Kata orang, saya terlalu fokus memikirkan bagaimana cara agar orang lain berbahagia, mulai dari yang terdekat dari saya dahulu.
Tetapi saya tidak mengelak, memang begitulah kenyataannya. Saya mencoba untuk melebihkan setiap aspek yang saya lakukan dengan harapan kelebihannya dapat menghibur dan meningkatkan suasana hati orang yang menikmati pekerjaan saya.
Bukankah asyik melihat dunia yang penuh dengan orang-orang yang berbahagia?
Sampai akhirnya saya berhadapan dengan satu hal. Dan ternyata selama ini mereka benar. Sifat naif saya telah mereka hancurkan dengan nyaris sempurna.
Mereka siapa? Apanya yang benar? Jawabannya ada sepanjang artikel berikut.
Intinya, saya tidak lagi menginginkan setiap orang berbahagia, bahkan berlaku kebalikannya, sebagian orang justru saya inginkan penderitaannya.
Yep, orang-orang yang masuk ke dalam lima kategori berikut saya benar-benar menunggu masa-masa sulit mereka. Tadinya saya bernaif ria bahwa kalau bisa orang-orang ini tidak perlu merasakan penderitaan, namun saya telah berubah banyak pikiran.
Siapa saja lima kategori dari orang-orang yang saya harapkan penderitaan mereka?
Percaya atau tidak, bahkan kita sendiri mungkin telah menyaksikan ada segelintir orang yang dengan kebahagiaannya justru dapat mencederai orang lain, baik fisik maupun mental.
Seperti, ada orang yang baru mendapatkan sebuah kenikmatan, kemudian dengan kenikmatan itu ia tuntut orang lain juga ikut memperolehnya. Jika tidak, maka ia akan mengolok-olok orang tersebut.
Saya sendiri sebenarnya pernah mengalaminya, dan mungkin sering saya bahas juga di artikel saya yang lain.
Sewaktu kemarin-kemarin saya masih tidak bisa mengendarai sepeda motor, saya bertemu dengan orang yang baru saja mendapatkan sepeda motor baru kemudian meledek saya yang tidak punya dan bahkan tidak dapat mengendarai sepeda motor.
Ledekan itu berlaku terus-menerus sampai akhirnya ia tiba-tiba membutuhkan uang dan terpaksa kembali menjual sepeda motornya. Ledekan itu telah berhenti di sana.
Contoh lain, saya pernah mendapatkan curhat dari seorang lajang yang belum menikah di usia 30nya yang sering mendapatkan pertanyaan “kapan nikah” dari teman-temannya yang baru saja menikah.
Mungkin pertanyaan yang terlontar sekali dua kali tidak masalah. Namun jika seseorang sudah terlihat risih dan pertanyaan menjengkelkan tersebut tetap terlontar, itu artinya cari perkara.
Atau ada orang yang baru ketiban rejeki nomplok dan selalu memamerkan kemewahannya itu, setiap waktu, setiap saat. Jika pamernya hanya di bulan-bulan awal mungkin wajar karena manusia terkadang memerlukan perhatian. Saya pribadi pun begitu.
Tetapi jika terus-menerus memamerkan hal yang sama dan berulang? Bahkan hingga ia berikan caption yang lumayan menyakiti? Jangan-jangan memang ia tidak memiliki sesuatu yang ia dapat banggakan selain itu satu-satunya.
Jika kita sebal dengan kegiatan pamer seseorang di masa-masa awal, kitalah yang bermasalah. Tetapi jika kita sebal dengan kegiatan pamer seseorang di masa-masa setelahnya, ia yang bermasalah.
Bagaimana caranya menghentikan kelakuan orang-orang seperti itu? ‘Mudah’, dengan cara menunggu mereka tidak lagi berbahagia.
Ini sebuah klise, sebenarnya. Tapi sayangnya klise ini terus berulang seakan memang perlu berulang kali keluar peringatan ini.
Kita sendiri saya yakin tahu istilah, “Jangan masuk lubang yang sama dua kali.”
Nyatanya saya seringkali melihat orang-orang yang memang ‘gemar’ masuk ke lubang yang sama berkali-kali. Dan fakta di lapangan, mereka tetap tidak pernah dan tidak ingin belajar.
Ada orang yang memilih teman sembarangan. Kemudian di masa sulit ternyata teman-temannya itu meninggalkannya. Tetapi setelah masa sulitnya selesai ia justru kembali memilih teman baru dengan sembarangan lagi.
Atau ada orang yang memilih pasangan hidup tanpa perhitungan. Kemudian saat ia tersakiti, ia menyesal. Tetapi ia justru masuk lagi ke lubang yang sama, kembali kepada metode tanpa perhitungannya dalam mencari pasangan hidup barunya yang lain.
Banyak sekali contohnya. Sampai kepada beberapa kalangan yang sepertinya selalu memilih pemimpin tanpa standar. Saat pilihan mereka itu hanya mementingkan diri sendiri dan bahkan korupsi, mereka mengeluh. Namun pemilihan umum berikutnya mereka tetap memilih tanpa standar kembali.
Mungkin salah satu dari kita ada yang pernah bertemu orang-orang seperti itu, dan kita sendiri dongkol saat saran dari kita tidak mereka dengar. Atau seakan mereka dengar, hanya saat mereka dalam kesulitan saja. Anggukannya tidak lagi mengena saat mereka sudah keluar dari masa sulit mereka.
Dan itu terjadi berkali-kali, mungkin ada yang sampai lebih dari sepuluh kali.
Ya mau tidak mau, mungkin kita akan sampai kepada satu titik di mana kita akan membiarkan orang-orang seperti itu sebab pupus harapan kita untuk memberi mereka masukan.
Saya sendiri pun pernah masuk ke lubang yang sama, namun setidaknya di kejadian berikutnya setidaknya saya sudah memiliki peralatan untuk memanjat.
Mungkin ada dari kita yang merasa hidup kita tidak berguna, tidak memiliki manfaat untuk sesama. Jangan khawatir, itu bukan termasuk kategori ini. Saya sendiri pun terkadang jika sedang low, suka merasa tidak cukup berguna bagi yang lain.
Bukan, bukan itu yang saya masukkan ke kategori ini.
Orang yang tidak memiliki manfaat itu sudah pasti tidak ada yang dapat ia banggakan. Sedangkan ia memiliki gengsi.
Jadi karena tidak memiliki prestasi, sebagian orang menyalurkan gengsinya dengan membuat orang lain susah.
Jika kita merasa tidak memiliki manfaat, setidaknya kita mendapatkan tiga kebaikan:
Sedangkan orang-orang yang benar-benar tidak bermanfaat tidak memiliki semua kebaikan itu.
Mereka kejar gengsi, namun tanpa prestasi. Ini yang berbahaya.
Mereka merasa memiliki taring saat sudah berhasil mengatur-atur orang lain dengan peraturan mereka sendiri. Orang-orang seperti itu menganggap dengan menggertak orang lain dan membuat orang lain takut adalah sebuah prestasi.
Memang menurut kita apa lagi tujuan dari orang yang, misalnya, menyalakan strobo di jalan umum dan menghalau pengguna jalan lain, padahal ia tidak memiliki wewenang?
Orang yang benar-benar bekerja dan melakukan kegiatan bermanfaat akan memahami lelahnya melakukan itu semua. Jadi ia tidak akan sekali-kali terpikirkan untuk meraih gengsi yang dengan cara yang tidak-tidak.
Salah satu tips bahagia yang pernah saya tulis adalah melayani diri sendiri. Maksud diri sendiri ini adalah tubuh kita, tekad kita, dan bukan sekadar nafsu kita.
Nyatanya, beberapa orang senang menantang diri sendiri untuk sesuatu yang tidak membawa keuntungan sama sekali.
Seperti, ada orang yang senang menimbun harta, meningkatkan jumlah saldo rekeningnya hingga ia lupa untuk memberi asupan bergizi untuk tubuhnya sendiri.
Beberapa orang menyangka telah melayani diri mereka sendiri, padahal yang mereka layani adalah nafsunya saja.
Saya pernah mendengar cerita, tentang seorang supir angkot yang kerap mentraktir teman-teman tongkrongannya dan mengobrol hingga malam.
Saat pulang, ia sadar jangankan anak istrinya, uangnya habis sehingga dirinya belum mendapatkan cukup makan. Akhirnya sang supir tersebut hanya dapat emosi dan marah-marah di depan keluarganya sendiri sebab kerugian yang tidak begitu bermanfaat tersebut.
Kita sendiri sudah dapat memilih dan memilah mana kebutuhan berdasarkan prioritas.
Tidak apa kita melayani nafsu kita dengan asupan-asupan duniawi, namun diri kita sendiri lebih prioritas untuk kita layani.
Misalnya kita punya hobi yang dapat membuat kita bahagia dan mengisi waktu kita dengan lebih berwarna. Tidak apa kita keluarkan uang untuk membeli peralatan atau membeli kursus yang menunjang.
Kitalah yang lebih paham dengan prioritas kita sendiri.
Yang terakhir ini agak ambigu. Ada orang yang minim terbuka karena trauma keterbukaannya hanya akan mendapatkan penghakiman sepihak dari orang-orang sekitarnya saja.
Tetapi ada orang yang minim terbuka karena hanya ingin dipandang tegar oleh orang-orang sekitarnya.
Secara angkuh ia menggeleng dengan pasti saat kita tanya apakah ada masalah. Bahkan sampai masalah orang lain ia jadikan topik candaan hanya untuk membuktikan bahwa itu bukan masalah baginya.
Hanya karena ingin dipandang tegar, masalah orang lain semuanya ia anggap sepele.
Pada akhirnya, saat ia terkena masalah yang benar-benar pelik, ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi untuk ia ajak mengobrol.
Memang seseorang terkadang harus terkena masalah hebat terlebih dahulu agar ia berhenti menjadi benalu bagi orang lain. Setidaknya kita memiliki harapan agar ia dapat memperbaiki dirinya sendiri.
Menjawab pertanyaan di awal, sebagian orang memang tidak layak mendapatkan kebahagiaan.
Bahkan film-film animasi Disney saja, banyak dari villain atau penjahatnya yang berakhir tewas mengenaskan atau bahkan sadis.
Atau kita sudah familiar dengan cerita umat-umat dahulu yang terkena azab.
Mengapa mereka pantas mendapatkan akhir yang menyeramkan tersebut? Mengapa beberapa kalangan tidak mendapatkan happy ending?
Karena memang tidak setiap orang layak berbahagia. Lebih parah lagi, penderitaan merekalah justru yang sebenarnya kita harapkan.
Maka dari itu saya tidak lagi naif dengan itu. Nyatanya di lapangan sudah banyak sekali orang-orang yang bermasalah, namun jika kita tegur secara baik mereka makin menjadi, dan saat kita tegur dengan nada lebih tinggi, justru galakan dia.
Sedangkan kita tidak punya banyak waktu meladeni orang-orang seperti itu, tetapi justru jika kita biarkan, orang-orang bermasalah itu akan berkembang biak suatu saat karena merasa memiliki kekuatan.