Semakin Cerdas

Semakin Cerdas

Orang yang selalu sendirian memiliki banyak pemicu. Kita tidak bisa langsung menuduhnya begini dan begitu.

Bisa jadi dia sendirian karena memang introvert dan dia menikmatinya.

Atau bisa jadi dia merasa kesepian karena minder atau insecure akibat tekanan yang ia dapat dari sekelilingnya.

Malah bisa jadi dia sendirian karena perilakunya sendiri yang membuat orang lain benci.

Dan ada sebab lain, bisa jadi dia sendirian karena dia adalah orang yang cerdas, intelek, dan memiliki IQ di atas rata-rata dari kebanyakan orang.

Jika ada pertanyaan, apakah orang yang memiliki intelegensia tinggi akan selalu kesepian? Saya akan menjawabnya dengan mengangguk sembari berceletuk, “Yes, betul sekali.”

Namun, pertanyaan lain tak kalah muncul.

Apa yang menyebabkan orang-orang cerdas selalu kesepian?

Apakah orang cerdas yang kesepian itu baik atau buruk?

Saya coba jabarkan semampu saya di sini.


Cerita di lereng gunung

Orang cerdas dengan orang pintar sebenarnya agak rancu di pengertian. Banyak yang bilang orang cerdas sudah pasti pintar namun orang pintar belum tentu cerdas.

Memang apa bedanya? Inilah yang terjadi saat kita tidak memiliki standar bahasa. Atau bahasanya memiliki standar, tetapi kita tidak pernah mendapatkan pengertian yang lebih detail.

Masalah perbedaan orang cerdas dengan orang pintar seakan mirip seperti masalah perbedaan gunung dengan bukit.

Intinya, orang cerdas itu sudah pasti memiliki tingkat IQ yang lebih tinggi, yang mana artinya ia lebih pandai menyelesaikan masalah.

Benar, indikator orang cerdas adalah kemampuannya memecahkan masalah. Sudah, itu saja. Inilah yang membedakan orang cerdas dengan orang yang terlihat cerdas, yakni kemampuan memecahkan masalah.

Tidak heran orang-orang cerdas akan mengerjakan soal psikotes jauh lebih cepat daripada orang-orang yang biasa saja. Orang cerdas pandai mengelola masalah yang mereka hadapi.

Ketika kebanyakan orang hanya mengeluh saat menemukan masalah, sebenarnya orang cerdas pun akan mengeluh juga, namun upayanya tidak berhenti hanya sebatas itu saja. Orang cerdas akan menerawang sekitar dan mencoba mencari jawaban yang akan menjadi jalan keluar dari masalah mereka.

Semakin tinggi kecerdasan seseorang, mereka akan bisa melihat masalah lebih jauh, bahkan hingga dapat memprediksikan masalah yang akan muncul.

Kalau kita lihat di negara-negara maju yang rata-rata IQ warganya sudah tinggi, mereka sudah bisa berkutat di permasalahan yang negara-negara berkembang masih abai tentang itu.

Seperti, masalah perubahan iklim, masalah polusi suara dan cahaya, dan masalah kepunahan satwa.

Masalah-masalah ‘sepele’ tersebut mulai menjadi perhatian negara-negara cerdas sebab masalah-masalah dasar seperti kesejahteraan masyarakat memang sudah dan sedang mereka lakukan.

Berbeda jauh dengan negara-negara berkembang yang jangankan untuk peduli dengan kesejahteraan warganya, mereka sendiri tidak tahu hal positif apa yang harus mereka kerjakan pada saat itu tanpa perlu bantuan kamera dan media.

Nah, kalau kita tahu manfaat yang diberikan oleh orang cerdas sedemikian besarnya, lantas apa yang membuat mereka kesepian?


Melihat ke arah langit

Begini, saat kita berbicara kecerdasan, kita juga berbicara level atau derajat seseorang.

Seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang di sekitarnya, maka akan mendapatkan rasa hormat yang lebih baik.

Derajat seseorang dapat kita hitung dari seberapa besar manfaat yang telah ia sebarkan untuk orang lain. Jadi derajat bukan lewat jabatan atau harta sebab itu semua hanyalah penunjang saja.

Nyatanya, banyak pejabat yang tidak kita hormati karena para pejabat itu hanya menyusahkan saja, tidak ada prestasi sama sekali. Tetapi pejabat yang memiliki banyak prestasi dan manfaat akan mendapatkan rasa hormat yang jauh lebih besar dari masyarakat.

Lagi, dengan derajat yang lebih baik yang didapat para orang cerdas, mengapa mereka masih dilanda kesepian?

Sekarang kita lihat mulai melihat masalahnya lebih dalam.

Setiap manfaat yang ditebar oleh orang cerdas, pastinya perlu usaha yang tidak main-main, dan itu semua melelahkan.

Pikiran, tenaga, harta, bahkan waktu pun terkuras.

Tanpa sumbangsih orang-orang cerdas, hidup kita tidak akan menjadi lebih baik.

Memecahkan sebuah masalah itu bukan hal sepele. Orang-orang cerdas terlihat mudah dalam memecahkan masalah karena mereka sudah terbiasa berlatih untuk itu. Latihannya pun begitu berat dan sangat serius.


Pemandangan di puncak

Analoginya sama seperti pendaki gunung.

Mereka yang sudah sampai puncak, akan membagikan pengalaman beserta foto-foto yang dapat membuat orang lain kagum.

Sayangnya, untuk sampai ke puncak gunung, perlu usaha yang penuh pengorbanan.

Banyak orang yang menginginkan melihat pemandangan indah di puncak gunung, tetapi berapa banyak yang ingin berusaha untuk sampai di puncaknya?

Maka dari itu tidaklah heran semakin di puncak gunung, maka semakin sedikit manusia yang kita bisa saksikan. Apalagi jika semakin sulit medan gunung tersebut.

Begitu pun dengan orang-orang cerdas. Mereka membawakan segudang manfaat dari usaha keras yang telah mereka lakukan dengan waktu yang tidak sebentar.

Hanya saja, sekarang kita lihat bagaimana orang cerdas bisa memberikan memiliki banyak prestasi pada awalnya.

Seperti yang saya telah sebutkan, orang-orang cerdas pandai melihat masalah dan menyelesaikannya. Masalah yang dilihat orang cerdas ini adalah masalah bersama, bukanlah masalah dirinya atau masalah pribadi orang lain.

Artinya, saat orang cerdas menemukan sebuah masalah, ia harus peduli dengan masalah tersebut, meski itu bukanlah masalah pribadinya.

Sayangnya, saat orang cerdas mendapatkan sebuah masalah baru, ingin kepada siapa ia berdiskusi?

Kebanyakan orang yang ia ajak diskusi pasti langsung mementahkannya dengan beragam dalih yang intinya, “Ngapain sih dipikirin?”

Padahal mungkin orang yang mengabaikan masalah itu akan terciprat manfaat dari orang cerdas tersebut.

Banyak dari kita hanya peduli dengan masalah pribadi kita sendiri. Saat diajak berdiskusi tentang masalah sosial, kemungkinan besar kita akan mengelak sebab itu bukan masalah kita.

Maka dari itu tidak heran jika banyak orang yang baru bertindak saat masalah sosial tersebut sudah berdampak pada diri mereka. Banyak orang yang berharap pemerintah bisa menangani masalah di negaranya sedangkan para pemerintah tersebut pun sama tidak acuhnya.


Sudah jelas

Kebanyakan kita hanya ingin melihat hasil, bukan proses. Jadi banyak dari kita yang baru menyadari saat seseorang sudah menjadi sukses.

Orang-orang cerdas pasti akan kesepian selama mereka berproses menjadi sukses. Hal ini terjadi sebab jarang sekali orang yang ingin bersama mereka saat orang-orang cerdas tersebut memerlukan sandaran.

Bahkan dengan teganya, beberapa orang menyebutkan kehidupan orang cerdas sebagai kehidupan depresi karena kesendirian mereka selama berproses.

Sama seperti komentar warganet dengan kehidupan ‘tenang’ ala orang Jepang.

Semakin Cerdas

Sumber: Nikkei Asia

Sempat beredar video bagaimana orang-orang Jepang berangkat kerja di stasiun begitu kaku dan seperti robot. Komentar warganet banyak yang menuduh bahwa itu adalah kehidupan menyedihkan yang sarat depresi.

Padahal ingin suasana seperti apa yang mereka inginkan saat berangkat kerja? Apakah mereka ingin berbuat onar dengan teriak-teriak di stasiun dan mengganggu orang lain? Atau ingin setiap orang tertawa lepas dengan nyaring mengganggu orang-orang di sekitarnya?

Justru banyak orang cerdas yang merasakan lelahnya dalam berproses, mereka membutuhkan ketenangan. Dunia yang damai begitu membahagiakan mereka.

Tong kosong, bunyinya akan selalu nyaring.

Bukan berarti orang cerdas tidak pernah berisik. Mereka pun terkadang berisik, namun dengan kecerdasan mereka, mereka sudah paham kapan dan dimana mereka harus berisik dan kapan harus tenang. Sesimpel itu.

Orang cerdas biasanya akan lebih peka dengan masalah di sekitar mereka. Tetapi kepekaan itulah yang menyebabkan mereka kesepian. Dengan siapa mereka akan membahas masalah-masalah itu? Kebanyakan orang tidak akan peka sebelum mereka sendiri yang terkena masalah tersebut.

Salah satu contoh mudahnya, ada orang yang menuduh dengan serta-merta bahwa orang yang tidak ingin naik tangga sudah pasti orang yang malas. Di suatu hari kakinya terkilir dan membutuhkan alternatif akses selain tangga tetapi justru tidak ia temukan.

Orang cerdas tidak perlu sampai terkilir terlebih dahulu untuk memiliki kepedulian sederhana seperti ini. Ia sudah memikirkan para lansia, ibu hamil, dan prioritas lainnya yang tidak dapat menggunakan tangga.

Tetapi sekali lagi, orang cerdas lebih memilih kesepian daripada diskusinya dibalas dengan tidak menyenangkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Ya, orang cerdas memang harus selalu kesepian. Kecuali, jika ia menemukan orang-orang yang sama cerdasnya atau lebih baik darinya. Itulah sebaik-baiknya rekan hidup.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 40: Jauh yang Dekat

    Berikutnya
    Tips Lebih Bahagia 41: Menjadi Aktor Utama


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas