Penentuan derajat, atau level kehidupan manusia merupakan salah satu hak istimewa atau prerogatif Allah Ta’ala.
Dia Maha berkuasa untuk merendahkan atau mengangkat derajat hamba-hambaNya. Itu tercantum dalam salah satu ayatNya sebagai berikut,
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
QS. Ali Imran: 26
Kita pun banyak yang berdoa agar Allah Ta’ala senantiasa mengangkat derajat kita, siang dan malam, tak henti-henti.
Namun apa bukti bahwa derajat seseorang sudah lebih baik daripada sebelumnya? Adakah tanda-tanda yang dapat kita kenal?
Saya tidak akan membahas perkara gaib seperti bagaimana kedudukan kita di langit, di pandangan para malaikat karena saya tidak memiliki ilmu untuk itu. Saya mencoba untuk membahasnya dalam lingkup sesama manusia di dunia saja.
Mungkin kita menyangka bahwa orang yang derajatnya sudah Allah angkat, adalah seperti para artis atau para pengusaha yang terlihat sudah sukses di dunia. Mereka memiliki harta berlimpah dan fans yang banyak.
Saya tidak ingin mengomentari hal itu, tapi saya mau mencoba membahas hal lain yang lebih berhubungan atau ‘relate’ dengan kita.
Kita membayangkan orang-orang yang naik derajat itu seperti orang yang naik level kehidupan mereka, setingkat demi setingkat ke arah yang lebih baik.
Derajat kehidupan ini bisa Allah Ta’ala berikan kepada siapa pun tanpa memandang harta atau status. Orang miskin bisa memiliki derajat lebih baik daripada orang kaya. Tetapi orang kaya pun bisa memiliki derajat yang jauh lebih baik daripada orang miskin.
Berikut setidaknya saya rangkumkan lima tanda-tanda yang mungkin Allah Ta’ala sudah mengangkat derajat kita di dunia. Ini juga yang saya perhatikan dari mereka yang sudah bijak dan banyak ilmunya.
Pernahkah kita bertanya mengapa orang-orang berilmu kerap menghindari perdebatan, apalagi debat kusir, meskipun posisi mereka benar dan sarat manfaat?
Atau pernahkah kita bertanya alasan orang-orang bijak jarang memamerkan kehidupan pribadinya di media sosial, baik itu harta atau status seperti jabatan atau pencapaian mereka?
Orang-orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi sudah memiliki alarm otomatis untuk menghindari itu semua. Bisa jadi itu adalah salah satu bentuk perlindungan Allah Ta’ala untuk mereka.
Dahulu, saya senang meladeni orang-orang yang berdebat sampai masing-masing lelah sendiri. Namun setelah saya banyak belajar dan banyak mencoba memberi manfaat kepada orang-orang di sekitar saya, entah saya sudah tidak lagi bernafsu untuk berdebat.
Jika ada orang yang sengaja mengajak saya berdebat yang sia-sia, ada semacam jam alarm dalam diri saya yang menahan saya untuk melakukan itu.
Bagi saya, meladeni mereka bukan lagi satu level dengan saya. Ibaratnya seperti meladeni seorang anak kecil yang masih tidak memahami apa pun selain hanya bermodalkan perasaan saja. Itu hanya membuang kesempatan berharga saya.
Saya pun sudah ada di tahap di mana saya rela dikritik orang lain yang memang kualitas ilmu mereka jauh lebih berbobot.
Fokus saya justru sudah lebih mengarah kepada memperbaiki diri sendiri ke arah yang lebih baik. Itu saya lakukan sebab saya sudah merasakan sendiri manfaat dari setiap improvisasi yang saya lakukan.
Ibaratnya, seorang gamer ahli yang levelnya sudah tinggi, pastinya akan otomatis merasa terhina apabila ada orang yang menawarkannya trik ilegal seperti ngecheat atau hack. Apa artinya usaha dia selama ini jika harus berakhir menggunakan cara curang tersebut?
Pejabat yang telah terbiasa menebar manfaat kepada orang lain akan merasa hina dengan sendirinya jika ia harus korupsi.
Kira-kira seperti itu. Ada jam alarm dalam diri pribadi yang sudah otomatis akan berbunyi.
Saat banyak orang berkutat ke masalah mereka pribadi yang selalu membahas keluhan pribadinya dari hari ke hari, orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi agak sedikit berbeda.
Betul bahwa setiap orang memiliki masalah pribadi mereka masing-masing, bagaimana pun derajat mereka.
Hanya saja, orang-orang yang memiliki derajat lebih tinggi mereka memiliki fokus masalah yang sudah di luar masalah pribadinya.
Orang-orang yang memiliki derajat hidup yang lebih baik tidak lagi terlalu memusingkan masalah pribadi mereka karena mereka sudah yakin ada Allah Ta’ala yang akan memudahkan urusan mereka.
Tantangan mereka justru bagaimana menilai masalah sosial di sekeliling mereka dan ikut serta memikirkan solusinya. Itu sudah otomatis tersetel.
Mereka peduli dengan masalah keteraturan, hingga masalah yang sering disepelekan orang-orang seperti perubahan iklim, mulai dari lingkungan tempat mereka sendiri tinggal terlebih dahulu.
Orang-orang seperti itu jarang membahas politik apalagi hanya mengomentari pejabat yang korupsi apabila keadaan di sekeliling mereka saja masih semrawut.
IQ dan EQ mereka biasanya tinggi, dan pandai memecahkan masalah. Mereka punya kemampuan membuat orang lain lebih tenang. Itulah yang membuat derajat mereka lebih baik daripada orang di sekitarnya.
Orang-orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi akan secara otomatis mengamalkan hadits Rasulullah saw., yang membahas bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesama manusia.
Mereka sering membuat gebrakan dan mereka konsisten dengan itu. Ada saja fitur baru yang mereka hasilkan dari produktivitas mereka.
Semakin tinggi derajat seseorang, semakin besar manfaat yang ia tebar.
Bahkan pamernya orang-orang yang memiliki derajat yang lebih baik, itu berbeda dengan pamer kebanyakan orang.
Benar bahwa orang-orang yang berderajat lebih tinggi itu sesekali memamerkan pencapaian mereka. Tetapi hanya sesekali dan itu sangat, sangat wajar.
Orang-orang berderajat tinggi justru tidak akan meninggalkan para audiensnya begitu saja saat mereka pamer. Mereka bisa memberikan tips atau kata-kata penawar motivasi yang ampuh.
Kata-kata motivasi yang mereka utarakan bukan sekadar, “Semangat!” atau “Ayo, kamu bisa!”, tapi lebih mengarah ke kata bijak yang hampir tidak meninggalkan jejak rasa iri negatif di batin para audiens mereka.
Sekali lagi, mereka adalah manusia-manusia ajaib yang bisa memberikan rasa tenang kepada manusia lain.
Mereka juga seringkali mengorbankan waktu, harta, dan tenaga mereka untuk membahagiakan orang lain. Seperti menyumbang fasilitas umum, menjadi relawan, atau berbagi ilmu.
Bahkan mereka sesekali menyumbangkan jerih payah mereka secara gratis yang dapat membantu orang banyak.
Berbeda dengan orang-orang yang hanya mengandalkan kehidupan mereka dari uluran tangan-tangan orang lain tanpa ingin berusaha lebih. Gengsi orang-orang seperti itu bukanlah berasal dari manfaat yang mereka tebar, tapi dari drama dan merasa lebih baik dari orang lain.
Sekali lagi, kita menyangka bahwa artis yang telah memiliki harta yang berlimpah dan fans yang banyak adalah orang-orang yang telah Allah Ta’ala angkat derajatnya di dunia.
Dan sekali lagi, saya tidak ingin mengomentari hal itu. Sebab, salah satu derajat kita sudah lebih baik adalah memiliki ujian hidup yang lebih parah daripada orang lain. Dan ujiannya bukan ujian-ujian umum yang dialami kebanyakan orang.
โOrang yang paling berat ujiannya adalah para Nabiโ, aku berkata, โWahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?โ Beliau bersabda, โKemudian orang-orang sholeh…โ
HR. Ibnu Majah
Ujian orang-orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi itu jauh lebih berat karena permasalahan mereka sudah jarang orang lain rasakan. Mereka pun sama, mengalami depresi dan sesaknya dada.
Lagi-lagi seperti seorang gamer, kesulitan level 1 dengan level 10 pastinya jauh berbeda.
Hanya saja, kenyataannya banyak gamer yang masih level satu sudah memiliki keluhan seakan-akan kesulitan mereka sudah begitu tinggi. Padahal, gamer yang sudah di level sepuluh pun mengalami kesulitan yang lebih dahsyat, namun kepada siapa ia akan mengadu?
Kita mungkin bingung saat ada orang kaya atau pengusaha yang masih depresi padahal mereka seolah sudah memiliki semuanya. Bisa jadi, tingkat ujian mereka sudah bukan lagi satu level dengan kita.
Ada pengusaha yang depresi karena ia berhadapan dengan izin yang berbelit, teror dari beberapa karyawan yang nakal, para pesaing yang selalu ingin menjatuhkannya, hingga utang perusahaan yang mungkin tidak mampu ia bayar.
Kita mungkin tidak akan sanggup jika berada di posisi pengusaha tersebut. Dan wajar, kita masih belum levelnya menerima ujian berat seperti itu.
Tetapi jika pengusaha tersebut mampu menghadapi rentetan badai ujian sulit yang jarang orang lain rasakan, maka balasan yang akan diterima pengusaha tersebut akan jauh lebih manis bahkan juga akan dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya.
Bayangkan, ujian Nabi dan Rasul begitu berat karena mereka harus menghadapi umat manusia yang tidak ingin berubah. Tidak perlu membahas dakwah vertikal terlebih dahulu, kita coba bahas dakwah horizontal.
Nabi Syu’aib a.s., bisa kita bayangkan bagaimana beliau harus senantiasa menegur perbuatan umatnya yang masih tergolong rakyat kecil untuk berhenti mencurangi timbangan dan mengganggu orang lewat.
Sekali lagi, bayangkan satu orang Nabi harus berhadapan dengan satu kaum, yang mana beliau pastinya mendapatkan ancaman dan teror selama berdakwah dan itu tidak berlangsung hanya satu atau dua hari. Padahal yang namanya Nabi, pasti berdakwah dengan lemah lembut.
Kita saja, sering melihat orang-orang meresahkan yang tidak ingin diatur namun hobinya mengatur orang lain semaunya. Bagaimana mendakwahi orang-orang seperti itu? Itulah hebatnya ujian para Nabi dan Rasul.
Apakah orang-orang yang berderajat lebih tinggi bisa menilai derajat orang lain yang di bawahnya?
Saya jawab, iya. Mereka bisa. Namun mereka memilih untuk diam karena untuk apa juga?
Maka dari itu banyak orang-orang cerdas yang pandai menyelesaikan masalah orang lain namun justru mereka sendiri dilanda kesepian yang parah.
Kebanyakan orang hanya mau peduli masalah saat mereka sendiri yang sudah merasakan, sedangkan pencegahan dari orang-orang yang cerdas banyak yang diabaikan oleh orang lain.
Yang namanya level sudah tinggi, posisi mereka sudah di atas, mereka dapat melihat lebih luas orang-orang yang di bawah mereka. Termasuk apa saja masalah yang ingin menyerang dan bagaimana solusinya.
Apalagi semakin tinggi level seseorang, maka semakin sulit untuk mencari orang lain dengan level serupa. Terkadang orang-orang yang levelnya sudah tinggi seringkali kebingungan dengan perilaku di sekitarnya.
Sebab mereka sudah merasakan banyak hal, itu sudah cukup untuk membuat mereka lebih tunduk dan lebih bijak. Mereka sudah zuhud dengan sendirinya.
Pernahkah kita merasa saat Nabi kita, Rasulullah saw., yang menurut riwayat kerap bersedih karena selalu memikirkan umat Beliau? Prioritas Beliau saw., sebagai manusia yang paling agung salah satunya adalah kita sebagai umat Beliau yang bahkan Beliau saja belum pernah berjumpa sewaktu Beliau masih hidup.
Sedangkan kita, justru banyak yang masih sibuk memikirkan diri sendiri, menggampangkan masalah orang lain, dan enggan memperbaiki diri. Dengan level kita yang seperti ini, apakah kita masih memiliki ‘muka’ untuk bertemu Baginda Rasulullah Muhammad saw., sebagai manusia yang berderajat paling tinggi di alam semesta?
Mulailah sedari sekarang ini kita peka dengan sekitar kita, mencari orang yang menurut kita sudah memiliki wibawa dan manfaat bagi lingkungan sekitar kita karena bisa jadi orang-orang itu dapat membantu meringankan masalah kita, atau setidaknya membuat kita lebih baik.
Atau kita dapat bergabung dengan orang yang levelnya sudah lebih tinggi, insyaAllah bisa membantu mendongkrak derajat kita juga.