Curug Malela

Episode sebelumnya: Si Anandastoon dengan si Pirikidilnya terbang menembus awan, menggapai langit bersama burung-burung yang juga ingin terbang ke selatan demi mencapai suatu nirwana di ujung langit yang bernama Curug Cikondang. Namun sepulang dari nirwana tersebut si Anandastoon ngejeledag dari langit dan berakhir di sebuah penginapan.

*musik pagi diputar bersama cuitan burung-burung

Eauhyyy! Udah pagi dinginnya. Oiyak belom solat subuh! Alhamdulillah waktunya masih keburu. Abis itu saya tinggal nunggu sarapan dan saya keluar untuk menghirup udara segar yang asli langsung dari pegunungan. Yah bekabut.

Curug Cikondang

Suara pintu kamar saya diketuk terdengar, tanda-tanda sarapan sudah datang. Asikk… kira-kira apa ya sarapannya? Steak? Hamburger? Kebab Turki? Atau Nasi Biryani? Yum-yum nggak sabar nunggunya, jadi saya buka pintu daannn… seorang bapak tua tersenyum menyuguhkan sebuah kantong plastik ke arah saya. Pintu kembali tertutup.

Saya buka plastiknya… masih terbaring sebuah gabus a.k.a stirofom. Saya masih deg-degan untuk unboxing apa isi gabus tersebut.

3… 2… 1…

Apaaaa??? Nasi goreng biasa. Mana steaknya? Kebabnya? Burgernya? Halaaahhh nginep di penginapan murah aja minta sarapan hotel bintang sepuluh hahah! Nasinya enak kok btw… one of the best place for rest in rural area I’ve ever visited, saya mau kasih bintang lima kayaknya di kolom review mapsnya mbah Gugel.


Bokko-Leu!

Jam 8 lewat, setelah solat dhuha, saya mulai kembali melanjutkan episode ngebandel saya ke Curug Malela. Saya melewati sebuah jalan yang tidak dijangkau oleh street viewnya simbah di pertigaan yang ada Alfam*rtnya. Okai mokai, etpentur dimulai!

Curug Malela

Saya cek rute di mapsnya simbah pakai mode sepeda motor, katanya 31 km itu ditempuh selama 1 jam 30 menit. Wah berarti kecepatan rata-rata saya maksimal cuma bisa sekitar 20km/jam. Tidak mungkin karena macet, apa karena jalanannya begitu berliku sehingga saya tidak bisa memacu si Pirikidil dengan galaknya? Atau karena hal lain?

Sebetulnya sudah dapat ditebak sih jalanannya berupa aspal yang tidak rata, tapi setidaknya betul-betul better dibandingkan dari apa yang saya pikirkan. Pemandangannya juga masih asri jadi saya tidak perlu memikirkan kondisi jalannya, paling si Pirikidil yang cemberut lewat medan jalan yang begitu.

Curug Malela

Tapi untungnya jalanan rusaknya nggak begitu lama karena selama beberapa kilo ke depan saya dihadapkan dengan jalanan beton mulus… luss… lussss… makasih deh siapa pun yang udah ngebeton jalannya meskipun masih ada bolongnya dikitttt banget hahah. Nggak masalah. Nggak masalah banget malah. Saya bisa mulai menaikkan gas si Pirikidil.

Tapi sayangnya kebahagiaan itu nggak lama, karena selama 18 kilometer kedepan, yang saya hadapi adalah monster.

Betul. MONSTER!!!

Curug Malela Curug Malela

Alamak… foto-foto di atas itu sebetulnya masih terhitung lumayan bagus dibandingkan dengan sisanya yang harus saya tempuh. Saya terlalu sibuk menyeimbangkan si Pirikidil di bebatuan saat tanjakan, tikungan, dan turunan yang mana kadang-kadang saya dikagetkan pula dengan mobil bak dan truk jadi saya nggak ada waktu untuk mengambil foto jalannya.

Setiap ada jalanan rusak yang menanjak di tengah hutan, saya berteriak untuk berjuang, “Bokko-Leu!”

Yah lumayan stamina saya agak nambah berkat kata-kata aneh itu. Betewe, apa itu “Bokko-Leu”?

Oh nggak, itu percakapan dengan teman saya yang mencintai budaya Korea Selatan sampai Hangeulnya saja dia mau kuasai. Ketika saya mengirimkan foto-foto ciamik saya waktu kemarin saya travelling, dia juga ikut mengirimkan foto-fotonya sewaktu dia berada di pulau Jeju.

Dia bertanya, “Kalau kamu di mana itu?”

Saya jawab, “Oh, itu di Jeju agak sinian dikit, nama tempatnya ëł´ęł  뼴 (Bokko-leu alias Bogor hahahah)”.

Wah di depan saya ada jalanan menanjak dan juga meliuk, ditambah komposisi jalannya cuma batu ditebar doang. Ayo semangat untuk melintasi treknya! Bokko-Leuuuuu!!!!

Di tengah-tengah itu jalanan mulai kembali berbentuk dan lumayan teraspal, lalu saya tiba-tiba menemukan ini:

Curug Malela

Baguslah sudah di jalan yang benar menuju air terjun Malelanya. TAPI YA ABIS ITU JALANANNYA ANCUR LAGI!!! BOKKO-LEUUUUU!!!

Aduuhhh mana ada bekas longsoran lagi, kemudian ada orang-orang yang mencoba membersihkan sisa tanah longsornya sambil meminta bantuan kepada siapa pun yang lewat. Yaampun.

Pulangnya saya nggak mau lewat sini lagi. Titic!

Tapi akhirnya beberapa kilometer menuju air terjunnya jalanan sudah kembali mulus. Alhamdulillah. Saya kembali memasuki area-area perkampungan sambil dipandu oleh mapsnya mbah Gugel. Kali ini doi betul-betul mengarahkan saya ke jalan yang bikin saya happi.

Kemudiannn…

Eh serius saya suruh lewat sini???

Curug Malela Curug Malela

Alamak… itu kayu pas saya lewatin pada teriak-teriak. Jangan patah dong kayunya, yang kuat yaa…

KRAAKKK!!! AAAAA!!! Mamakk…! Teriakan kayunya makin menjadi semakin saya ke tengah, saya nggak mau jadi kayak aktor Final Destination begitu. Masalahnya kayu lho, kalau lapuk gimana say?

Alhamdulillah berhasil juga sampai seberang. Untungnya setelah itu jalanan betul-betul mulus melewati kebun teh dan jalan-jalan puncak yang pemandangannya ciamik. Tapi awas, samping jalanannya murni jurang.

Curug Malela

Dari sana sudah ada petunjuk jalannya bahwa Curug Malela tinggal 5.5km lagi. Bagus, bagus. Semoga jalannya masih tetap mulus begini, lobang-lobang kecil masih dimaafkan lah ya…


Primitif modern

Saya entah kenapa sudah tiba di tempat parkir air terjun, ini seperti yang di Curug Cikondang kemarin di mana tempat parkirnya berada di penghujung jalan bagus.

Area parkirnya betul-betul begitu ramai oleh mobil dan kerumunan sepeda motor. Pandemi begini betul-betul tidak menghalangi orang-orang untuk tetap pergi piknik ya? Termasuk saya juga sih hahah, yasudalah saya ambil masker saya dan saya lilitkan bak ninja di wajah saya.

Curug Malela

Cusss…

Saya menuju loket masuk. Tapi tunggu, saya betul-betul lupa ditagih berapa waktu masuk. Serius, saya betul-betul lupa. Entah Rp5k atau Rp10k. Aaaaa… saya nggak inget sama sekali. Atau bahkan saya malah nggak ditagih? Yaudah para pembaca mohon siapin aja duit Rp20k buat jaga-jaga ya hehe…

Seingat saya sih Rp5k-an deh, apa Rp6k ya?

Begitu masuk saya langsung wah karena jalan menujunya air terjunnya betul-betul tertata.

Curug Malela

Dua ratus meter kemudian jalanan berupa tangga menurun dan saya menemukan warung serta mushala. Semoga air terjunnya sudah dekat dari sini, yaampun saya udah nggak sabar sih.

Curug Malela

Di dekat mushala ada sebuah bangunan yang saya nggak tahu tujuannya untuk apa yang pasti desainnya cukup modern dan geometris. Dari sana saya dapat melihat air terjunnya yang kelihatannya masih jauh betul dari tempat saya berdiri sekarang. Yaampun, bakal jadi perjalanan yang agak melelahkan sepertinya.

Curug Malela

Jalanan bagusnya itu ya cuma tadi, hanya sekitar 200 meter aja, karena sisanya masih jalan merah yang licin kalau hujan. Dan juga perjalanan turunnya saja agak melelahkan ke Curug Malela ini karena beberapa jalanan menurun masih belum berupa tangga.

Yang lebih heboh? Bagi yang tidak mau berlelah-lelah selama perjalanan menuju atau dari air terjun, sudah tersedia KOM. Apa itu KOM? Komunitas Ojek Malela, begitu kepanjangannya. Yap, ada ojek di jalanan ekstrem begitu dan beberapa treknya sharing dengan lajur pejalan kaki. Tarif ojeknya? Rp20k.

Curug Malela Curug Malela Curug Malela Curug Malela

Saya agak gimanaaa gitu waktu saya lihat tukang ojeknya naik dari bawah dan pengunjung yang berjalan kaki pada minggir semuanya dan si akang ojeknya naik dengan membawa penumpang bonceng tiga di medan yang begitu ekstrem, kaki si akangnya menepak-nepak jalan demi menjaga keseimbangan.

Ya ampun manusia mencari nafkah dengan cara yang bermacam-macam ya? Tapi bermanfaat sih bagi pengunjung yang kelelahan terutama para ibu dan orang-orang yang nggak begitu sehat.

Nah, beberapa puluh meter ke air terjunnya, jalanan sudah mulai kembali dibeton dengan sekat yang modern, bahkan toiletnya pun modern.

Curug Malela

Saya hanya berprasangka baik, mungkin jalanannya masih dalam tahap pengembangan karena di tengah perjalanan tadi ada beberapa orang yang meminta sumbangan perbaikan jalan dan beberapa tanah sedang dicangkul untuk pembentukan tangga.

Intinya, saya sudah sampai di air terjunnya, yang berwarna coklat matang. Yah nggak jernih… (komplain lagi)

Dari atas air terjun ini betul-betul telah direvitalisasi secara masif. Tapi ya… jangan lupa aksesnya ya… dan merupakan poin plus juga jika ditambahkan jalan pintas ke Cianjurnya atau seenggaknya jalanan yang saya lalui tadi dibagusin ajah hehe…

Curug Malela

Pengunjungnya begitu bejubel. Ada yang di tempat selfie, ada yang di jembatan selfie-selfie, ada yang pada duduk di huruf CURUG MALELAnya juga selfie-selfie. Apa orang-orang hari ini tidak bisa ke tempat wisata kalau tidak selfie ya? Hahah…

Katanya Curug Malela ini disebut dengan Little Niagaranya Indonesia. Alasannya apa ya? Apa karena bentuknya melebar begitu? Masih jauh ah kalau dibandingin sama Niagara, pengen banget ya disandingin sama ‘produk’ luar? Apa nggak pede kalau cukup disebut dengan Curug Malela saja tanpa disandingkan dengan Curug Niagara meski pun pakai embel-embel little?

Kan mirip soalnya… Yaudalah terserah.

Curug Malela


Beda jalan pulang

Saya melipir ke warung untuk bertanya tentang jalan pulang. Ternyata semuanya kaget mengingat saya yang baru bisa naik sepeda motor, sendirian dari Jakarta ke Malela ini. Dulu saya waktu masih ngangkot, jalan kaki berkm-km ke tempat wisatanya, pengelola wisata pada kaget, sekarang saya udah bisa naik motor aja masih pada kaget hehe…

Hingga akhirnya semua dari mereka tidak tahu jalanan yang bagus menuju Cianjur, bahkan ada yang mengarahkan saya lewat Padalarang. Hell No, sama saja saya harus menambah 30 kilometer lagi untuk jalan pulang, bisa-bisa baru sampai rumah jam 12 malam.

Akhirnya ada yang mengarahkan saya untuk lewat Waduk Saguling. Yah meski sama juga lebih jauh tapi better daripada saya harus ke Padalarang dulu.

Wah iya, udah hampir zhuhur, pulang ah takut kemaleman.

Sesampainya di atas setelah satu jam menanjak, baju saya lepek semua.

Akhirnya saya shalat zhuhur di mushala yang ada di tempat parkir setelah itu saya memesan bakso untuk makan siang.

Wah ada kucing, saya panggil dengan oktaf yang sama dengan oktaf kucing, beberapa orang bingung mencari-cari kucing lain termasuk si kucing itu sendiri. Akhirnya mereka sadar kalau yang ngeong-ngeong tadi itu saya hahah. Lalu karena baksonya keras, sebagian saya share dengan si empus.

Oh iya, di sini banyak dogi, tapi doginya baik kok, bahkan sama si empus aja akur tuh berdua.

Curug Malela

Akhirnya saya menyeret si Pirikidil kembali dari parkiran, dengan roda belakang yang sempat selip karena tanah merah, alhamdulillah nggak jatoh hahah.

Nah perjalanan pulang ini berkesan karena selain jalanannya bagus, saya melewati jalan-jalan perkampungan yang saya bahkan hampir tidak yakin kalau saya harus lewat sini. Belum lagi setelah 40km kemudian, saya masuk ke jalan Rajamandala menuju Cipatat dengan piu (baca: view, edisi Sunda) yang sangat aduhai dan kontur jalanan yang meliak-liuk seperti yang di Puncak.

Curug Malela

Tapi tetap, saya harus ekstra hati-hati karena jalanannya kadang rusak parah, maksud saya aspalnya ada yang jebol di setiap beberapa puluh meter sekali, jadi meskipun jalanannya bagus namun saya tidak bisa memacu kendaraan saya di atas 50km/jam.

Ahhh… berharap ada kereta gantung di daerah sini seperti Genting Highlands di negara tetangga.

Curug Malela

Trek jalanannya selama 10km benar-benar menguji skill manuver si Pirikidil, ini antara menarik dan menegangkan sih. Saya sukak!

Curug Malela

Setelah saya tiba di Cipatat, saya diarahkan menuju Jonggol dan tidak lagi lewat Puncak. Lebih cepat katanya. Bolehlah.

Di sepanjang perjalanan tuh hujan deras, memaksa saya untuk mengeluarkan jas hujan dari jok dan perjalanan via Jonggol itu boring sumpah. Mana penerangan jalannya minim.

Bahkan 40km saya berkendara hingga saya harus mampir ke masjid terdekat untuk shalat Maghrib, saya masih belum sampai Jonggol, baru mau sampai Cariu, yang dulu pernah saya singgahi untuk singgah ke Curug Kantri. Yaampun kenangan parah ini.

Untungnya jalanannya nggak jelek-jelek banget meskipun sepanjang perjalanan saya sering nemu kontener-kontener lamban jadi saya wajib salip, namun sekali lagi itu bukan masalah. Saya sampai di Cileungsi pas waktu Isya dan sampai Cibubur jam setengah delapan malam kemudian mampir di Ceger untuk makan malam.

Saya makan malamnya dine-in, meskipun PSBB ketat tapi itu kayaknya cuma “katanya” hehe…

Saya tetap pake masker dan jaga jarak dong ~

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Petualangan Bersambung 1: Cianjur Selatan, Curug Cikondang

    Berikutnya
    Kisah Saudara Sepupu


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas