Qada dan Qadar

Jika kita bicara rukun iman, jumlahnya itu ada enam dan kita semua sudah mengetahui itu. Kalau hanya lima, namanya rukun Islam. Tapi…

Tapi bagaimana jika saya katakan kalau sebagian umat Islam hari ini, terkhusus di Indonesia yang hanya mengimani rukun iman hanya sampai poin ke lima saja?

Mereka percaya iman kepada Allah Ta’ala hingga iman kepada hari akhir, namun banyak yang seperti tidak beriman kepada rukun iman yang tinggal satu itu.

Iman kepada Qada dan Qadar, atau dalam kata lain, iman kepada ketetapan Allah Ta’ala.

Padahal jika rukun iman yang terakhir ini benar-benar banyak muslim yang mengimaninya, maka kehidupan muslim di dunia ini akan jauh lebih baik bahkan lebih maju daripada negara-negara adidaya yang mayoritas kafir.

Justru yang sekarang terjadi adalah, banyak muslim yang seolah zuhud atau merasa cukup dengan kehidupan dunia mereka, tetapi di satu sisi mereka menuntut kehidupan dunia mereka yang lebih baik lagi. Sebuah kontradiksi yang membuat gagal paham.


Sebuah satu kesatuan

Qada dan Qadar itu artinya sama-sama takdir, dan tidak dapat dipisahkan antara Qada dan Qadar itu sendiri karena sudah menjadi sebuah kesatuan. Masalah takdir tersebut dapat Allah ubah atau tidak, itu bukan urusan kita.

Hanya saja, ada satu ketetapan Allah Ta’ala yang berlaku untuk seluruh makhlukNya di dunia. Itu adalah sunnahnya Allah atau Sunnatullah.

Di sinilah hari ini seakan banyak sekali muslim yang tidak ingin bersahabat dengan sunnatullah. Contohnya pun sudah sangat banyak, kembali kepada kepekaan kita dalam kemampuan melihat permasalahannya.

Paling mudahnya, dan banyak sekali kita jumpai di masyarakat yang mayoritas muslim ini, adalah saat seseorang mendapatkan saran untuk rajin bekerja, ia justru berdalih bahwa “rezeki sudah ada yang mengatur”. Anehnya, ia sendiri banyak menuntut rezeki dari orang lain untuk kebutuhan dunianya.

Ironi. Padahal sudah jelas ayatnya,

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
QS. Ar-Ra’d: 11

Allah Ta’ala sudah menetapkan banyak takdir baik untuk kita dan menebarnya, sekarang tinggal kita sendiri apakah ingin berusaha untuk meraih sebagian takdir baik tersebut atau tidak.


Punya sisi yang lebih baik

Muslim percaya bahwa setiap kebaikan berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari manusianya itu sendiri. Hal ini termaktub dalam firmanNya yang berbunyi,

Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.
QS. Annisa: 79

Nyatanya, masih ada beberapa dari kita yang seakan masih tidak rela menerima pernyataan tersebut. Seperti, banyak hal baik yang saya dapatkan sendiri, dan banyak hal buruk yang saya terima tetapi berasal dari luar kuasa saya.

Nilai yang bagus, hingga penghasilan yang mencukupi, adalah kebaikan yang kita terima dari hasil usaha kita sendiri. Sedangkan bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, hingga hujan badai justru itu adalah kodrat alam yang nyatanya tidak ada campur tangan kita sama sekali.

Ada pemahaman yang sebaiknya kita luruskan di sini.

Setiap kebaikan datang dari Allah Ta’ala maksudnya adalah setiap dari takdirnya itu adalah baik untuk kita. Kita lahir dengan memiliki sebuah kekurangan misalnya, itu sebenarnya baik. Atau ketika kita dapat takdir berupa kegagalan saat memulai usaha, itu juga baik jika kita mengetahui hikmahnya.

Lalu maksud keburukan di sini adalah, saat kita mendapatkan seluruh takdir baik tersebut, kita tidak menyikapinya dengan pantas. Contohnya saat kita mendapatkan nikmat, kita lupa dan foya-foya. Kemudian saat kita mendapatkan musibah, kita meratap dan tidak rida.

Setiap keburukan berasal dari diri kita sendiri itu maksudnya adalah cara kita menyikapi takdir tersebut.

Contoh lain, saya ternyata baru ditakdirkan memiliki sepeda motor secara tunai pada usia 25. Bagi saya yang masih berusia 20 pada saat itu, tidak memiliki sepeda motor bahkan tidak memiliki uang untuk membelinya bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi apakah itu adalah takdir yang buruk?

Ternyata tidak sama sekali. Jika saya sudah memiliki sepeda motor dari awal, saya tidak akan pernah bisa berbagi tempat-tempat wisata yang terjangkau lewat angkutan umum seperti yang ada di kategori Tamasya.


Penyikapan terbaik

Saya memahami beberapa dari kita khawatir jika takdir hidup kita tidak sejalan dengan kemauan kita. Wajar, saya pun sering seperti itu.

Apalagi saat mendengar misalnya, setiap manusia telah memiliki jatah rezekinya masing-masing. Ibarat keran, ada manusia yang keran rezekinya deras, dan ada pula yang menetes.

Kondisi saya yang sedang hidup di bawah garis kemiskinan dan punya harapan banyak pada saat itu membuat saya hampir pupus dalam meraih impian saya. “Bagaimana jika keran rezeki saya ternyata Allah takdirkan hanya menetes?”

Tetapi saya mencoba untuk berusaha menerima apa pun takdir yang telah Allah tuliskan untuk saya, mencoba berprasangka positif kepadaNya.

Sesungguhnya Allah berkata, “Aku sesuai prasangka hambaku padaku. Jika prasangka itu baik, maka kebaikan baginya. Dan apabila prasangka itu buruk, maka keburukan baginya.”
HR. Muslim

Dan tidak saya sangka, saya telah memiliki tabungan lebih dari Rp100 juta sebelum usia 30, tanpa cicilan, tanpa hutang. Prosesnya pun normal yang dapat dengan mudah orang lain tiru. Hanya saja memang tidak sebentar dan butuh pengorbanan.

Takdir yang bisa diubah, kita bisa mengubahnya dengan ikhtiar atau usaha. Sedangkan untuk takdir yang tidak bisa diubah, kita masih bisa menyikapinya dengan berdoa.

Dan itu semuanya insyaAllah baik.


Bukan untuk digampangkan

Di dunia ini berlaku SunnahNya atau kita sebut dengan sunnatullah. Sunnatullah inilah yang kemudian banyak dipahami manusia sebagai hukum alam atau hukum sebab akibat.

Orang yang mendapatkan juara kelas sebab ia belajar dengan sungguh-sungguh. Begitu pun dengan pengusaha kaya-raya yang membangun bisnisnya sepenuh hati, mulai dari nol.

Sayangnya, masih sangat banyak dari umat Islam itu sendiri yang begitu menggampangkan takdir, menggampangkan kekuasaan Allah Ta’ala itu sendiri.

Banyak dari muslim yang enggan berusaha lebih, hanya ingin menggulir konten agamis di media sosial dan mengaminkan setiap konten doa yang lewat. Sedangkan orang kafir yang percaya sunatullah ini, mereka begitu gigih dan terbukti sukses meski hanya di dunia.

Realita di lapangan, tidak sedikit muslim yang kemampuan kinerjanya hanya sebatas staf atau junior saja. Akibatnya, mencari kerja begitu sulit karena lowongan yang sudah pasti penuh dan diperparah dengan jumlah pengusaha yang tidak sebanding dengan pelamar.

Coba kita lihat di sekeliling kita, beberapa lowongan pekerjaan yang sifatnya manajerial justru sedikit peminatnya padahal gajinya besar. Berbeda dengan lowongan kerja yang hanya entri dasar atau junior.

Maka dari itu tidak heran banyak perusahaan yang memberlakukan persyaratan yang aneh-aneh seperti batasan usia atau penampilan pada lowongan kerja mereka sebagai penyaringan dari awal. Perusahaan hanya membutuhkan 10 orang, namun yang melamar bisa sampai 1000 orang, dan semuanya hanya selevel staf.

Padahal, memperbaiki diri, terus mengasah kemampuan, membeli kursus digital, dan memanfaatkan waktu untuk berkarya, adalah salah satu bentuk ikhtiar yang menghormati sunnatullah. Namun justru sedikit sekali muslim hari ini yang ingin memahaminya.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
QS. Al-Baqarah: 286

Balasan tidak melulu harus di akhirat, di dunia pun balasan berupa timbal balik adalah sebuah keniscayaan dari sunatullah itu sendiri.

Para muslim yang tidak menghormati sunnatullah, mereka akan berusaha merusak qada dan qadar yang telah Allah tetapkan pada diri mereka. Mereka akan meremehkan ikhtiar tetapi mereka justru menginginkan hasil dari ikhtiar tersebut.

Seperti, tak sedikit muslim yang ingin kaya-raya, berdoa siang malam, mengamini setiap doa tentang kekayaan, tetapi mereka enggan memperbaiki diri bahkan mencibir para orang kaya dan menuduh orang kaya yang tidak-tidak.

Tidak heran banyak negara muslim yang penuh dengan para koruptor, bisa jadi karena mereka luput dalam mengimani rukun iman yang terakhir ini.

Jikalau seorang muslim dengan akalnya berusaha lebih giat dan menjadi sumber daya manusia yang unggul, insyaAllah negara akan maju dan koruptor akan berkurang dengan sendirinya.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas