Dapat Kerja

Badai PHK yang terjadi selama pandemi dan setelahnya turut membuat kita prihatin, termasuk saya sendiri.

Puluhan ribu orang yang terdampak benar-benar tidak lagi memiliki sumber penghasilan, membuat hidup mereka menjadi semakin tercekik. Belum lagi dengan barang-barang dan kebutuhan pokok yang harganya semakin naik.

Sebelum ada PHK saja, tingkat pengangguran sudah termasuk tinggi. Meski data menyebutkan bahwa orang Indonesia yang menganggur secara terbuka anggap saja menyentuh angka 5%, terlihat seolah sedikit.

Padahal 5% dari 50 juta orang usia produktif misalnya, adalah 2,5 juta orang. Itu bukan angka yang sedikit. Ditambah dengan tingginya angka pengangguran, bisa menyuburkan kriminalitas.

Bisakah kita berbuat baik dengan membantu mereka mendapatkan mata pencaharian mereka kembali?

Dahulu sewaktu saya masih naif, saya berharap bahwa setiap orang bisa bekerja sesuai bidang yang mereka suka. Tetapi sayangnya, sebuah realita mendatangi saya dan menampakkan semuanya.

Bisa kita terima atau tidak, faktanya tidak setiap orang layak mendapatkan kerja.

Di sini saya bagi menjadi tiga jenis pengangguran. Dua di antaranya tidak layak mendapatkan pekerjaan sebelum mereka berbenah.

Dari tiga jenis pengangguran, hanya satu yang layak bekerja.


1. Pengangguran layak kerja

Saya telah melihat sekian banyak orang yang menganggur. Di antara mereka ada yang terus berusaha mengirimkan lamaran dan terus berusaha.

Saya sendiri merasa terenyuh dan bersimpatik kepada mereka yang meski belum mendapatkan kerja, namun menjadikan hari-hari mereka sibuk seakan mereka sudah bekerja.

Mereka sibuk bukan hanya mencari info lowongan, namun juga mengasah dan mendalami bidang yang mereka ingin dapatkan pekerjaan itu.

Mereka tidak diam di tempat, atau tidak sekadar berkeliling tak tentu arah, atau tidak sekadar merokok meratapi nasib. Mereka berbuat baik kepada diri mereka sendiri dengan menyibukkan diri akan hal-hal positif.

Saya pernah menghabiskan satu hari saya bertemu dengan beberapa orang yang menganggur hanya karena saya bersemangat mengarahkan bagaimana cara mereka agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan.

Mereka bukan tipe orang yang menghabiskan waktunya nongkrong di warung menyeruput kopi dan merokok sambil bergosip dan bercanda.

Mereka hanya orang-orang yang terlihat ingin bekerja dengan sungguh-sungguh namun masih tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mendapatkan pekerjaan itu.

Saya tidak peduli jika para pengangguran yang saya temui tersebut hanya lulusan SMA sederajat, selama saya melihat kesungguhan dia dalam mencari-cari info lowongan, saya akan membantu yang saya mampu.

Saya berikan beberapa tips, membantu bagaimana menulis surat lamaran (CV) yang baik, dan mengajarinya profesionalitas dasar.

Entah mereka ingin menjadi buruh pabrik, admin input data, hingga marketer.

Perlu kita ketahui, perusahaan sebenarnya tidak membatasi pelamar dengan batasan tertentu seperti batasan pendidikan terakhir atau batasan usia. Perusahaan membuat peraturan ketat seperti itu karena mereka mungkin pernah “trauma”.

Jadi saya mengajari bagaimana “tabiat” perusahaan kepada para pengangguran layak kerja tersebut agar mereka bisa membuktikan kepada perusahaan bahwa mereka mampu bekerja supaya perusahaan dengan senang hati merekrut mereka.


2. Pengangguran tidak layak kerja

Ada juga pengangguran yang mereka tidak layak bekerja. Tidak ada perusahaan yang mau menerima orang-orang seperti itu. Seperti apa contohnya?

Saya pernah berbicara dengan seorang office boy. Beliau orang yang sangat rajin bekerja. Beliau juga pernah kasihan dengan kenalannya yang menganggur jadi beliau rekrut.

Sampai akhirnya bapak office boy tersebut trauma dan tidak ingin lagi merekrut orang hanya dengan alasan kasihan.

Ada tiga kejadian, pertama, orang yang beliau rekrut, ternyata mencuri uang dari para pekerja kantor. Sampai akhirnya HRD curiga dan ternyata menemukan gumpalan uang di celana dalamnya.

Kejadian kedua, orangnya ternyata ‘menusuk’ beliau dari belakang. Saat beliau sudah lelah-lelah membersihkan ruangan, beliau istirahat sejenak. Ketika atasannya tiba di kantor, teman beliau itu pura-pura mengepel dan menyangka beliaulah yang bermalas-malasan.

Terakhir, beliau pernah mendapatkan bogem mentah dari sesamanya hanya karena beliau sedang tidak ingin membantunya pada saat itu.

Maka dari itu, saat ada lagi tetangganya meminta beliau agar memasukkan anaknya yang menganggur supaya bekerja di kantornya meski hanya membantunya bersih-bersih, beliau sudah menutup kesempatan itu, rapat-rapat.

Lain cerita, ada teman saya yang pernah merekrut temannya lagi untuk mempekerjakannya jadi buruh pabrik. Tetapi dia kaget saat temannya diberhentikan karena terlihat sedang mencuri bahan baku pabrik lewat CCTV.

Lalu ada lagi pengusaha yang membuka lowongan kerja besar-besaran karena ingin menekan angka pengangguran. Hanya saja kemudian, 70% para pekerjanya tidak produktif dan membuat perusahaannya rugi. Lalu para pekerja tersebut tidak terima mendapatkan teguran dan berunjuk rasa menuntut keadilan serta penghasilan lebih.

Banyak orang yang menuntut pembukaan lapangan kerja, namun ingat pula, banyak penyedia lapangan kerja yang harus berakhir difitnah karyawannya dengan drama di media sosial.

Tak sedikit masyarakat yang terjebak drama para pekerja tersebut. Mereka mempahlawanisasi pekerja atau buruh kecil dan menganggap pengusaha yang menyediakan lapangan kerja sebagai orang jahat tak bernurani.

Masyarakat yang cerdas akan menelaah kembali kasus drama para pekerja tersebut. Apakah para pekerja bisa membuktikan bahwa kinerja mereka sudah baik? Karena inilah salah satu indikator untuk menentukan siapa yang salah.

Jika para pekerja sudah dapat membuktikan produktivitas mereka sesuai KPI dan tetap menuntut hak, dapat kita putuskan bahwa pengusahanyalah yang bersalah. Jika tidak, berlaku sebaliknya.

Sebab saya sendiri pernah mendengar pengusaha warteg kecil-kecilan yang mengeluh sulitnya mencari orang yang bisa membantunya melayani pelanggan. Dia pernah mendapat pekerja yang hanya sibuk dengan ponselnya saja, ramah pun tidak, namun justru mengamuk saat ditegur dengan baik.

Apalagi cerita tentang tukang parkir ilegal atau pak ogah yang memang sudah nyaman dengan pekerjaannya seperti itu. Bagi mereka, untuk apa kerja mengeluarkan upaya lebih jika mereka sudah dapat uang dari setiap orang yang lewat?


3. Pengangguran tidak (lagi) layak kerja

Semenjak adanya masa-masa kejayaan startup atau perusahaan rintisan 2018 lalu dengan jargon “unicorn” dan “decacorn”nya, tren bekerja sudah banyak yang terpengaruh karena itu.

Banyak perusahaan dengan serampangannya memberikan gaji dan bonus yang begitu besar kepada para pekerja dan mitra mereka karena masih dalam tahap membakar uang investor.

Pada akhirnya, banyak laporan bahwa 90% usaha startup tersebut tutup karena sudah tidak ada lagi uang yang dapat mereka “bakar”. Akan tiba juga masa di mana investor menagih uang yang mereka investasikan dan perusahaan harus bertanggungjawab dengan itu.

Sedangkan para pekerja dan mitra, mereka tidak ingin tahu-menahu sehingga jadilah mereka tidak terima ketika gaji atau bonus mereka mendapatkan penyesuaian (seperti dikurangi jumlahnya supaya perusahaan tetap bisa bertahan).

Di sini, perusahaan punya dua pilihan. Harus menggulung tikar bisnisnya dan merumahkan seluruh pekerjanya, atau tetap bertahan meski akan banyak sekali pertikaian internal.

Saya pernah merekrut seorang programmer dari sebuah bisnis startup yang telah tutup dan menawarkannya gaji dua kali lipat UMR. Ternyata ia menolak dengan alasan gajinya kurang banyak menurutnya.

Padahal, banyak pengangguran yang berasal dari perusahaan startup yang menggajinya selangit itu ternyata tidak memiliki kemampuan bekerja yang baik.

Mereka hanya ingin perusahaan yang bisa menggajinya setara atau bahkan lebih dari itu.


Secercah saran

Beginilah realita. Suka atau tidak suka, faktanya memang masih banyak orang yang belum atau bahkan tidak layak mendapatkan kerja.

Mungkin ada dari kita yang berdalih bahwa pengusaha pun beberapa ada yang nakal dan saya tidak menampik itu. Tetapi sekarang saya sedang membahas para pengangguran yang berharap tersedianya lapangan kerja dari para pengusaha.

Banyak dari masyarakat yang belum tahu jika menjadi pengusaha dan mendirikan sebuah usaha bukanlah hal yang mudah. Ada sekelumit izin yang harus mereka urus, begitu juga dengan persiapan modal dan manajemen lainnya.

Para pekerja tidak perlu memikirkan risiko tersebut dan cukup menuruti peraturan perusahaan saja. Pun, tidak ada larangan jika para pekerja itu memilih perusahaan yang memiliki peraturan yang sesuai seleranya.

Misalnya, apabila seseorang tidak ingin bekerja di hari libur, sebaiknya ia jangan bekerja di rumah sakit, restoran, atau sarana transportasi publik.

Bukan sekali dua kali saya memiliki teman yang tidak tahan dengan perusahaannya dan lebih memilih mencari perusahaan lain yang lebih baik. Karena teman-teman saya tersebut memiliki kinerja yang sangat bagus, mereka tidak kesulitan menemukan pekerjaan lain.

Meski memang, saat mencari perusahaan yang lebih baik, ada masa-masa menganggur yang tidak dapat kita hindari. Tetapi kita berusaha untuk mempersempit masa-masa menganggur tersebut.

Ada seorang satpam yang bekerja dengan ramah dan sepenuh hati. Saat ia tidak tahan dengan jauhnya jarak dari rumah ke kantornya dan dia mencari kantor yang lebih dekat, ia langsung mendapatkan kerja hanya selang beberapa minggu sebab etos kerjanya.

Setiap orang wajib memiliki portfolio untuk bekerja, sekali pun ia hanya seorang kondektur bus. Perusahaan hanya ingin tahu bagaimana si kondektur itu dapat melayani para penumpang atau malah justru membuat mereka lari.

Saya sempat berkelakar mengenai pengangguran yang bermasalah dan senang mengganggu orang lain. Saat ditanya mengapa ia tidak berusaha mencari kerja, pengangguran itu berceletuk, “Cari kerja susah!”

Saya balas celetukannya sambil nyengir, “Ya iyalah cari kerja susah, orang kerjanya cuma nyusahin.”

Siapa juga yang ingin mempekerjakan orang yang seperti itu?

Realita itu tidak kejam, realita hanya menuntut kita melihat dengan lebih bijak dari berbagai sisi.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Ada masalah kesehatan mental? Bingung curhat ke mana?
Curhat ke Anandastoon aja! Mari, klik di sini. 💗

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 43: Hidup Normal

    Berikutnya
    Saya Uninstall Aplikasi Ojol dan Saya Lebih Bahagia


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas