Saya sendiri bukanlah rakyat besar, konglomerat, atau pejabat pemerintah. Dalam kata lain, benar, saya adalah rakyat kecil, mungkin sama seperti kebanyakan kalian juga.
Bahkan, saya sendiri baru dapat mengendarai sepeda motor pada usia 25, karena memang saya baru punya uang untuk membelinya di usia itu. Itu pun setelah saya hidup sendirian di Jakarta untuk bekerja seorang diri setelah saya ditinggal ayah saat usia 16.
Kehidupan saya saat SMA pun tidak lebih baik. Keluarga saya bahkan pernah makan hanya dengan garam, atau air rebusan di hari lain. Itu pun jika masih ada nasi. Jika tidak, kami berpuasa.
Tetapi sampai saya telah menjadi CTO atau presdir IT di perusahaan saya sendiri, saya belum pernah merasa bahwa saya adalah rakyat kecil.
Saya justru menghindari memosisikan diri saya sebagai rakyat kecil, meski pada saat itu saya tidak memiliki apa pun untuk saya makan.
Namun bukan berarti kemudian saya tidak menghormati rakyat kecil. Saya memahami penderitaan mereka sebab saya pernah berada di posisi mereka.
Sebab hari ini sulit sekali membedakan mana mereka yang benar-benar rakyat kecil dan mana mereka yang hanya mengaku-aku sebagai rakyat kecil.
Fenomena beberapa orang yang mengaku-aku sebagai rakyat kecil, padahal sebenarnya bukan, telah mempersulit hidup banyak orang, termasuk rakyat kecilnya itu sendiri.
Maka dari itu, saya tidak pernah memandang seseorang itu rakyat kecil atau bukan. Apalagi jika seseorang tersebut hanya mengaku-aku “kami hanya rakyat kecil…”.
Sejujurnya, dari semenjak saya dalam kondisi susah, saya sudah anti dengan drama rakyat kecil.
Setelah itu saya tidak membedakan mana rakyat kecil dan rakyat besar, saya hanya peduli dengan rakyat bermanfaat dengan yang tidak.
Apa mudarat dari drama rakyat kecil?
Saya sudah lelah dengan orang-orang yang mengaku-aku rakyat kecil namun mereka arogan di mana-mana.
Di jalan raya, sudah sering kali saya melihat orang-orang ‘lusuh’ yang ironisnya mereka mengendarai sepeda motor yang mentereng, berlaku arogan dengan pengendara lain.
Klakson di sana-sini, menerobos trotoar dan lampu merah, teriak-teriak di tempat umum bak orang dalam gangguan jiwa, dan lain sebagainya.
Lucunya, yang taat peraturan justru kebanyakan mereka yang berjas dan berdasi.
Belum lagi, cara mereka bekerja sama sekali tidak memiliki performa. Bukan sekali dua kali saya mendengar curhat pengusaha, dari mulai pengusaha pabrik hingga warteg, bahwa pegawai mereka sebagian besar tidak bekerja dengan baik.
Dari mulai melayani pelanggan setengah-setengah, tidak mengindahkan peraturan dan teguran, waktu kerja dihabiskan untuk melihat sosial media, sering terlambat, bahkan ada yang tertangkap basah sedang mencuri bahan baku.
Kinerja pegawai seperti itu hanya membuat perusahaan rugi. Tetapi jika perusahaan menahan sebagian gaji pegawai untuk bertahan dan menutupi kerugian, perusahaan pasti akan diserang oleh para ‘pekerja kecil’ tersebut. Mulai dari demo besar-besaran, hingga mendramatisir keadaan seakan-akan perusahaan menzalimi para ‘pekerja kecil’ tersebut.
Bahkan para pekerja kecil yang menjadi biang onar tersebut mengintimidasi para pegawai atau buruh yang rajin agar ikut berunjuk rasa dengan mereka.
Mengapa orang-orang yang mengaku-aku rakyat kecil berperilaku tidak etis seperti itu?
Mudah, karena memang sebuah prinsip absolut menyatakan,
Orang yang tidak bermanfaat sudah pasti akan menyusahkan orang lain.
Saya sendiri waktu masih belum bisa mengendarai sepeda motor, berbagai cemoohan mendarat mulus di telinga saya. Banyak yang mencemooh bahwa saya begitu payah tidak dapat mengendarai sepeda motor, apalagi saya adalah pria.
Tebak, siapa yang mencemooh saya tersebut? Benar, lagi-lagi orang yang mengaku-aku sebagai rakyat kecil.
Ada pun teman-teman saya yang berasal dari pengusaha atau orang kaya justru menyarankan saya untuk mengendarai kendaraan umum.
Orang-orang yang mengaku-aku sebagai rakyat kecil senang bertindak semaunya dan cenderung menyusahkan orang lain.
Alasan utama mereka berani melakukan hal-hal yang meresahkan dan menghancurkan suasana hati adalah para ‘rakyat kecil’ tersebut sudah menganggap bahwa masyarakat dapat mereka kelabui dengan drama rakyat kecil.
Maka dari itu jangan heran, saat mereka tertangkap saat berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan bahkan cenderung membahayakan, mereka dengan entengnya berkilah, “Saya hanya rakyat kecil.”
Atau, “Saya punya anak istri.”
Kemudian masyarakat terpedaya, terenyuh dan membebaskannya. Padahal orang yang mengaku ‘rakyat kecil’ akan tersenyum lebar, menganggap taktiknya berhasil.
Taktik tersebut tentunya akan membuat orang yang mengaku ‘rakyat kecil’ tersebut menjadi kebal hukum.
Sekarang bisa kita bayangkan jika rakyat kecil tersebut bergabung ke dalam sebuah partai politik, atau menjadi PNS dan pejabat pemerintah.
Maka tidak perlu heran jika para pejabat lebih mengedepankan drama untuk mengambil hati masyarakat dari pada mengedepankan prestasi.
Sebab memang sebagian besar masyarakatnya masih mudah dibodoh-bodohi oleh drama.
Banyak dari kalangan masyarakat yang melihat kinerja pemerintah dari sorotan kamera. Misalnya, banyak orang yang masih terpukau dengan pejabat yang memosting fotonya yang sedang mengunjungi pasien di sebuah rumah sakit.
Padahal tidak ada yang tahu berapa fasilitas rumah sakit yang telah ia tambah.
Jangan heran saat pejabat pemerintah melakukan suatu tindak pelanggaran seperti korupsi atau penggelapan, biasanya mereka menghadiri persidangan dengan tampilan memelas, menggunakan atribut agama agar terlihat relijius, atau berdalih, “Saya terzalimi”.
Meskipun masyarakat sudah muak dengan drama pejabat seperti itu, namun sebaiknya jangan kita pungkiri bahwa masyarakat sendiri itulah yang menumbuhkan sifat kebal hukum dari para pejabat yang seperti itu.
Para pejabat pun sebagian besar dulunya adalah rakyat kecil yang hidup di tengah-tengah kita juga ‘kan?
Kita banyak menyaksikan orang yang mengaku-aku sebagai rakyat kecil, namun ternyata masih gemar mengonsumsi subsidi yang ditujukan untuk rakyat kecil yang sebenarnya.
Mereka masih mengantri untuk mendapatkan beras miskin, bantuan sosial, subsidi-subsidi murah, bahkan hingga memborongnya. Padahal mereka masih memiliki kendaraan bermotor yang harganya puluhan juta. Mereka mampu untuk membeli itu meski secara kredit.
Beberapa acara giveaway yang ditujukan memang untuk membantu orang-orang yang sedang membutuhkan, justru pesertanya banyak dari kalangan orang-orang yang sebenarnya mampu.
Fenomena miris seperti itu dapat mengakibatkan beberapa orang-orang yang tulus membantu rakyat kecil menjadi kesulitan mengulurkan bantuannya sebab seringnya mendapatkan penerima yang salah sasaran.
Mengapa beberapa orang tidak malu untuk berbuat seperti itu? Mudah, sebab mereka sudah merasa kebal hukum dengan berlindung di balik alasan rakyat kecil.
Beberapa pelaku bahkan sudah tidak lagi khawatir akan menerima laporan dan kecaman dari orang yang peduli sebab orang yang melaporkan pasti akan didiamkan dan disuruh diam oleh masyarakat yang masih terpedaya dengan drama rakyat kecil.
Inilah alasannya saya tidak pernah melihat seseorang apakah ia rakyat kecil atau bukan. Jikalau seseorang memiliki manfaat serta bermartabat, saya akan hormat padanya. Sekali pun ia adalah rakyat dari kalangan terkecil sekali pun.
Sayangnya, sudah hampir 80 tahun negara ini merdeka, nyatanya masih banyak orang yang belum merdeka dari drama.
Orang yang memiliki standar akan sulit hidup di kalangan masyarakat yang senang mengonsumsi drama sebab mereka sulit memperbaiki prilaku orang lain yang memang perlu mereka perbaiki.
Masyarakat yang gemar mengonsumsi drama pastinya akan mendapatkan pemerintah yang senang menarik simpati masyarakat lewat drama pula.
Jalanan rusak? Pemerintah lebih memilih bangun plang-plang reliji.
Fasilitas pendidikan dan kesehatan kurang? Pemerintah dan asisten sosial medianya sudah menyiapkan kamera dan pasien di sebuah rumah sakit.
Pemerintah korupsi? Tinggal posting saja foto pejabat sedang beribadah di tengah hutan.
Kita sendiri yang ingin negara yang seperti itu bukan?