Ini masih seputar kisah Uwi, yang dia bercerita setelah saya desak hehe…
Semasa SD dan SMP, telah dikenal suatu acara perkemahan rutin setiap tahun bagi anggota pramuka yang dikenal dengan istilah PERSAMI (Perkemahan Sabtu Minggu) dan PERJUSAMI (Perkemahan Jumat, Sabtu, Minggu). Uwi waktu itu yang masih SD, mengikuti kegiatan PERJUSAMI di sekolahnya.
Acara yang paling ditakuti oleh anak-anak pramuka ketika berkemah adalah “Jurit Malam”. Uwi mendapat giliran dengan temannya pada waktu itu melewati perjalanan yang sangat gelap di hutan dan perkampungan yang rumahnya masih sangat sedikit. Namun karena memang sudah dikenal ‘bangor’ alias tidak takut hantu, Uwi berjalan saja seakan tidak ada halangan berarti.
Di tengah jalan tiba-tiba ada kain putih menggantung. Temannya Uwi tentu saja ketakutan. Namun Uwi yakin itu hanya ulah kakak kelasnya saja yang iseng untuk menakuti peserta jurit malam, makanya dia langsung menghampiri kain tersebut dan menariknya hingga jatuh beserta ‘kepala’nya yang biasanya terbuat dari batok kelapa.
Di lain tempat, dia bertemu dengan Pocong. Sebal dengan kelakuan kakak kelasnya, akhirnya dia tinju Pocong tersebut dan meremas kepalanya. Aneh, kepala yang bulat terbungkus kain kafan namun ketika Uwi pegang justru hanya setengah kepal. Akhirnya Uwi dan temannya memilih untuk melanjutkan perjalanan di tengah gelap.
Sampai akhirnya setiap peserta dikumpulkan di tengah lapangan yang angker, di mana dulunya ada pohon kamboja yang tersambar petir hingga terbelah dan ranting-rantingnya menghadap ke atas semuanya. Sebelum sampai di lapangan tersebut, peserta harus melewati jalan setapak.
Sepanjang jalan menuju lapangan, teman-teman Uwi membicarakan ketakutannya masing-masing. Bahkan di antara mereka berkata bahwa setelah ini akan dimulai acara menakut-nakuti dengan setan bohong-bohongan oleh kakak kelas pada perjalanan pulang nanti. Uwi dan temannya kaget, ternyata sedari tadi acara setan bohong-bohongannya belum dimulai. Lalu siapa tadi yang ditarik dan ditinju Uwi?
Di jalan setapak itu pula Uwi dan temannya melihat sebuah patung seperti orang menuang air dari kendi. Patung yang aneh.
Setibanya di lapangan angker tersebut para murid dikumpulkan di lingkaran besar untuk proses mengheningkan cipta. Namun setelah lingkaran terbentuk, temannya Uwi yang perempuan terlihat seperti akan menangis. Uwi langsung menyapanya,
“Kau kenapa?”
Temannya menunjuk ke arah pembina, dan Uwi menemukan sesuatu yang aneh. Ada dua pembina, yang satu pembina yang asli, dan yang satu lagi hanya terlihat hitam, tidak terlalu jelas. Namun, wajah sesosok makhluk tersebut dapat terlihat dengan cukup jelas. Itu adalah wajah patung yang tadi!
Pemandangan lain yang terlihat jelas adalah pohon mati yang tersambar petir itu. Kali ini dengan tiga buah yang sedang menggantung. Uwi bertanya kepada pembina, “Kak, kamboja itu berbunga atau berbuah?”
Alih-alih dijawab, pertanyaan Uwi justru diteriakkan oleh sang pembina kepada anak-anak lainnya. “Ada yang tahu, kamboja itu berbunga atau berbuah?!”
“BERBUNGAAA!!!” Jawab serentak anak-anak.
“Inilah jika orang yang jarang membaca!” Jelas pembina sambil menunjuk ke arah Uwi.
Uwi membela diri, “Bukan itu!” Sembari memanggil bapak Pembina dan memberi isyarat agar lebih mendekat kepadanya. Pembina pun menurut.
Uwi memberi isyarat agar sang pembina melihat ke arah pohon kamboja yang mati tersebut. Dan kemudian pertanyaan lain terlontar dari mulut Uwi,
“Berapa banyak bapak pembina di sini?”
Sang pembina menunjuk dengan senter para pembina yang lain, dan memberitahu Uwi bahwa ada lima orang pembina. Kemudian sang pembina langsung meninggalkan Uwi dan mengumpulkan para pembina lain untuk berembuk singkat. Tak berapa lama setelah itu, si bapak pembina kembali lagi pada Uwi dan membisikkan sesuatu,
“Evakuasi anak-anak. Di sini seharusnya hanya ada tiga pembina.”
Dan di atas pohon itu, itu bukan buah yang menggantung. Melainkan tiga buah bantal guling yang melayang, berbentuk pocong.