Di tengah pembantaian keji Israel terhadap warga Palestina yang tengah berkecamuk, muslim sebenarnya mendapatkan ujian lain yang tak kalah peliknya.
Saat di internet saya melihat orang yang menyuarakan dukungan kepada Ukraina, orang-orang banyak yang bersimpati dan ikut mendukung. Sebagiannya lagi tidak mempermasalahkan suara-suara dukungan yang memenuhi layar gadget mereka.
Namun saat orang-orang menyuarakan dukungan kepada Palestina, banyak yang mencibir dan bahkan sebagiannya lagi dengan sengaja mengeluarkan perlawanan dengan membalas dukungannya kepada Israel. Sisanya, orang-orang seakan terganggu dengan suara-suara dukungan ke Palestina tersebut.
Secara sumbu pendek, saya langsung mencap bahwa orang kafir non-muslim itu tidak senang dengan Islam, atau dalam artian Islamofobia. Saya pun menuduh mereka bahwa memang kafir non-muslim sengaja ingin menghancurkan Islam lewat Israel.
Tetapi pikiran tersebut tertahan dan saya ternyata mendapatkan pikiran lain.
Beberapa bulan lalu, saat saya berselancar di Quora, entah mengapa saya tiba di Space atau grup tentang orang-orang yang tidak suka dengan Islam.
Biasanya grup-grup seperti itu seringkali membuat saya marah karena berisi konten, baik teks atau gambar, yang merendahkan Allah dan Rasulullah saw.
Tetapi saya mencoba menurunkan ego saya, dan melihat apa saja yang mereka bahas.
Ternyata bahasannya sebagian besar adalah alasan-alasan yang membuat mereka membenci Islam. Bagi saya ini menarik karena mungkin ada yang dapat saya ambil pelajaran dari sana.
Kebanyakan yang menyampaikan keluhan adalah warga negara-negara di Eropa. Mereka mengeluhkan perilaku muslim yang menetap di sana.
Banyak negara-negara di Eropa yang membuka imigrasi dan pengungsian terkhusus bagi warga timur tengah yang sebagian besar muslim. Tidak sedikit imigran atau pendatang muslim di Eropa yang melarikan diri dari negara mereka yang sedang dilanda kekacauan, seperti Yaman dan Syria.
Namun nyatanya, banyak sekali imigran muslim yang berperilaku barbar dan tidak taat aturan. Terlebih mereka menjadi sebab angka kriminal meningkat di negara-negara Eropa.
Seorang pria dari Italia sempat melayangkan keluhan bahwa ia mendapatkan gangguan dari seorang muslimah karena ia mengenakan celana pendek saat melakukan lari pagi.
Muslimah itu meneriaki dan menceramahinya karena tidak memakai celana panjang. Padahal yang ia teriaki itu bukanlah muslim dan dia sendiri hanyalah seorang imigran.
Saya semakin menghela nafas saat membaca keluhan-keluhan berikutnya. Bagi saya ini menarik karena yang seperti ini wajib mendapatkan perhatian terutama dari kalangan muslim itu sendiri.
Kasus berikutnya, seorang bapak berkewarganegaraan Swedia yang mengeluhkan anaknya menjadi takut keluar rumah. Alasannya, anaknya telah dijambret oleh imigran tiga kali dalam seminggu.
Seorang warga negara Jerman pun mengeluhkan bahwa banyak muslim yang mengadakan festival (bukan shalat di dua hari raya) yang kerap menutup jalan di depan apartemennya.
Semakin membaca keluhan-keluhan tersebut, semakin membuat saya kasihan dan ingin meminta maaf mewakili muslim yang tidak berperilaku seperti itu.
Saya kenal dengan seseorang yang pernah mengunjungi Perancis dua kali. Ia bercerita bahwa ia sangat terkejut saat ia mendatangi Paris.
Kumuh, jorok, bau pesing, dan sampah di mana-mana, serta banyak sekali orang mengotori jalanan dan mereka tidak terlihat seperti warga Perancis. Apalagi saat ia naik kereta bawah tanah, seorang imigran mencuri tas anaknya padahal banyak barang penting di dalamnya. Anaknya menangis di tempat yang seharusnya ia berbahagia.
Kenalan saya mengetahui pencuri itu imigran karena ia tidak berbicara bahasa Perancis dan pastinya warna kulitnya jauh berbeda.
Saya ingat dahulu saya pernah menulis tentang Rohingya, yang mana saya pernah bersimpati kepada warga Rohingya dan mendukung pihak-pihak yang membuka pengungsian untuk mereka.
Ternyata hal itu tidak berjalan baik. Di Malaysia, pengungsi Rohingya seringkali berbuat ulah sehingga pemerintah menutup pengungsian. Di Aceh pun sama, saya yakin beritanya sudah banyak beredar sehingga bisa jadi pembelajaran bagi kita semua.
Di London, dan di beberapa kota di Eropa, tidak jarang masyarakatnya terganggu dengan aksi unjuk rasa para imigran muslim yang menuntut pemberlakuan hukum syariah.
Mereka yang terganggu hingga berceloteh, “Mengapa mereka tidak menerapkannya di negara mereka sendiri dan justru kabur ke negara kami?”
Masih di London, yang mana saya sebagai muslim sempat berbangga saat walikota yang terpilih adalah seorang muslim juga, bernama Sadiq Khan, berdarah Pakistan.
Sayangnya, rasa bangga saya pudar saat ia justru mengeluarkan pernyataan bahwa serangan atau teror adalah bagian dari balada hidup di kota besar. Artinya Sadiq Khan seakan telah menormalisasi aksi teror.
Kota-kota di Jepang yang aman meski jauh lebih padat penduduk bisa tertawa terbahak-bahak dengan pernyataan itu.
Meski ada yang membantah itu adalah pelintiran, dan Sadiq Khan telah menjelaskan tentang itu, hanya saja teror tidak melulu terjadi di kota besar saja, kita sudah mendengar banyak berita tentang kriminal yang terjadi di pedesaan. Dan itu tidak kita normalisasi.
Jika mereka melayangkan keluhan akan perilaku imigran muslim tersebut secara terbuka pasti akan mendapatkan cap Islamofobia dan teror dari muslim sekitar.
Di negara tetangga saja, Singapura, yang mendukung tinggi keharmonisan antar ras, belum lama terjadi sebuah kasus.
Singapura membuka imigrasi bagi pekerja luar, termasuk dari negara mayoritas muslim seperti Bangladesh dan yang lainnya. Namun ada beberapa ‘oknum’ yang melakukan vandalisme “Free Palestine” di tempat umum.
Padahal, vandalisme adalah salah satu tindak kejahatan yang hukumannya cukup berat di Singapura, yakni dicambuk beberapa kali hingga tidak dapat duduk berbulan-bulan.
Sayangnya, banyak muslim yang mendukung vandalisme di Singapura tersebut hanya karena berisi dukungan terhadap Palestina. Warga Singapura yang ‘gerah’, tidak ingin menormalisasi ini sehingga merusak citra negaranya yang mereka bangun puluhan tahun dengan susah payah.
Saya sendiri tidak membenarkan menyuarakan dukungan dengan cara melanggar hukum, apalagi di daerah orang. Bukan gelar pahlawan yang mereka dapat, justru bisa menyebabkan kericuhan lain.
Sekarang saya ingin fokus dengan Jepang.
Saya pernah membaca juga keluhan orang Jepang mengenai seorang muslim imigran yang tinggal di sana. Menurut mereka, beberapa muslim terkadang mendatangi mereka dan tiba-tiba mendakwahi mereka. Bagi orang Jepang itu ada hal yang sangat tidak mereka inginkan dan tentu saja akan memperburuk citra Islam di sana.
Jepang termasuk negara yang paling ketat untuk masalah imigrasi. Mereka hanya tidak ingin kebudayaan mereka mendapatkan gangguan dari para pendatang yang enggan berbaur atau berintegrasi.
Ada kasus yang mengubah pandangan orang Jepang terhadap imigram Muslim, dalam hal ini dari Kurdi. Para imigran atau pencari suaka yang datang ke Jepang banyak yang tidak memiliki visa yang layak dan cenderung berbuat onar.
Bahkan orang-orang Jepang sampai membenci imigran muslim tersebut sebagaimana mereka membenci kecoa. Kalian dapat membaca sebuah jawaban di Quora langsung dari orang Jepangnya di sini.
Saya sering melihat para muslim, bahkan termasuk saya dahulu, yang membanggakan Islam sebagai salah satu pemeluk terbanyak di dunia. Hanya saja, setelah saya mendapatkan kenyataan yang seperti ini, saya seperti memiliki pandangan lain.
Perilaku muslim tersebut justru menambah beban muslim-muslim lain yang tidak seperti itu.
Umat Islam bukan hanya mendapat kebencian dari orang yang secara natural tidak senang dengan Islam, mereka pun juga mendapatkan kebencian dari orang-orang yang trauma dengan perilaku sebagian muslim yang lain.
Mungkin orang tua atau guru kita pernah mengajarkan kita bahwa menjaga nama baik begitu penting sebab ini memiliki kaitannya dengan membangun kepercayaan.
Belum lagi, sebagian dari muslim itu dengan entengnya menggampangkan masalah-masalah nama baik mereka sendiri.
Mereka hanya berkilah, “Tidak semuanya seperti itu.” Padahal dengan jawaban itu justru membuat orang semakin takut dan curiga. Berapa yang tidak seperti itunya? Apakah yang begitunya harus menunggu 100% supaya mau peduli?
Atau jawaban klasik lain, “Jika muslim berbuat salah, salahkanlah dia, jangan salahkan agamanya.” Itu pun hanya membuat segala sesuatunya lebih parah.
Sekarang lebih baik kita akui, saat ada pemeluk agama lain berbuat serong, kita pasti langsung menuduh agamanyalah yang mengajarkan.
Menggampangkan masalah dengan tanggapan-tanggapan klasik tersebut hanya membuktikan bahwa masih banyak muslim yang memiliki kepedulian rendah dan sarat ego.
Di negeri sendiri, saya kerap menemukan saudara seiman yang begitu sering menggunakan agama sebagai tameng supaya mereka bebas berbuat semau mereka. Saya pernah bahas di sini.
Contohnya, masih banyak orang yang bermalas-malasan dengan dalih rezeki sudah ada yang mengatur. Tetapi di satu sisi, mereka menuntut penghasilan yang tinggi dan berlimpah tanpa adanya usaha kecuali sangat sedikit.
Tipikal muslim yang seperti itulah yang hanya menyusahkan dan membuat resah. Apalagi dengan orang-orang yang dengan mudahnya memakai atribut agama. Dan jumlah mereka tidak sedikit.
Sekarang dunia tidak memerlukan celotehan apa pun sebagai pembelaan karena itu hanya lebih memperparah situasi. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai muslim yang ingin memperjuangkan kembali citra Islam?
Sepertinya kita sudah sering mendengar hadits Baginda Rasulullah saw., yang menyebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat.
Di sini yang ingin saya tekankan adalah yang menjadi cakupan hadits tersebut adalah manusia seluruhnya, bukan hanya muslim saja.
Kalau kita perhatikan, banyak non-muslim yang berusaha untuk menolong dan membantu sesama serta senantiasa memperbaiki diri. Kita sebagai muslim seharusnya jangan sampai kalah dan terus bersaing dalam perbuatan baik sebab itu adalah syariat.
“…Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan…”
QS. Al-Baqarah: 148
Berbuat baik di sini tidak harus menunggu bencana atau kesulitan. Sebab saat ada musibah seperti bencana alam, mereka yang kafir dan non-muslim pun tak jarang memberikan bantuan lebih banyak daripada bantuan dari muslimnya itu sendiri.
Kita melihat bagaimana orang-orang kafir dan non-muslim yang telah membantu mempermudah hidup banyak manusia lewat penelitian mereka dan teknologi-teknologi yang telah mereka ciptakan.
Padahal mempermudah urusan orang lain pun syariat. Sungguh ironi masih banyak muslim yang menganggap mempersulit urusan orang lain adalah bagian dari gengsi atau gagah-gagahan.
Muslim di zaman dulu amat sangat disegani karena mereka terdepan dalam memberikan ilmu-ilmu pengetahuan. Tidak heran mereka dengan mudahnya memperluas wilayah kekuasaan mereka tanpa adanya pertumpahan darah hingga ke daratan Eropa.
Dan terakhir, bukanlah hal baik memaksakan hukum syariat di negara orang lain, apalagi yang sebagian besarnya non-muslim. Kecuali, jika syariat tersebut diterapkan dahulu kepada para kriminal dari kalangan imigran muslimnya itu sendiri.
“Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.”
HR. Bukhari
Kita muslim masih memiliki kewajiban untuk mengikuti aturan di negara luar. Misalnya, saat ke Jepang, muslimah hanya mendapatkan toleransi memakai hijab, namun tidak sampai niqab dan burqa karena alasan keamanan. Dan peraturan itu setara dengan larangan penggunaan helm full face ke tempat yang berisikan larangan itu seperti di mall atau ATM.
Jika kita tidak senang dengan aturan di suatu tempat, lebih baik tidak perlu kunjungi tempatnya, bukan dengan memaksakannya dengan mengubah aturan yang masyarakatnya sudah nyaman dengan itu.
Islamofobia adalah sebuah fobia, yang mana sama seperti fobia lain yang memiliki pemicu.
Misalnya, ada dari kita yang fobia makanan pedas karena pernah mendapatkan pengalaman traumatik dengan cabai saat kita masih kecil.
Pun sama dengan islamofobia.
Orang yang cerdas biasanya akan pandai mengidentifikasi apakah seseorang yang islamofobia memiliki hal yang tidak menyenangkan dengan muslim sebelumnya.
Orang yang terkena islamofobia terkadang hanya memiliki satu keinginan dari para muslim supaya dapat mengurangi fobia mereka terhadap islam.
Keinginan mereka sederhana. Jika muslim memang tidak seperti itu, buktikan. Tidak semuanya pun tidak mengapa asalkan sebagian besarnya.
Jepang tetap terkenal dengan kebersihannya meski ada satu atau dua orang Jepang yang jorok. Jepang tetap terkenal dengan ketepatan waktunya meski ada satu atau dua orang Jepang yang sering terlambat. Satu atau dua orang yang seperti itu tidak merusak citra Jepang.
Sekarang dari muslimnya itu sendiri yang wajib membuktikan untuk memperbaiki citra Islam di mata para islamofobia.
Biarkan saja orang yang membenci Islam karena memang benci tanpa alasan. Fokus kita sekarang adalah kepada mereka yang membenci Islam karena ulah saudara seiman kita sendiri.
Orang-orang Eropa yang dituduh islamofobia pun masih mengagumi muslim Tatar di Polandia karena mereka dapat berintegrasi dengan masyarakat di sana. Tidak seperti imigran muslim yang gemar mencari masalah.