Curhat Di Media SosialHari itu benar-benar seperti neraka. Gondok pitam hitam lebar membumbung hingga ke ubun-ubun. Kemudian buka Facebook, Twitter, Tumblr, dan lain-lain, dan lain-lain. Tujuannya hanya satu…

Benar, tujuannya hanya satu…

EH DASAR AN**NG, BGST! LO TAU GUEBUKANORANGYGPEOJFAPBDU5IORGT892E8#*(@*!!!

Banting terosss piringnyaaa… Bhahahah…

Maafkan saya, tetapi memang itulah yang menimpa kebanyakan muda-mudi saat ini. Sudah cukup banyak dari mereka yang terbiasa melontarkan apa yang dipendamnya seharian lewat media sosial sehingga apa yang tersaji di halaman beranda adalah Caps Lock yang jebol dan penyalahgunaan pemakaian tanda seru.

Benar, saya juga dahulu pernah merasakan hal yang serupa, yaitu mengomel di jejaring sosial. Jika diingat-ingat kejadian itu, saya merasa jijik sendiri.

Menurut kalian, darimana fenomena mencak-mencak di media sosial tersebut bermula?


Panggilan yang diabaikan

“Apa yang kamu pikirkan?”

Begitulah kira-kira sapaan awal dari media sosial Facebook kepada para penggunanya. Kalimat lembut itu sebenarnya telah sangat jelas menanyakan perihal apa saja yang berada pada setiap pikiran para pengguna. Maka yang diharapkan adalah status-status atau postingan-postingan yang bertemakan intelegensia akan bermunculan.

Namun nyatanya? Kalimat yang semuanya berisikan kapital dan tanda seru membanjiri media sosial tersebut. Sisanya, postingan-postingan individualis dan tidak jelas kalimatnya menghiasi ruang yang tertinggal. Kita tidak akan menemukan sesuatu yang bermanfaat dan membuat diri kita lebih baik di jejaring sosial kecuali sangat, sangat sedikit.

Mungkin selanjutnya Facebook harus mengganti kalimatnya menjadi:

“Apa yang kamu keluhkan?”

Parahnya, hal-hal serupa juga terjadi di media sosial yang lain semisal Twitter, Tumblr, bahkan Youtube hingga DeviantArt.


Teknologi memerlukan edukasi

Setiap yang diciptakan oleh manusia pasti memiliki celah untuk disalahgunakan, apa pun itu. Maka dari itu pendidikan yang mantap harus benar-benar ditanamkan oleh penggunanya sejak dini. Sebenarnya pencipta teknologi paham betul akan dampak negatif yang dihasilkan dari ciptaan mereka sendiri, karenanyalah sekaligus dibuatkan disclaimer-disclaimer ketat yang berkaitan dengan masalah hukum baik hukum individu maupun masyarakat.

Makanya kita sering melihat banyak produk-produk teknologi yang mewajibkan penggunanya untuk membaca dan memahami setiap Term and Condition atau Syarat dan Ketentuan sebelum produk mereka benar-benar dapat digunakan. Namun kita dengan serta merta mengklik “Accept” tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. termasuk saya sih

Celakanya, para orang tua hari ini lebih memberikan produk-produk teknologi tersebut kepada anaknya tanpa ada edukasi lebih lanjut. Bahkan mereka menganggap anaknya terlihat keren adalah lebih utama daripada anaknya terlihat lebih baik.

Para orang tua menganggap teknologi adalah hal yang wajib implementasinya kepada anak karena mereka menganggap si anak akan ‘naik derajat’ jika menggunakan tekologi tersebut disebabkan mereka tidak mengerti cara mengoperasikannya.

Padahal, 1.400 tahun yang lalu, seorang junjungan yang sangat mulia, Nabi Muhammad s.a.w, sudah mewanti-wanti akan hal ini.

“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.” (Al-Hadits)

Banyak orang tua yang lengah akan hal ini, yang pada akhirnya, mereka ‘dikendalikan’ oleh anak-anak mereka sendiri, terkhusus untuk masalah penggunaan teknologi. Dan inilah yang terjadi akibat mengenyampingkan pendidikan akhlak yang seharusnya ditanamkan terlebih dahulu.


  • Tetapi mengapa hal ini terjadi?

Kita tahu, bahwa sebagian besar kita telah terbiasa menumpahkan perasaan kita dalam suatu tulisan cantik yang diawali dengan kalimat “Dear diary…”.

Sebuah buku cantik dikhususkan untuk melukis perasaan kita yang terjadi pada saat itu dan disimpan secara rahasia bahkan tidak sedikit dari diari-diari tersebut yang memiliki gembok. Setelah semua tercurah, timbul sedikit perasaan lega yang secara psikologis hal tersebut memang benar adanya.

Namun kini teknologi telah mengambil alih fungsi dari buku-buku malang tersebut. Dalam hal ini adalah telepon selular dan komputer, ataupunΒ gadgetΒ lainnya. Bahkan dengan PDnya para pengguna melampiaskan amarahnya pada setiap kotak yang dapat diketik di setiap kesempatan, dan salah satu target yang sering dijadikan lahan, tentu saja, kotak status atau postingan di jejaring sosial.

Mereka lupa atau tidak tahu bahwa itu merupakan hal yang sangat privasi.

Meraka bahkan tidak ingat bahwa teman-temannya di jejaring sosial adalah makhluk hidup yang dapat melihat dan memiliki akal.

Mereka tidak terpikirkan bahwa perasaan yang merendahkan harga diri mereka akan muncul dari para pengguna lain yang membaca postingan mereka.

Mereka, hanya ingin perasaannya pada saat itu terlampiaskan secara sempurna.

Padahal, orang-orang yang selalu mengeluh atau pamer di media sosial pun tidak terlalu senang jika ada orang lain yang melakukan hal yang sama dengannya. Orang-orang itu hanya belum dapat berpikir sejauh itu.


Kesimpulan

Sudah banyak sebenarnya singgungan-singgungan yang berkaitan dengan masalah ini. Dan kita pun saya yakin telah tahu sebagian besar dari singgungan-singgungan tersebut. Tetapi sayangnya sebagian kita lebih memilih untuk mengabaikannya demi menuruti keinginan nafsu. Karena kita tahu bahwa sabar itu tidak enak, makanya hal-hal tersebut kemudian bermunculan di jejaring sosial. Dari keluhan, hingga pamer, bahkan pamer ibadah. Na’udzubillah.

Saya melarang teman saya untuk mengeluh di jejaring sosial, karena itu sama saja tidak menghargai saya sebagai temannya yang juga bertanggungjawab untuk membantu meringankan masalahnya.

Oh, jangan sampai ada yang mengeluh di jejaring sosial LinkedIn, atau karirnya finish pada saat itu juga. Bhahahahahahah…


—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal?

    Berikutnya
    Insiden Romanisasi: Konflik Penulisan Latin Arab


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas