Fanbase

Setiap orang pasti memiliki sesuatu yang sangat ia gemari bahkan sampai mendeklarasikan diri sebagai penggemar atau fans.

Seorang seniman pastinya memiliki fans, yang keberadaan mereka tersebar di segala penjuru. Walau pun demikian, para fans itu tetap terhubung oleh sesuatu, setidaknya lewat postingan di media sosial.

Para fans inilah yang kemudian kita sebut dengan fanbase.

Kita pernah melihat kalau ada seniman yang memiliki fanbase yang buruk dan senang membuat keributan.

Percaya atau tidak, ada sedikit kontribusi dari para seniman dalam membentuk karakter sebagian besar fanbase mereka.


Apa sih fanbase itu?

Fanbase, yang jika saya terjemahkan secara instan berarti basis penggemar. Mungkin bisa hampir sejajar kedudukannya dengan pengikut setia, rakyat, hingga penganut.

Jika seseorang begitu menggemari sesuatu, secara otomatis dia sudah termasuk menjadi fanbase sesuatu itu.

Seakan-akan fanbase itu adalah rakyat independen dari kerajaan si seniman itu sendiri.

Misalnya, saya penggemar berat Doraemon, maka saya menjadi bagian fanbase Doraemon.

Hanya saja, fanbase ini tidak secara eksplisit atau tidak melulu harus dalam lingkup yang umum.

Contoh, ada orang yang menjadi fanbase Nintendo. Ada pula orang yang seakan menjadi fanbase Nintendo, padahal sebenarnya dia hanya menjadi fanbase Mario.

Nyatanya, memang ada orang yang misalnya begitu membenci Disney namun ia justru sangat menggemari karakter Baymaxnya Disney, bahkan ada fanbase khusus untuk si Baymax itu. Jadi, ia hanya menjadi bagian dari fanbase Baymax, bukan fanbase Disney, bahkan cenderung menjadi hater Disney.

Begitulah fanbase. Supaya tidak bingung, memahami batasan-batasan segala sesuatu itu selalu perlu agar tidak mudah menilai kegemaran orang lain.

Apabila kita tidak memahami batasan ini, bisa jadi seseorang yang menggemari Michael Jackson akan sangat tersinggung jika kita tuduh sebagai penggemar musik pop secara umum.


Karakter fanbase

Saya langsung saja, sebuah produk seni bisa membentuk karakter dari fanbase itu sendiri.

Mungkin bisa saya sebut sebagai sarana didik tersier setelah mendapat pendidikan karakter dari orang tua dan sekolah.

Apa hubungannya sebuah produk, terutama yang berupa seni, seperti film, musik, hingga permainan digital bisa menjadi andil dalam membentuk watak penggemarnya?

Jika ada yang menjawab karena pesan moral yang terkadung, saya katakan itu hanya ujung dari gunung es yang terlihat saja. Sebab jika jawabannya hanya sebatas pesan moral, saya tidak perlu repot-repot membuat artikel ini.

Saya berikan sebuah ungkapan pembuka yang sudah sangat familiar.

Buah yang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya. Tidak, ungkapan ini tidak hanya berlaku sebatas anak dengan orang tuanya saja.

Sebuah analogi kasar, saya dapat bandingkan dengan watak negara maju dan berkembang.

Seringkali saya melihat postingan di jejaring sosial, tentang orang yang membandingkan perilaku rakyat negara maju dengan negara berkembang.

Rakyat negara berkembang cenderung gontok-gontokan dan berkata tak senonoh saat ada diskusi di dunia maya.

Rakyat negara maju cenderung tenang dan menyediakan fakta berupa data atau sekadar analisis saat berdiskusi di dunia maya.

Please, saya tidak ingin mendengar seseorang menyanggah, “Kan nggak semuanya begitu…” sebab anak sekolah dasar pun tahu bahwa tidak semuanya begitu. Kita sedang berbicara persentasenya.


Setetes pengantar tambahan

Karakter fanbase terkadang menjadi salah satu topik yang hangat di beberapa forum, terutama di internet.

Secara umum, mereka menilai fanbase mana yang kebanyakan “respectful” dan yang tidak.

Belum lama ini, Nintendo mengeluarkan permainan Super Mario Bros. Wonder, yang merupakan permainan tradisional, kembali kepada petualangan dua dimensi.

Saya sendiri meski tidak memainkan permainan itu, namun saya kagum dengan elemen-elemen yang Nintendo tambahkan di Mario Wonder itu. Tak heran banyak situs-situs pengulas ternama yang secara kompak memberikan nilai 9/10.

Kebetulan, waktu itu saya baca salah satu ulasannya di IGN. Sampai akhirnya saya menemukan beberapa komentar pembaca yang menarik, mengenai fanbase.

fanbase

Intinya, fanbase Nintendo kebanyakan “respectful” alias menghargai satu sama lain dibandingkan dengan konsol lainnya. Seakan-akan fanbase konsol di luar Nintendo hanya senang bergontok-gontokan seakan tidak menikmati permainannya.

Bagaimana Nintendo bisa membangun karakter fanbase yang begitu menghargai satu sama lain?


Pembentukan karakter fanbase

Saya pernah suatu ketika mendapat serangan saat saya berbicara mengenai alasan mengapa saya senang dengan Disney.

Orang yang menyerang saya menuduh saya tidak berwawasan dan menjejali saya dengan paksa untuk menggemari film yang ia gemari setelah ia menghina apa yang saya suka habis-habisan.

Saya tidak marah, hanya penasaran dengannya mengapa sampai bertingkah sebrutal itu seakan film yang dia gemari gagal untuk menjadikannya fans yang “respectful”.

Apakah yang ia gemari membuatnya “enjoy hating each other?” Dengan perilaku fanbase seperti itu banyak orang yang akhirnya enggan melirik apa yang mereka gemari, jangankan terpikir untuk bergabung menjadi fanbasenya.

Dan sekali lagi, buah yang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya.

Fakta di lapangan, niat beberapa seniman baik perseroan atau perseorangan dalam membangun produk seni mereka bisa memengaruhi watak penggemarnya.

Mudahnya, sebuah karya seni menyasar kepada dua, ego atau hati para penggemarnya.

Dalam kasus paling dekat, kita pernah melihat beberapa selebriti yang senang memamerkan harta mereka, setiap kali, setiap waktu. Mereka pun memiliki fanbase tersendiri.

Kebanyakan kita dapat menilai bagaimana watak fanbase para artis tersebut secara general.

Ada developer game atau film yang terlalu fokus membangun grafik atau render yang keren dan realistis. Saya sendiri senang video game yang grafiknya bagus, tetapi beberapa developer hanya terfokus kepada itu.

Akibatnya, banyak game atau film yang grafiknya keren, karakternya keren, musiknya keren, jalan ceritanya keren, mencolok, namun ternyata hanya sebatas itu.

Produk-produk seni yang demikian hanya memberi makan nafsu para penggemarnya saja, membuat mereka menjadi buas. Seluruh elemennya hanya ‘mentok’ kepada keren dan memukau saja, sisanya kosong.


Bukan resep rahasia

Saya juga merupakan salah satu penggemar grup musik ABBA, mengoleksi hingga lebih dari 60 musiknya.

Saat ABBA mendapatkan nominasi sebagai grup musik terbaik, fanbasenya justru bertindak di luar dugaan saya, dalam lingkup yang masih positif, tentunya.

Ada yang berkata, “ABBA memiliki karya yang lebih baik dari sekedar penghargaan itu.”

Dan ada yang berkata, “Sekali pun tidak mendapatkan penghargaan so what? ABBA telah memenangkan setiap penghargaan di hati para penggemarnya!”

Saat ABBA benar-benar memenangkan penghargaan, fans memang berbangga. Namun dampak dari penghargaan positif itu hanya sebentar dan fans tidak akan peduli sekali pun tidak dapat.

Bahkan lagu ABBA yang memenangkan Eurovision, “Waterloo”, bukanlah lagu yang benar-benar saya suka. Ini yang membuat beberapa fanbase yang respectful tidak mengandalkan penghargaan hanya untuk membuktikan keandalan produk seni yang mereka gemari.

Hampir tidak ada para penggemar ABBA yang memaksa orang lain agar ikut menyenangi ABBA, mungkin sekadar mengajak, tidak sampai memaksa apalagi dengan menghina dan menjelek-jelekan.

Jika mereka tidak suka ABBA ya sudah, tidak masalah. ABBA bukan untuk mereka. Selesai.

Benar bahwa bukan berarti tidak ada fans yang buruk, namun persentase yang “disrespectful” mungkin di bawah 20% atau lebih sedikit dari itu.

Rahasianya sebenarnya hanya satu, seniman yang menuangkan rasa cinta mereka kepada kegiatannya, akan lebih membekas daripada yang tidak.

Rasa cinta, beberapa kali saya jelaskan di artikel saya sebelumnya, memiliki efek positif bagi para penikmatnya.

Seniman yang memberikan rasa cinta kepada produknya, bukan hanya membuat karyanya selesai dengan keren dan sempurna, melainkan juga ia akan menyisipkan detail-detail ekstra yang mengejutkan pemirsanya setiap kali produknya dinikmati.

Ini tidak akan terjadi kepada seniman yang hanya mengejar ego duniawi semata saja.

Fotografer yang hanya menghasilkan foto yang keren hanya menghasilkan decak kagum sementara saja. Berbeda dengan fotografer yang membubuhkan rasa cinta ke dalam foto dan sentuhannya, itu bukan hanya akan mendapatkan decak kagum semata, namun juga kesan di hati para audiensnya.

Nyatanya, kebanyakan fans yang buruk hanya menikmati produk seni andalan mereka beberapa kali saja. Berbeda dengan fans yang baik, mereka menikmati produk seni andalan mereka setiap waktu, diulang-ulang tanpa merasa bosan.


Dampak berkesudahan

Ada satu efek yang membuat seorang penikmat seni mengulang-ulang dalam menikmati sebuah karya seni seperti tidak ada bosan-bosannya.

Yang perlu kita cari tahu di sini adalah koneksi antara karya seni tersebut.

Rasa cinta sang seniman bisa menghasilkan atmosfer khusus yang tidak dapat kita jelaskan, maka dari itu bisa saya sebut sebagai efek magis.

Efek magis ini sifatnya membahagiakan. Namun bukan membahagiakan dalam arti harus tertawa riang seperti anak-anak.

Rasa bahagia yang saya maksud di sini benar-benar memberikan efek teduh, membangkitkan suasana hati, hingga meringankan masalah psikologis.

Juga, efek magis ini bukan seperti acara anak-anak yang penuh dengan sesuatu yang berwarna dan konten-konten ringan.

Nintendo memiliki beberapa permainan aksi, atau permainan yang latarnya menyeramkan. Bahkan ada permainan seri Super Mario Bros. yang secara blak-blakan menampilkan hantu, seperti mirip Kuntilanak di latar gelapnya.

Atau permainan Donkey Kong yang membangun nuansa horor yang cukup tegang di beberapa levelnya. Favorit saya adalah level “Stop & Go Station” dan “Haunted Hall”.

Beberapa anak-anak sepertinya justru akan trauma dengan pengalaman itu.

Dan beberapa adegan true final boss dalam true arenanya Kirby, yang terakhir adalah di game Kirby and The Forgotten Land yang sukses membuat saya ternganga apa pun itu yang terjadi.

Tetapi karena begitu banyaknya detail ekstra dan kreativitas yang sulit saya jelaskan di sana, inspirasi saya menjadi begitu gemuk setelah itu, apalagi dengan musik-musiknya yang membangkitkan imajinasi dan kisah sendiri, meski hanya musik game.

Beberapa membantu saya membuat karya desain, beberapa membantu saya membuat karya horor seperti Kripikpasta yang saya karang sendiri lewat intepretasi musik-musik game tersebut.

Hampir-hampir saya tidak lagi mencari inspirasi dengan melihat-lihat karya serupa dari orang lain. Tentu saja karena apa yang saya dapat dari yang saya gemari sudah cukup untuk saya olah menjadi produk andalan saya sendiri. 😉


Penutup

Karena seorang seniman telah menaruh banyak cinta ke dalam produk mereka yang dapat membahagiakan audiensnya, tanpa disadari hal itu dapat membentuk karakter para audiensnya itu sendiri.

Sebuah karya seni yang bisa menginspirasi dan membahagiakan, akan membangkitkan suasana hati yang baik dan inspirasinya dapat membuat orang lebih giat dalam mewujudkannya.

Perbuatan baik dan rasa cinta itu dapat menular dan melelehkan hati.

Maka dari itu waktu mereka menjadi begitu sibuk untuk melakukan hal-hal positif juga daripada meladeni para-para fans dari produk seni yang hanya berlandaskan ego, apalagi hanya mengejar keuntungan semata.

Dari sini terbentuklah mana seniman yang memiliki fans yang “respectful” dan mana yang tidak. 🤗

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    5 Hikmah Baru Bisa Naik Motor di Usia Lanjut

    Berikutnya
    5 Hal yang Selalu Jadi Sasaran Politik


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas