoh lawan bodoh

Cara tercepat untuk mengelabui algoritma media sosial adalah trik dari para konten kreator yang curang. Tetapi cara ini bukanlah cara yang terpuji.

Saya pernah membahas tentang shovelware yang menjadi biang kerok kemerosotan konten masa kini. Tetapi karena algoritma media sosial banyak yang menyenangi konten sesuai keinginan mereka saja, tanpa peduli apakah konten tersebut sampah atau tidak, konten tersebut akan mencuri sorotan pemirsa.

Maka dari itu tidak perlu heran jika kreator konten berkualitas hari ini semakin sedikit. Mereka tetap ada, namun semakin sulit untuk kita temukan.

Apalagi yang paling parah adalah saat kreator konten favorit kita menjadi ikut-ikutan memosting karya mereka yang semakin tidak relevan dan jauh dari konteks.

Bahkan porsi konten untuk sponsor sudah jauh lebih banyak daripada konten orisinal mereka.

Di antara kebodohan algoritma yang lain adalah rekomendasi-rekomendasi konten yang semakin hari semakin begitu-begitu saja, seakan ingin menyetir audiensnya agar ikut menjadi bodoh juga.

Bukan hal yang harus kita pertanyakan lagi jika sebagian besar konten hari ini sudah semakin membosankan. Bahkan saya pernah membuat artikelnya sendiri tentang itu.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Terkadang Hidupmu Memang Perlu Membosankan

    Berikutnya
    5 Hikmah Tidak Bisa Naik Motor


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas