Kondisi Mental

Di Instagram, saya menemukan reels seseorang yang curhat bahwa menurut seorang ustadz depresi adalah salah satu bentuk azab Allah Ta’ala. Itu membuatnya semakin depresi dan merasa sangat bersalah (guilty) pada saat itu.

Tetapi apakah demikian? Apakah benar setiap emosi negatif seperti kesedihan, kecemasan, perasaan tidak aman, gelisah, hingga depresi adalah bentuk dari azab Allah?

Beberapa orang yang katanya ahli agama tidak segan-segan menuduh orang yang terkena masalah kesehatan mental adalah orang yang jauh dari Allah Ta’ala, atau orang yang kurang iman.

Saya yang pernah terkena depresi dan alhamdulillah telah Allah selamatkan dari sana merasa sangat tidak senang dengan itu. Bukan apa-apa, saya merasa bahwa para ‘ustadz’ tersebut telah membentuk stigma bahwa Islam menganulir emosi-emosi negatif.

Maka dari itu tidaklah heran banyak orang yang semakin jauh dan menjauh dari agama karena itu tidak membuatnya aman dan justru membuat mereka semakin tertekan.

Orang yang merasa paling beragama dengan entengnya menuduh orang-orang yang menjauh dari agama bahwa mereka telah termakan bujuk rayu setan.

Di satu sisi, banyak muslim merasa yang menganggap bahwa jika belum mempersulit dirinya sendiri maka dia belum menjalankan agama dengan sempurna. Bukankah hal ini begitu bertentangan dengan prinsip syariat yang senantiasa mempermudah pemeluknya?

Alhamdulillah saya pribadi telah mendapatkan beragam taushiyah yang tepat selama saya depresi, semakin membuka pandangan saya bahwa Allah Ta’ala begitu memiliki kasih dan sayang kepada ciptaanNya.


Psikologi bisa menjadi syariat

Psikologi adalah salah satu ilmu yang mempelajari perilaku dan perasaan manusia. Psikologi dapat kita katakan berkaitan erat dengan kondisi hati.

Hati memiliki tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terlebih dalam beragama.

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah itu ialah hati.
HR. Muslim

Menjaga hati atau perasaan orang lain adalah bagian dari syariat, yang mana hari ini sepertinya sebagian muslim melupakannya.

Beberapa orang belajar agama karena ego mereka, kemudian berani menceramahi orang lain dengan hal yang baru saja mereka tahu dan mereka berlepas tangan setelah itu.

Menurut mereka, yang penting mereka sudah menyampaikan walau satu ayat, tidak peduli penyampaiannya itu sesuai konteks atau tidak. Mereka merasa sudah termasuk orang-orang yang akan mendapatkan keistimewaan di akhirat nanti.

Emosi negatif benar-benar mendapatkan perhatian tersendiri dalam Islam, salah satunya adalah kesedihan. Bahkan untuk hal yang sangat sepele saja, ada larangan tersendiri membuat orang lain sedih.

Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara atau berbisik-bisik berdua sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga bersedih.
HR. Bukhori no. 6290 dan Muslim no. 2184

Emosi negatif itu adalah bagian dari perasaan manusia dan itu normal. Hanya saja, terkena emosi negatif bisa membuat seorang manusia menjadi sulit untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat.


Hiburan dari Allah Ta’ala

Allah Ta’ala adalah yang Maha Lembut lagi Maha Memahami bagaimana perilaku makhluk-makhlukNya yang begitu lemah dan rapuh.

Dia, Allah Ta’ala memahami bahwa makhlukNya memiliki rasa takut kepada selainNya secara natural. Misalnya, takut serangga, takut gelap, atau takut dengan beberapa hal yang menjadi fobia.

Nabi Musa a.s., adalah sosok yang menurut riwayat berbadan besar dan mampu membunuh orang dengan sekali pukul. Namun bagaimana pun, Nabi Musa a.s., adalah seorang manusia dengan beragam emosi di hatinya.

Allah Ta’ala memahami hal ini dan dengan lembut menyuruh nabiNya dengan memotivasi beliau agar beliau tidak perlu takut. Padahal bagaimana Nabi Musa a.s. akan takut sedangkan ada Allah Ta’ala yang langsung berbicara kepadanya?

Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
QS. Taha: 20-21

Di sini Allah Ta’ala tidak serta-merta menyuruh Nabi Musa a.s. mengambil tongkat yang telah berubah menjadi ular tersebut. Allah Ta’ala justru memberikan motivasi kepada Nabi Musa a.s. dengan menambahkan agar beliau tidak perlu takut dengan ular tersebut.

Sebelumnya saya telah menulis supaya kita belajar agama secara manusiawi. Manusiawi dengan tidak mengabaikan emosi-emosi negatif sebagai fitur yang telah Allah Ta’ala berikan kepada manusia.

Setiap Nabi dan Rasul pernah bersedih, cemas, takut, hingga depresi. Allah Ta’ala sangat memahami bagaimana perilaku makhluk ciptaanNya sehingga Dia sendiri yang langsung menghibur para utusanNya tersebut.

Saya angkat kembali kisah Rasulullah saw., yang mana beliau sempat depresi akibat tekanan kaumnya sebab wahyu yang tak kunjung turun. Dikabarkan Beliau sampai pulang-pergi ke Gua Hira atau bahkan sampai tidak Qiyamullail selama dua hari[perlu rujukan].

Saat Beliau pada akhirnya mendapatkan wahyu kembali, wahyu tersebut tidak langsung berisi perintah atau larangan. Justru wahyu tersebut seakan turun khusus untuk menghibur Rasulullah saw., selepas dilanda depresi.

Allah Ta’ala sampai menegaskan bahwa Dia tidak marah dan tidak pula meninggalkan Beliau beserta rentetan hiburan memotivasi yang mengiringinya.

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada pula benci kepadamu. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
QS. Ad-Dhuha: 3-5


Bukan hak setiap orang

Kita, muslim, pastinya menolak dengan pasti saat ada pernyataan “Islam disebarkan dengan pedang.”

Pernyataan tersebut dapat berarti kekerasan, baik fisik maupun mental. Secara ironi, beberapa muslim justru seperti yang saya sebutkan sebelumnya, menganggap menyebarkan agama harus secara langsung dan mengabaikan konteks.

Sebuah khutbah Jumat pernah berisi bahwa menegakkan agama juga memiliki cara dan syariat tersendiri. Saat kita melihat kemaksiatan, seperti perkumpulan orang yang berjudi, kita tidak dapat menyuruh mereka berhenti secara blak-blakan dan merusak permainan mereka.

Secara syariat, justru kita lebih baik memanggil penegak hukum untuk memberantas orang-orang seperti itu karena kuasa kita hanya sebatas sampai sana. Atau bisa dengan sebuah jepretan ponsel yang kemudian akan viral di sosial media.

Beragama memiliki algoritma tersendiri yang mana hanya ulama yang memiliki ilmu tentangnya sajalah yang berhak memutuskan. Kita yang bukan siapa-siapa hanya boleh sebatas sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat).

Justru hari ini, bisa jadi kebanyakan orang menjadi jauh dari agama akibat cara kita yang semaunya dalam menyebarkan ajaran agama. Padahal Allah Ta’ala sampai memberikan beberapa keringanan dan kemudahan agar makhlukNya dapat taat kepadaNya.

Pernah di zaman Rasulullah terjadi hal ini hingga membuat Beliau merespon dengan cukup keras.

Kami pernah mengadakan safar, lalu ada seorang ‎sahabat kami yang tertimpa batu hingga kepalanya terluka, lalu dia mimpi basah dan bertanya ‎kepada para sahabatnya, “Apakah kalian memandang ada rukhsah bagiku untuk ‎bertayamum?” Mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak mendapatkan keringanan ‎selagi engkau mampu menggunakan air.”

Diapun mandi lalu meninggal dunia. Tatkala kami ‎datang kepada Nabi saw, dikabarkan dengan peristiwa tadi, ‎kemudian beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka, ‎mengapa mereka tidak bertanya bila tidak tahu karena obat kejahilan adalah bertanya, ‎sesungguhnya cukup baginya bertayamum dan hendaknya dia membalut lukanya dengan kain lalu ‎mengusap bagian atasnya dan membasuh seluruh badannya.”
HR. Abu Daud


Backstory

Agama menjadi hal yang paling mudah untuk dijadikan tameng.

Dahulu saya begitu senang dengan beberapa orang yang berbondong-bondong mendatangi ajaran agama. Namun semakin ke sini, saya menjadi semakin skeptis.

Sebagian kenalan saya telah bercerita kepada saya bahwa teman-teman mereka yang hidupnya hanya uring-uringan sekarang selalu memposting dirinya memakai atribut agama dan tiba-tiba menjadi salih.

Masalahnya, orang-orang seperti itu pada akhirnya hanya mengentengkan masalah banyak orang di sekitarnya dan bertindak seolah-olah dirinyalah yang paling memahami ilmu agama sehingga terlihat seolah tegar dengan mengeluarkan dalil-dalil dasar.

Sisanya bahkan sering menakut-nakuti orang lain agar dapat mengasihaninya dan bersedekah kepadanya.

Sekali lagi, saya pernah menulis bagaimana hari ini para imigran muslim justru membuat kekacauan di negara yang telah sudi menampung mereka. Para imigran muslim justru menuntut tegaknya hukum syariat di tengah tingginya angka kriminalitas yang mereka sebabkan sendiri.

Mungkin inilah yang telah Rasulullah saw., khawatirkan mengenai umat Beliau di kemudian hari.

Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.
HR. Bukhari & Muslim

Dunia tidak sebatas harta dan materi semata. Justru hari ini banyak sekali orang yang mengaku miskin seringkali dilenakan dengan gengsi dunia apa pun caranya. Kehidupan mereka hanya menyusahkan orang lain baik dalam keadaan sulit mau pun lapang.

Lebih parah lagi, mereka memolesnya dengan balutan agama dan merasa telah berislam dengan menyeluruh (kaffah). Saya pernah bahas tuntas di sini.


Pahlawan Islam

Jujur dahulu sewaktu saya masih menjadi santri, banyak sekali rumor bahwa tamparan ustadz atau kiyai itu dianggap sebagai suatu berkah. Beberapa ustadz seringkali langsung menggunakan kekerasan bak training militer untuk mendisiplinkan para santri.

Meski memang saya terkadang tidak masalah dengan para santri yang nakal, namun kekerasannya cukup menyeluruh sehingga saya menganggap para ustadz tersebut lumayan mudah mengayunkan tangan.

Sebenarnya siapa yang mereka tiru? Apakah main tangan itu bagian dari syariat atau hanya memuaskan gengsi duniawi saja supaya para ustadz tersebut ditakuti para santri?

Melihat perilaku petinggi agama yang sudah mengkhawatirkan di beberapa instansi, saya semakin pesimis tentang kepedulian para muslim mengenai masalah kesehatan mental.

Maka dari itu, saya hanya mengikuti para ulama yang memang memahami hal ini dan biasanya pemahaman ilmu fikih mereka sudah tinggi. Saya belajar agama dengan para ulama seperti itu lebih menyejukkan hati dan lebih banyak mendapatkan siraman rohani.

Banyak muslim lupa bahwa membahagiakan orang adalah sebuah syariat. Banyak muslim yang seolah abai bahwa memudahkan urusan orang lain adalah syariat. Bahkan banyak muslim yang sepertinya tidak acuh bahwa Rasulullah saw., diutus di dunia untuk menyempurnakan akhlak.

Padahal menyenangkan hati orang lain memiliki pahala yang tidak main-main. Bahkan hanya senyum dan berwajah ceria saja dapat terhitung sebagai sedekah.

Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah SWT setelah melaksanakan berbagai hal yang wajib adalah menggembirakan muslim yang lain.
HR. Ibnu Abbas

Barang siapa yang membahagiakan mukmin lain, Allah Ta’ala menciptakan 70.000 malaikat yang ditugaskan memintakan ampunan baginya sampai hari kiamat sebab ia telah membahagiakan orang lain.
Kitab Al ‘Athiyyatul Haniyyah


Konklusi

Penyakit mental bukan hanya tren yang sedang berkembang zaman-zaman sekarang ini. Penyakit mental sudah ada dari dahulu kala, yang mana di hari ini kita lebih familiar lewat penyuluhan dan istilah-istilah khusus.

Rasulullah saw., tidak pernah mengentengkan masalah ini bahkan seringkali Beliau berikan solusi tanpa adanya penilaian sepihak. Beliau bahkan adalah orang yang paling mengerti kesedihan dan gundah gulana yang diderita oleh umat Beliau.

Suatu hari, saya pernah melihat stiker bertuliskan, “Daripada insecure, lebih baik bersyukur.”

Saya memahami pernyataan di stiker tersebut hanya untuk menemukan rima, tetapi insecure dan bersyukur sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Kebanyakan insecure terjadi karena lingkungan yang tidak membuat aman.

Inilah yang terjadi jika seseorang mencoba memasuki ranah psikologi yang tidak mereka ketahui hanya karena mereka mengetahui istilah agama satu atau dua saja.

Terkadang Allah Ta’ala sendiri yang langsung mengajak manusia untuk kembali padaNya dalam rangka menghibur dan menenangkan hambaNya.

…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Ar-Ra’d: 28

Bercerita kepada sesama manusia memiliki risiko hanya akan membuat khawatir karena kebanyakan orang cuma bisa memperparah keadaan. Apakah kita termasuk golongan orang-orang yang seperti itu?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Apakah Itu Wahabi? Bukan Urusan Kita

    Berikutnya
    Seberapa Tinggi Iman Para Nabi dan Para Sahabatnya?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas